Sabtu, 29 Agustus 2015
Kepompong yang tak Kunjung Berkembang
Apakah kau tahu tentang kisah seekor kepompong yang tak kunjung berkembang?
Mari aku ceritakan.
Di sebuah belantara yang tak pernah padam,
dengan perjuangan dan kebengisan,
kepompong ini tumbuh.
Berawal dari ulat kecil yang polos dan bodoh,
ia sendirian memintal dirinya dengan benang ketidaktahuan.
Dimana teman-temannya memintal dengan benang harapan dan kepastian.
Ia hanya seekor ulat yang polos dan bodoh,
menjadi kepompong yang mudah dilupakan.
Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun.
Satu per satu kepompong berkembang,
menjadi kupu-kupu anggun yang penuh harapan.
Warna-warni membawa ide akan masa depan,
untuk sekitarnya, atau hanya untuk diri seorang.
Mereka terbang menantang dunia yang fana.
Tak lama kemudian, kupu-kupu ini berguguran.
Ada karena terik mentari kepalsuan,
sengat ketidaktahudirian,
atau asap industri kebatilan.
Warna-warninya punah dirundung zaman,
walau beberapanya terbang ke masa depan yang benderang.
Lalu bagaimana dengan ulat kecil yang polos dan bodoh itu?
Ia hanya menjadi kepompong yang tak kunjung berkembang.
(Kukusan, 29 Agustus 2015)
Sabtu, 09 Mei 2015
BERAKRABAN DENGAN BENCANA
Pada Sabtu, 25 April 2015 lalu, Nepal diguncang gempa bumi berkekuatan
7,8 Skala Ritcher yang menewaskan 7.365 jiwa dan jumlah korban cedera tercatat
14.366 orang (5/5)[1]. Gempa ini
disebabkan oleh benturan lempeng benua India dan Eurasia yang berpusat pada kedalaman
15 kilometer di bawah tanah sekitar wilayah Kathmandu, ibukota Nepal. Akibat
gempa tektonik ini, setidaknya 600 ribu rumah rusak, 4.500 sekolah hancur, dan sekitar
dua juta orang membutuhkan tenda, air, makanan, dan obat-obatan. Nepal juga
pernah mengalami bencana serupa pada tahun 1934, di mana 20 ribu jiwa tewas
akibat gempa berkekuatan 8,0 Skala Ritcher.
Puing-puing bangunan pasca gempa di Distrik Bhaktapur,
Nepal (25/4).
Sumber: Niranjan Shrestha/ASSOCIATED PRESS
Alam Indonesia dan
Bencana
Indonesia pernah mengalami gempa dengan karakteristik serupa
pada 27 Mei 2006 di Yogyakarta. Gempa ini juga diakibatkan oleh benturan lempeng
benua pada kedalaman 17 kilometer di bawah tanah sekitar pesisir Pantai Selatan
Jawa yang padat penduduk hingga menewaskan 6.234 jiwa. Tidak hanya sekali,
gempa bumi memang kerap terjadi di Indonesia. 26 Desember 2004 di Aceh, gempa
berkekuatan 9.3 SR yang diikuti tsunami mengakibatkan 131.028 jiwa meninggal dan
37.000 orang hilang. 30 September 2009 di sekitar Kota Padang, Sumatera Barat,
gempa berkekuatan 7,6 SR menewaskan 1.115 jiwa dan menyebabkan 135.299 rumah
rusak berat[2]. Selain
gempa tektonik akibat benturan lempeng benua, Indonesia juga banyak mengalami
gempa vulkanik seperti yang diakibatkan oleh letusan Gunung Tambora, Nusa
Tenggara Barat pada tahun 1815, dan letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda pada
tahun 1883 yang dampaknya terasa di seluruh penjuru dunia.
Alam Indonesia menyimpan sejuta potensi bahaya dan bencana
yang bisa datang kapan saja dan di mana saja. Hal ini disebabkan oleh posisi Indonesia
yang berada pada patahan lempeng Eurasia dan Indo-Australia layaknya Nepal, disebut
sebagai subduksi Sunda Megathrust yang
membentang sepanjang garis pantai selatan Indonesia dan bertemu dengan lempeng
Pasifik dan Filipina di dekat Maluku. Kondisi ini membuat Indonesia memiliki
130 gunung berapi aktif dan rawan mengalami gempa bumi. Selain gempa bumi,
kondisi alam yang demikian juga membuat Indonesia rawan mengalami bencana lainnya
seperti tsunami, tanah longsor, lahar dingin, dan banjir.
Peta lempeng benua antara
Nepal dan Indonesia.
Grafis:
dongenggeologi.com/Rovicky Dwi Putrohari
Bencana alam telah mengakibatkan ribuan orang meninggal
dunia, serta dapat terus berguguran dan menimpa siapa saja. Manusia tidak dapat
menolak terjadinya bencana, namun dapat melakukan persiapan dan mengambil
langkah pencegahan untuk meminimalisasi risiko dan dampak yang mungkin terjadi,
atau berakraban dengan bencana. Langkah-langkah yang dimaksud dikenal sebagai ‘mitigasi
bencana’.
Mitigasi bencana
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana). Jadi, mitigasi bencana dapat dilakukan secara struktural terhadap pembangunan fisik
bangunan agar lebih tahan gempa, tata wilayah yang berorientasi pencegahan
bencana, sistem pencegahan dan penanggulangan bencana yang sistematis dan
cepat-tanggap, serta secara non-struktural
yang berkaitan dengan sosialisasi dan persiapan masyarakat tanggap bencana.
Sedangkan untuk mengetahui risiko bencana (risk)
ini, kita perlu memperhitungkan tiga faktor, yakni bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability),
dan kapasitas (capacity) yang
terdapat pada suatu wilayah.
Bahaya adalah kejadian yang berpotensi menyebabkan kecelakaan,
cedera, hilangnya nyawa atau kehilangan harta benda. Bahaya dianggap sebuah
bencana (disaster) apabila telah
menimbulkan korban dan kerugian.
Kerentanan adalah
rangkaian kondisi yang menentukan, baik bahaya alam atau buatan, dapat
menimbulkan bencana atau tidak. Rangkaian kondisi yang dimaksud dapat mempengaruhi
kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan dan tindak-tanggap
terhadap dampak bahaya, antara lain berupa,
- Kerentanan fisik : bangunan, infrastruktur, konstruksi yang lemah;
- Kerentanan sosial : kemiskinan, lingkungan, konflik, anak-anak, wanita, lansia;
- Kerentanan mental: ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya percaya, dsb.
Kapasitas adalah kemampuan untuk memberikan tanggapan terhadap
situasi bahaya/bencana dengan sumber daya yang tersedia (fisik, manusia,
keuangan, budaya dan lainnya).
Risiko adalah
potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dalam
kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, hilangnya rasa
aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat yang diakibatkan oleh kombinasi bahaya, kerentanan, dan kapasitas
yang ada.[3]
Yang Penting untuk
Berakraban dengan Bencana
Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana dan dapat kita
lakukan bersama, yakni
- Penyediaan informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana yang dapat disediakan oleh Pemerintah Daerah setempat bekerjasama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (www.bmkg.go.id), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian ESDM (www.vsi.esdm.go.id), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (www.bnpb.go.id), dan lembaga lainnya, serta dipublikasikan secara luas di tempat-tempat umum.
- Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana dengan melibatkan komunitas, organisasi non-pemerintah, tokoh masyarakat, dan pemuda secara rutin dan berkelanjutan.
- Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal kepada anak-anak, rapat/rembug warga, seminar, workshop, dan simulasi yang dilakukan di tengah masyarakat umum. Pembuatan media sosialisasi secara kreatif dan inovatif juga perlu dilakukan untuk memperluas pengetahuan akan mitigasi dan penanggulangan bencana.
- Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat koordinasi dan sinergi antar lembaga, serta pemanfaatan teknologi kebencanaan secara luas seperti konstruksi bangunan tahan gempa, hydrant, tsunami warning system, dan penggunaan robot/drone untuk membantu proses evakuasi bencana.
Tidak ada manusia yang ingin terimpa bencana, dan kita tidak
dapat menyalahkan alam akan bahaya yang dapat datang tiba-tiba. Oleh sebab itu,
kita perlu mengakrabkan diri dengan bencana, mengenal dan memahami risiko, serta
mengetahui tindak-tanggap yang harus dilakukan sebelum, di saat, dan sesudah
bencana agar kita tidak kaget ketika berjumpa dengannya. Biasanya badai yang dahsyat berawal dari malam yang
tenang. Penulis harap tidak demikian, karena Indonesia sudah sedia payung sebelum hujan.
***
Depok, 9 Mei 2015.
Langitantyo Tri Gezar – Gerakan Mari Berbagi
Informasi lebih lanjut
mengenai mitigasi bencana dan yang harus dilakukan di saat bencana, baca
[1]Tempo. 5
Mei 2015. Gempa Nepal: Korban Jiwa Sudah
Mencapai 7.365 Orang. http://www.tempo.co/read/news/2015/05/05/118663578/Gempa-Nepal-Korban-Jiwa-Sudah-Mencapai-7365-Orang,
diakses pada 9 Mei 2015.
[2]Wikipedia.
Daftar gempa bumi di Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_gempa_bumi_di_Indonesia,
diakses pada 9 Mei 2015.
[3]Pusat
Pendidikan Mitigasi Bencana (P2MB), Universitas Pendidikan Indonesia. Apakah Mitigasi Bencana itu? http://p2mb.geografi.upi.edu/Mitigasi_Bencana.html,
diakses pada 9 Mei 2015.
Rabu, 25 Februari 2015
Heavenfire
Heavenfire
By: Langitantyo Tri Gezar
Humankind always try to conquer
Eat weaklings, prey each other
After and after doing the same
Very disgusting: shedding blood and telling lies
Everyday, everytime
No one free from these reality.
From Adam and Eve
Illusion become their sanity
Religion become their weaponry
Eradicate people who oppose authority.
In the name of God!
Soak themselves with hypocrisy
Light a fire in heaven
All struggle must be done
Millions can’t be sacrificed again.
Anything left for our life
Like a sip of water in burning desert
Love that is left for our life
Against all hypocrisy and insanity
Humankind always try to love.
Kukusan, 21 Oktober 2014
*This poem was submitted in English Days UGM 2014 Poem
Competition.
"I Farm, therefore I Sovereign": Critical Study of ASEAN Economic Community 2015 in the Food Sector in Indonesia
"I Farm, therefore I Sovereign": Critical Study of
ASEAN Economic Community 2015 in the Food Sector in Indonesia
Langitantyo
Tri Gezar, Universitas Indonesia
Indonesia is the country with the
greatest economic power in Southeast Asia. One of the new emerging forces of
the world economy with 9th largest GDP (Gross Domestic Product) in the world,
so it was appointed as a member of the G-20, together with big countries like
United States of America, Russia, China, and India (World Bank, 2013)[1].
In addition, Indonesia has also become the 7th widest nation in the world,
including 1.922.570 km2 of land and 3.257.483 km2 of water (majority is ocean).
Not to mention, with a humid tropical climate and 3rd richest biodiversity in
the world after Brazil and Congo, it is logical if Indonesia become a
prosperous nation, especially in the food sector. But in reality, the
sovereignty in food sector has not established yet there.
FAO on September 24, 2010 release a
data that shows in those years, 1 billion people experiencing hunger. As much
as 98% of it occur in developing countries, and each year 8.1 million children
under five years-old died in these countries. Not to mention the problem of
malnutrition which causes 60% of deaths in 2009, as well as about 130 million
people who suffer from hunger because of rising food prices.[2]
Food sovereignty establishment and
liberalization in food sector is a major challenge faced by Indonesia and also
developing countries in the near future. With a population reaching 237,6
million in 2010 (BPS, 2010)[3]
and is forecasted to reach 270 million inhabitants by 2025 (Hanafie, 2010:
272), Indonesia should immediately take strategic steps to prevent massive
famine while sustaining food sovereignty by reducing dependence on imports.
ASEAN Economic Community: Food in the Middle of Liberalization
Food is the most essential needs,
determining the quality of human resources as well as socio-political stability
in development of a country. Food is not only a basic need but also the
fundamental rights for every human being, and is mandatory to be protected.
Then, “nation” or “state” as a form of human’s endeavor to aggregating the
people’s needs, are obliged to ensure each individuals to get access to nutrious
and decent food (Hariyadi, et al, 2009)[4].
However, liberalization of the food
sector is threatening the fulfilment of these rights. The establishment of ASEAN
Economic Community or AEC is perceived as a threat rather than an opportunity
in face of Indonesia’s food sovereignty. The primary keys of AEC are; (a) a
single market and production base, (b) a competitive economic area, (c) a fair
development region, and (d) ASEAN’s integration into global economy. In spirit
of neoliberalism, which means reducing government’s role in economy and public
sectors, ASEAN becomes a region where goods, services, capital, and workforce
are moving freely, including in the food, agriculture and forestry sector, as
noted in the AEC’s blueprint, item A7 (Hertanti, 2012)[5].
As an economic paradigm, neoliberalism
assumes that market is the most effective actors to determine the success of a national
development. Intervention of the government, such as subsidies and tariffs, are
looked as barriers that reduce the effectiveness of market mechanisms (Mantra,
2011: 4)[6].
Neoliberalism, or often called as the "Washington Consensus",
designed as a response to the economic problems in Latin America in the 1980s,
in which their economic policies were geared to reduce unemployment and
equitable income, but thus caused a huge deficit and crisis. Neoliberals see
the failure was caused by fails of state-owned enterprises, streamline
protection policy which made private companies were became inefficient, as well
as a loose monetary policy that lead to uncontrolled inflation (Stiglitz, 2002:
53)[7].
To answer it, World Bank and IMF offered
three pillars of reformation: fiscal austerity, privatization, and free-market
liberalization. This model of policy is based on a competitive equilibrium
model which rooted in the principle of Adam Smith’s "invisible hand".
The basic assumption of this paradigm is putting the market as the main actors
of the economy, the liberalization of the market without government’s
intervention, deleting the government’s spending in the public goods,
deregulating policies that restrict market mechanisms, as well as privatization
of government’s assets (Mantra, 2011).
Majority of ASEAN member are
agricultural countries. With its geographical and socio-cultural potentials, ASEAN
has an opportunity to become the producer of the global food needs. However,
liberalization in these sectors have been caused much harm for Indonesian
farmers. The number of households in agricultural enterprises in Indonesia are
recorded as much as 26,14 million, agricultural enterprises incorporated by law
firm is 4.165 totaled, plus other types of agricultural businesses as much as
5.922 units, both in the area of crops, horticulture, animal husbandry,
fisheries, forestry, and agricultural services (BPS, 2013)[8].
According to the Indonesian Farmers' Alliance (2011)[9],
in 2010, China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) a neoliberal policy that
preceded AEC, had harmed Indonesian farmers through the invasion of imported
goods from China. For example, the importation of onions all year in 2011 reached
17.25 million kilograms with a value of 5.9 million USD, or surged 264%
compared to December 2010, made Indonesian onion farmers lose a potential
income amounting to 14.675.192.000.000 IDR (around 1.2 billion USD).
Neoliberalism has moved the food
pricing, which were previously regulated by the government, into market
mechanisms. The free market gives room for brokers to determine the price of
commodities, so the food sector is no longer aiming at the fulfilment of domestic
needs, but rather to satisfy the interest of conglomerates (Hertanti, 2012). The
impacts of liberalization of the food sector are; (a) losses of farmers and poor,
(b) causing food crisis, (c) revoke the government’s sovereignty in deciding
food policy and its national needs. It has changed the status of many food producers to become food
importers, where 70% of developing countries have become a net importer, making
Indonesia which once was the largest rice producers to become the biggest rice
importer in the world (Ibid).
I Farm, therefore I Sovereign
Neoliberalism has become a de facto
economic policy paradigm which hegemonized Indonesia. However,
constitutionally, the government should still play a central role in national
development regarding food sector. The opening of the 1945 Constitution states
that, "to form a Indonesian Government
which protects...and to promote the general welfare...based on independence,
peace, and justice," then Indonesia food policy must cater for the
welfare of the people.
The concept of food sovereignty is a
paradigm that can be placed as replacement to neoliberal policy in the face of
AEC 2015. This concept holds on; (a) organizing food production based on
national needs, (b) prioritizing the fulfillment of national consumption, (c)
deregulating the food policies and reserves through protection of domestic
market from the negative influence of free market (Hertanti 2012). This policy
can be realised with 3 ways, i.e. from bottom, from within and from outside;
(1) From bottom: building Indonesian agriculture from grass
roots. Empowerment of local farmers should be conducted through subsidies for
agricultural purposes such as organic fertilizer, seeds and construction of
irrigation systems, developing farm communities, both in terms of capital,
managerial, and technology, as well as running the reforma agraria program;
(2) From within: extending the authority of “Bulog” as government agencies that
oversee, organize, and conduct national food needs to become pro-poor. These
include the authority to determine the policies of the food export-import,
stabilizing food prices in upstream to downstream bases, securing food
accessibility, and also coordinating actively with all food sector’s
stakeholders;
(3) From outside: Revising agricultural commitments with WTO and
ASEAN prioritizing national interests, and seek foreign cooperation partners
for mutual benefit in order to achieve a balanced food sovereignty.
Although it was assumed for
Indonesia’s interest and perceived in Indonesia’s perspective, the writer think
that the problem of food sector in developing countries are not much differ.
The brutal liberalization in this sector is a threat for our sovereignty. We
should rethink and speak it aloud in vision the government and policy makers shall
change its strategy more for the sake of people rather than for the capitalists
and food brokers.
[1]
World Bank. 2013. Gross domestic products
2013, PPP. http://databank.worldbank.org/data/download/GDP_PPP.pdf,
retrieved on October 31, 2014.
[2] Daeng,
Salamudin. 2010. Kedaulatan Pangan Solusi
Mengatasi Krisis Pangan. Free Trade Watch. Hal: 97-99.
[3]
Indonesia’s Central Bureau of Statistics/Badan
Pusat Statistik. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010. http://www.bps.go.id/65tahun/SP2010_agregat_data_perProvinsi.pdf,
retrieved on October 31, 2014.
[4]
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-154-650390876-bab%20i,%20ii,%20iii,%20iv,%20v,%20vi,%20vii%20new.pdf,
retrieved on October 31, 2014.
[5] Hertanti,
Rachmi. 2012. Thesis. Kajian Atas Dampak
Pasal 1 Angka 5 ASEAN Charter
mengenai Pembentukan Pasar Tunggal & Basis Produksi (Single Market
& Production Base) terhadap Sektor
Pangan di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.
[6] Mantra,
Dodi. 2011. Hegemoni dan Diskursus
Neoliberalisme: Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015. Bekasi: MantraPress.
[7] Stiglitz,
Joseph. 2002. Globalization and Its
Discontents. London: Penguin Books.
[8]
Indonesia’s Central Bureau of Statistics/Badan
Pusat Statistik. 2013. Laporan Hasil
Sensus Pertanian 2013. http://st2013.bps.go.id/st2013esya/booklet/at0000.pdf,
, retrieved on October 31, 2014.
[9]
Indonesian Farmers’ Alliance/Aliansi Petani
Indonesia. Juli 2011. Impor dan
Kerugian Akibat ACFTA Sektor Pertanian, Pangan, dan Perikanan.
Pendapatan Nasional Dalam Ekonomi Indonesia
PENDAPATAN NASIONAL DALAM EKONOMI
INDONESIA
KELAS KOMUNIKASI A
HOME GROUP 01
Aisha Nabila, 1006694675
Alvin Agustino Saputra, 1006664804
Amalia Ayuningtyas, 1006762333
Dave Ependi, 1006694813
Felicia Olivia, 1006694946
Langitantyo Tri Gezar, 1006695085
Lenny, 1006695103
Makalah Tugas
untuk
Mata Kuliah Ekonomika dan Pembangunan
Sosial
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
ABSTRAK
National income (pendapatan nasional) adalah salah satu aspek untuk menentukan tingkat perekonomian suatu negara. Pendapatan nasional baru dapat dihitung setelah diketahui nilai dari unsur-unsur ekonomi negara lainnya, antara lain GDP (Gross Domestic Product). Selain itu, dalam penghitungan pendapatan nasional, dapat digunakan beberapa pendekatan. Yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Dalam tulisan ini akan dijelaskan analisis pendekatan penghitungan pendapatan nasional yang diterapkan Indonesia. Kemudian dari tingkat pendapatan nasional, lalu membaginya dengan jumlah penduduk, maka akan ditemukan tingkat pendapatan per kapita (income per capita) negara tersebut. Selain itu juga perlu dibahas mengenai distribusi pendapatan nasional di Indonesia pada provinsi-provinsi yang ada. Maka tulisan ini akan menyertakan data-data yang relevan serta analisisnya yang disesuaikan dengan teori dan realitas.
BAB I
PENDAHULUAN
Pendapatan
nasional sangat erat hubungannya dengan ekonomi makro atau ekonomi negara.
Tingkat pendapatan nasional sangat menentukan seberapa kuat perekonomian negara
tersebut untuk dapat menyejahterakan rakyatnya dan bersaing di kancah ekonomi
internasional. Lalu pertanyaan yang muncul adalah: Apa itu pendapatan nasional?
Bagaimana cara menentukannya? Kemudian bagaimana dengan tingkat pendapatan
nasional dan keadaan ekonomi negara Indonesia sendiri?
Makalah ini dibuat atas latar belakang perlunya pemahaman mengenai ekonomi makro, atau pendapatan nasional pada khususnya, oleh para mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Para mahasiswa selanjutnya dapat menggunakan pemahaman tersebut untuk melakukan analisis dan kritisi terhadap realita sosial-ekonomi yang ada. Dan masalah yang ada di negeri ini adalah rendahnya tingkat pendapatan nasional, sehingga keadaan ekonomi Indonesia dan penduduknya belum baik, yang kemudian berimbas pada masalah-masalah sosial lainnya.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendalami pemahaman tersebut dengan pembahasan teoritis dan realistis. Maka akan disertakan data-data relevan mengenai pendapatan nasional Indonesia dan teori konsep-konsep pendapatan nasional yang sudah ada. Selain itu, makalah ini juga ditulis untuk memenuhi tugas kelompok dalam perkuliahan.
Selain penyertaan data dan teori, juga disertakan analisis pendekatan penghitungan pendapatan nasional Indonesia, pendapatan per kapita penduduk Indonesia, serta distribusi pendapatan nasional di Indonesia. Penulisan dilakukan secara deskriptif melalui data kuantitatif dan analisis berdasarkan teori terkait.
BAB II
ISI
1. METODE PENGHITUNGAN PENDAPATAN NASIONAL
A. Pengertian Pendapatan Nasional (National
Income)
Pendapatan Nasional adalah sejumlah
pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan untuk
memproduksikan barang dan jasa dalam suatu tahun tertentu.
B. Penghitungan Pendapatan Nasional
Metode penghitungan pendapatan nasional secara teori
dapat dihitung dengan menggunakan tiga buah pendekatan, yaitu Pendekatan
Produksi (Production Approach),
Pendekatan Pengeluaran (Expenditure
Approach), dan Pendekatan Pendapatan (Income
Approach). Masing-masing metode pendekatan melihat pendapatan nasional dari
sudut pandang yang berbeda, tetapi hasilnya saling melengkapi.
1. Pendekatan
Produksi (Production Approach)
Dengan pendekatan ini, besarnya pendapatan nasional dihitung dengan cara menjumlahkan nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan dari seluruh sektor ekonomi masyarakat dalam periode tertentu. Pendekatan ini juga menggunakan pendekatan nilai tambah (value added).
Dengan pendekatan ini, besarnya pendapatan nasional dihitung dengan cara menjumlahkan nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan dari seluruh sektor ekonomi masyarakat dalam periode tertentu. Pendekatan ini juga menggunakan pendekatan nilai tambah (value added).
Rumus Pendekatan Produksi: Y= (Q1 . P1) + (Q2 . P2) +……(Qn . Pn)
Komponen Pendekatan Produksi:
Y/ Yield =
pendapatan nasional
Q1, Q2 =
jenis dan jumlah produk ke-1, 2, dst.
P1, P2 =
harga produk ke-1, 2, dst.
Qn =
jenis dan jumlah barang berikutnya
Pn =
harga produk berikutnya
Contoh penghitungan pendekatan produksi dengan
pendekatan nilai tambah:
Tabel 1.1 Pendekatan Nilai Tambah
dalam Produksi Perabotan Rumah Tangga
No
|
Jenis Kegiatan / Produksi
|
Nilai Penjualan
|
Nilai Tambah
|
(ribuan rupiah) (ribuan rupiah)
|
|||
1.
|
Mengambil kayu hutan
|
50
|
50
|
2.
|
Menggergaji papan
|
200
|
150
|
3.
|
Membuat
perabot
|
600
|
400
|
4.
|
Menjual perabot ke toko
|
800
|
200
|
Jumlah nilai penjualan dan nilai tambah
|
1.650
|
800
|
Sumber: Sadono Sukirno dalam buku Teori Makro Ekonomi, 2006
Dengan demikian, jumlah nilai tambah yang
diwujudkan oleh keempat kegiatan itu adalah Rp 800.000. Pengeluaran konsumen
untuk membeli perabot ini berarti Rp 800.000.
Pendapatan nasional menurut pendekatan
produksi terdiri dari 11 sektor ekonomi (lapangan usaha) di Indonesia yang
dikelompokkan menjadi:
- Sektor primer:
pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, dan tambang.
-
Sektor sekunder:
industri pengolahan, listrik, gas, air, dan bangunan.
- Sektor
tersier: perdagangan, hotel, restoran, transportasi, telekomunikasi, keuangan
(perbankan), sewa, jasa perusahaan, pemerintahan, dan pertahanan.
2.
Pendekatan Pengeluaran ( Expenditure Approach)
Dengan pendekatan ini, besarnya pendapatan nasional dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh pengeluaran untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara selama satu periode tertentu. Perhitungan dengan pendekatan ini dilakukan dengan menghitung pengeluaran yang dilakukan oleh empat pelaku kegiatan ekonomi negara, yaitu rumah tangga (Consumption), pemerintah (Government), pengeluaran investasi (Investment), dan selisih antara nilai ekspor dikurangi impor (X – M) atau Ekspor Neto.
Dengan pendekatan ini, besarnya pendapatan nasional dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh pengeluaran untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara selama satu periode tertentu. Perhitungan dengan pendekatan ini dilakukan dengan menghitung pengeluaran yang dilakukan oleh empat pelaku kegiatan ekonomi negara, yaitu rumah tangga (Consumption), pemerintah (Government), pengeluaran investasi (Investment), dan selisih antara nilai ekspor dikurangi impor (X – M) atau Ekspor Neto.
Rumus Pendekatan Pengeluaran: Y = C + I + G + ( X – M)
Komponen Pendekatan Pengeluaran:
Y/ Yield = Pendapatan nasional
C =
Consumption/ konsumsi oleh rumah
tangga konsumsi
I =
Investment/ investasi oleh rumah
tangga produksi
G =
Government Expenditure/ pengeluaran
pemerintah
X dan M =
Export and import/ ekspor dan impor
Contoh penghitungan pendekatan pengeluaran:
Data di bawah ini adalah komponen-komponen
pendapatan nasional di suatu negara pada tahun 2009 dalam triliun (T) rupiah.
1.
Upah dan gaji 13,0 6.
Konsumsi Rumah Tangga 161,8
2.
Impor 2,5 7. Belanja pemerintah 44,5
3.
Laba perusahaan 10,5 8. Depresiasi 7,5
4.
Sewa 11,5 9. Modal swasta
15,1
5.
Ekspor 4,0 10. Investasi 60,4
Pendekatan Pengeluaran: Y= C + I + G + (X – M)
Y = 161, 8 + 60, 4 + 44, 5 + (4 – 2,5) T
= 161, 8 + 60, 4 + 44, 5 + 1,5 T
= 268,2 T
3.
Pendekatan Pendapatan (
Income Approach)
Dengan pendekatan ini, besarnya pendapatan nasional dapat dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan atau penerimaan yang diterima rumah tangga konsumsi dalam suatu negara selama satu periode tertentu sebagai imbalan atas faktor-faktor produksi yang digunakan untuk mewujudkan pendapatan nasional.
Dengan pendekatan ini, besarnya pendapatan nasional dapat dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan atau penerimaan yang diterima rumah tangga konsumsi dalam suatu negara selama satu periode tertentu sebagai imbalan atas faktor-faktor produksi yang digunakan untuk mewujudkan pendapatan nasional.
Rumus Pendekatan Pendapatan: Y= W + R + i + P
Komponen Pendekatan
pendapatan:
Y/Yield =
Pendapatan nasional
W = Wage/ upah atau gaji dari faktor produksi tenaga kerja
R = Rent/ sewa dari faktor produksi alam
R = Rent/ sewa dari faktor produksi alam
i =
Interest/ bunga modal dari faktor
produksi modal
P = Profit/ laba dari faktor produksi skill atau kewirausahaan
Sampai sekarang, Indonesia belum menggunakan cara ini untuk menghitung pendapatan nasionalnya. Salah satu negara yang menggunakan pendekatan ini adalah Amerika Serikat.
Sampai sekarang, Indonesia belum menggunakan cara ini untuk menghitung pendapatan nasionalnya. Salah satu negara yang menggunakan pendekatan ini adalah Amerika Serikat.
Contoh penghitungan pendekatan
pendapatan:
Tabel 1.2
Pendapatan Nasional Amerika Serikat 2007 (milyar dolar AS)
No
|
Jenis Kegiatan
|
Nilai (milyar)
|
Persentasi
|
1.
|
Ganjaran untuk pekerja
|
4.703
|
70,7
|
2.
|
Pendapatan usaha perorangan
|
545
|
8,2
|
3.
|
Pendapatan dari sewa
|
148
|
2,2
|
4.
|
Laba perusahaan perseroan
|
804
|
12,1
|
5.
|
Bunga bersih neto
|
450
|
6,8
|
Pendapatan Nasional
|
6.650
|
100
|
Sumber: Sadono Sukirno dalam buku Teori Makro Ekonomi, 2006
Dengan demikian,
pendapatan nasional Amerika Serikat pada tahun tersebut adalah US$ 6.650 milyar
lebih rendah dari PDBnya US$ 8.804 milyar pada tahun sama karena depresiasi,
pajak tidak langsung, dan pendapatan neto luar tidak termasuk lagi.
C. Kelebihan dan Kekurangan Metode Pendekatan Pendapatan
Nasional
1. Pendekatan Produksi (Production Approach)
Kelebihan pendekatan ini
adalah kita dapat melihat sumbangan berbagai sektor ekonomi atau lapangan usaha
dalam mewujudkan pendapatan nasional dan tingkat kegiatan ekonomi negara yang
dicapai dengan nilai output yang dihasilkan. Kekurangan pendekatan ini
adalah kadang-kadang sangat sulit untuk menentukan harga barang-barang dan
adanya depresiasi atau penyusutan kualitas barang. Sebagai contoh, walaupun
dengan mudah dapat dihitung jumlah produksi karet, tetapi sulit sekali untuk menentukan
nilai produksinya dalam pendapatan nasional karena harga barang terus berubah.
2. Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach)
Kelebihan
pendekatan ini adalah kita dapat mengetahui secara jelas komposisi dari
perbelanjaan agregat yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi dan dapat
digunakan sebagai landasan untuk mengambil langkah-langkah dalam mengatasi
masalah-masalah ekonomi yang dihadapi. Kekurangan
pendekatan ini adalah dalam praktiknya, timbul kesulitan dalam menentukan
apakah suatu barang itu barang jadi atau setengah jadi sehingga menimbulkan
masalah penghitungan ganda atau dua kali (double
counting).
3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
Kelebihan
pendekatan ini adalah dapat memberikan gambaran tingkat atau taraf kemakmuran
masyarakat dan perubahannya dilihat dari pendapatannya. Kekurangan
pendekatan ini adalah tidak adanya penghitungan pendapatan perusahaan milik
perseorangan atau keluarga dalam empat komponen pendapatan dalam pendekatan
ini.
D. Metode Pendekatan Pendapatan Nasional di Indonesia
Selama ini, setelah dianalisis
lebih jauh Indonesia menggunakan dua metode pendekatan untuk menghitung
pendapatan nasionalnya, yaitu pendekatan produksi dan pendekatan pengeluaran.
Sedangkan, untuk menghitung pendapatan nasional dengan pendekatan pendapatan
masih belum digunakan oleh Indonesia. Hal ini disebabkan masih kurangnya
pengelolaan dan pendistribusian pendapatan yang merata ke seluruh masyarakat
yang ada di Indonesia sehingga masih terjadi ketimpangan ekonomi di dalam
masyarakatnya.
2. DATA DAN ANALISIS PENDAPATAN DOMESTIK BRUTO (GDP)
INDONESIA
Harga konstan membuat
perhitungan terwakili, sehingga efek inflasi tidak diperhitungkan. Nilai dari
setiap periode waktu ditampilkan dalam lingkup harga-harga pada saat bebeapa
periode dasar.
Perhitungan dari harga
berlaku menunjukkan data, di mana nilai tiap barang ditampilkan dalam lingkup
harga-harga periode itu juga.
Kemudian dari tabel-tabel
di atas, kita dapat melihat posisi GDP Indonesia. Indonesia memang mengalami
peningkatan nilai GDP dari tahun ke tahun, namun bila dibandingkan dengan
negara maju, maka Indonesia masih jauh tertinggal. Untuk itu, sangat perlu
dilaksanakan program-program ekonomi yang diharap mampu mendongkrak posisi GDP
Indonesia secara signifikan.
3. INCOME PER CAPITA / PENDAPATAN PER KAPITA
A.
Konsep Pendapatan Nasional yang Terkait
dengan Pendapatan Per Kapita
-
Gross Domestic Product (GDP) / Produk Domestik Bruto (PDB)
Seluruh barang dan jasa yang dihasilkan
warga negara (termasuk asing) yang berada di wilayah negara selama satu tahun.
-
Gross National Product (GNP) / Produk Nasional Bruto (PNB)
Seluruh barang dan jasa yang dihasilkan
warga negara (tidak termasuk asing), ditambah warga negara tersebut yang berada
di luar negeri selama satu tahun.
GNP = GDP – NFIFA
* NFIFA: Nett Factor Income From Abroad / Netto faktor luar negeri
- Nett
National Product (NNP)
NNP = GNP – (Depreciation + Replacement)
* Depreciation:
penyusutan, Replacement: penggantian
barang modal
- Nett
National Income (NNI)
NNI = NNP – Indirect Tax (pajak tidak langsung)
-
Personal Income (PI)
PI = NNI + Transfer Payment – (Social Security Payment + Assurance + Undistributed Profit + Corporate
Taxes)
-
Disposible Income (DI)
DI = PI – Direct Tax (pajak
langsung)
B. Menghitung Pendapatan Per Kapita
Pendapatan
per kapita adalah pendapatan rata-rata penduduk suatu negara pada periode
tertentu. Konsep pendapatan per kapita/ Income
Per Capita (IPC) digunakan sebagai alat ukur tingkat kemakmuran suatu
negara pada periode tertentu. IPC = GNP/Q
IPC: Income Per Capita GNP: Gross National Product Q: Jumlah Penduduk |
Data World Bank
1989
|
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
|
1998
|
||
GNI per capita, PPP (current
international $)
|
1,270.00
|
1,410.00
|
1,420.00
|
1,560.00
|
1,850.00
|
2,020.00
|
2,200.00
|
2,380.00
|
2,490.00
|
2,100.00
|
|
Population, total (in millions)
|
174.5
|
177.4
|
180.3
|
183.1
|
185.9
|
191.5
|
194.3
|
197
|
199.8
|
||
GDP (current US$) (in millions)
|
101,455.20
|
114,426.50
|
128,168.00
|
139,116.30
|
158,006.80
|
176,892.10
|
202,132.00
|
227,369.70
|
215,748.90
|
95,445.50
|
|
GDP growth (annual %)
|
9.1
|
9
|
8.9
|
7.2
|
7.3
|
7.5
|
8.4
|
7.6
|
4.7
|
-13.1
|
Tabel 3.1. Data Perekonomian Indonesia 1989-2008 Versi World Bank
1999
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2,070.00
|
2,160.00
|
2,220.00
|
2,300.00
|
2,650.00
|
2,850.00
|
3,060.00
|
3,310.00
|
3,590.00
|
3,860.00
|
202.5
|
205.3
|
208.1
|
210.9
|
213.7
|
216.4
|
219.2
|
222
|
224.7
|
227.3
|
140,001.40
|
165,021.00
|
160,446.90
|
195,660.60
|
234,772.50
|
256,836.90
|
285,868.70
|
364,570.40
|
432,216.70
|
510,503.90
|
0.8
|
4.9
|
3.6
|
4.5
|
4.8
|
5
|
5.7
|
5.5
|
6.3
|
6
|
Tabel 3.2. Posisi Pendapatan Per Kapita Indonesia Tahun 2009
Dari
data di atas, dapat dilihat perbedaan tingkat pendapatan per kapita Indonesia
menurut kedua lembaga tersebut, disebabkan perbedaan metode dan penggunaan
variabel.
Menurut
World Bank, batas untuk menyatakan
negara msikin adalah dengan pendapatan per kapita minimum $ 2.00/orang/hari.
Namun berdasarkan data di atas, Indonesia masih berada di bawah batas tersebut.
Maka Indonesia dapat dinyatakan sebagai negara miskin atau lower-middle income country.
4. DISTRIBUSI PENDAPATAN NASIONAL DI INDONESIA
A. Distribusi Pendapatan Nasional yang Diterima Provinsi Terkaya
Berdasarkan data yang dihimpun dari BPS
edisi Agustus 2010, Kota Bontang di Kalimantan Timur pada 2009 membukukan PDB
per kapita tertinggi.
1. Kota Bontang, Kaltim
PDB per kapita Kota Bontang tercatat
sebesar Rp 368,05 juta. Bontang yang terletak sekitar 120 kilometer dari
Samarinda itu berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Timur di utara dan
barat, Kabupaten Kutai Kartanegara di selatan, dan Selat Makassar di timur.
Kaltim merupakan propinsi yang memberikan gaji atau upah tertinggi kedua secara
nasional kepada karyawan atau buruh, yakni Rp 2,15 juta per bulan.
Sejumlah perusahaan besar beroperasi di
kota ini, di antaranya Badak NGL (gas alam), Pupuk Kalimantan Timur (pupuk dan
amoniak), dan Indominco Mandiri (batu bara). Bontang juga memiliki kawasan
industri petrokimia dan merupakan kota yang berorientasi di bidang industri,
jasa serta perdagangan.
2. Kabupaten Mimika, Papua
Kabupaten Mimika di Papua selama 2009
membukukan PDB per kapita Rp 295,05 juta. Di Kabupaten Mimika yang beribukota
Timika itu beroperasi salah satu tambang emas terbesar dunia, PT Freeport
Indonesia. Gaji atau upah rata-rata yang diterima pegawai atau buruh di Papua
juga tertinggi di Indonesia, yakni Rp 2,16 juta per bulan.
Berdasarkan data Hasil Audit Badan
Pemeriksa Keuangan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2009, Kabupaten
Mimika mencatat dana bagi hasil Rp 424,33 miliar. Namun, perolehan dana bagi
hasil itu masih lebih rendah dibanding Bontang yang mencapai Rp 476,83 miliar.
3. Jakarta Pusat, DKI Jakarta
PDB per kapita tertinggi ketiga adalah
Jakarta Pusat yang mencapai Rp 224,41 juta. Sebagai daerah pusat ibukota
pemerintahan, Jakarta Pusat diuntungkan dengan berkembangnya transaksi bisnis
dan jasa. Upah atau gaji rata-rata yang diterima pegawai, pekerja atau buruh di
Jakarta, tergolong tinggi, yakni Rp 1,92 juta per bulan.
4. Kota Kediri, Jawa Timur
Sementara itu, Kota Kediri di Jawa Timur
mencatatkan PDB per kapita Rp 202,33 juta, atau menempati urutan keempat
terbesar. Di kota kretek itu beroperasi pabrik rokok besar, PT Gudang Garam Tbk
yang tahun lalu mencatatkan pendapatan Rp 32,97 triliun.
5. Kabupaten Siak, Riau
Di urutan berikutnya, Kabupaten Siak di
Riau membukukan PDB per kapita Rp 156,35 juta. Tidak ada perusahaan yang
menonjol di daerah tersebut, meski potensi unggulan daerah ini adalah sektor
pertambangan minyak bumi. Kabupaten Siak juga memiliki potensi strategis
mengingat daerahnya berada di wilayah segi tiga pertumbuhan ekonomi
"Sijori" Singapura-Johor-Riau dan IMG-GT (Indonesia Malaysia Thailand
Growth Triangle).
Dengan jarak hanya 150 kilometer dari
Singapura, Siak diuntungkan sebagai persinggahan alternatif bagi kapal pedagang
di Selat Malaka dan bahkan berpotensi besar menjadi relokasi industri dan
layanan perdagangan internasional.
Namun, untuk dana bagi hasil, Siak
menempati peringkat keempat terbesar atau mencapai Rp 993,2 miliar. Penerimaan
dana bagi hasil Kabupaten Siak ini hanya kalah dari Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur sebesar Rp 2,56 triliun, Bengkalis (Riau) Rp 1,51 triliun, dan
Kutai Timur (Kaltim) Rp 1,05 triliun.
6. Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara
Barat
Kabupaten lainnya yang mampu membukukan
PDB di atas Rp 100 juta adalah Kabupaten Sumbawa Barat di Nusa Tenggara Barat
(NTB). PDB per kapita kabupaten yang di daerahnya beroperasi perusahaan tambang
besar, PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) itu mencapai Rp 128,26 juta.(*)
- Distribusi Pendapatan Nasional yang Diterima Provinsi Termiskin
10 Propinsi Paling Miskin di Indonesia
Yang dimaksud
dengan penduduk miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per
kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Angka garis kemiskinan pada Maret 2010 adalah
Rp211.726,- per kapita per bulan.
Jika
membandingkan antar daerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi
persoalan kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu
justru terjadi di wilayah dengan kekayaan sumber alam melimpah, seperti Papua
dan Papua Barat. Prosentase angka kemiskinannya mencapai 34-36 persen, jauh
lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13,33 persen.
Selain Papua,
propinsi lain yang memiliki prosentase penduduk miskin tinggi adalah Maluku,
Nusa Tenggara, Aceh, Bangka Belitung dan lainnya. Jumlah penduduk di
propinsi-propinsi tersebut yang memang tidak sebanyak di Jawa, tetapi secara
prosentase dibandingkan total penduduk di wilayah tersebut, kelompok orang
miskinnya sangat tinggi.
10
Propinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi (%)
|
||
No
|
Propinsi
|
Angka
Kemiskinan
|
1
|
Papua Barat
|
36,80
|
2
|
Papua
|
34,88
|
3
|
Maluku
|
27,74
|
4
|
Sulawesi Barat
|
23,19
|
5
|
Nusa Tenggara Timur
|
23,03
|
6
|
Nusa Tenggara Barat
|
21,55
|
7
|
Aceh
|
20,98
|
8
|
Bangka Belitung
|
18,94
|
9
|
Gorontalo
|
18,70
|
10
|
Sumatera Selatan
|
18,30
|
Tabel 3.3. Sumber: Sensus
Nasional BPS 2010
Menurut pendekatan ini, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (GK).
Secara teknis GK
dibangun dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan
minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari;
sedangkan GKNM merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan
dan kesehatan.
Pengurangan kemiskinan sepanjang periode Maret 2009-Maret 2010 menjadi salah satu acuan bagaimana strategi yang bisa diterapkan. Pada periode itu angka kemiskinan berkurang 1,51 juta orang, menurut catatan BPS, terjadi karena sejumlah hal.
Pertama, inflasi umum relatif rendah, yaitu
sebesar 3,43 persen.
Kedua, rata-rata upah harian buruh tani dan buruh
bangunan masing-masing naik sebesar 3,27 persen dan 3,86 persen selama periode
Maret 2009-Maret 2010.
Ketiga, produksi padi tahun 2010 (hasil Angka
Ramalan II) mencapai 65,15 juta ton gabah kering giling (GKG), naik sekitar
1,17 persen dari produksi padi tahun 2009 yang sebesar 64,40 juta ton
GKG.
Keempat, sebagian besar penduduk miskin (64,65
persen pada 2009) bekerja di sektor pertanian. Nilai Tukar Petani naik 2,45
persen dari 98,78 pada Maret 2009 menjadi 101,20 pada Maret 2010.
Kelima, perekonomian Indonesia pada triwulan I
2010 tumbuh sebesar 5,7 persen terhadap Triwulan I 2009, sedangkan pengeluaran
konsumsi rumah tangga meningkat sebesar 3,9 persen pada periode yang sama.
C. Penyebab Perbedaan Distribusi Pendapatan Nasional
Timbul perbedaan tingkat pendapatan di
tiap provinsi timbul, antara lain karena adanya perbedaan dalam kepemilikan
sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi yang lebih
banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula. Kemudian secara
politis, karena adanya perbedaan pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah
mengenai perekonomiannya. Dan secara sosiologis, dapat disebabkan perbedaan kultur
dalam pembagian kerja dan etos kerja, serta perbedaan struktur masyarakat.
D. Koefisien Gini dan Kurva Lorentz
Gini Ratio (Koefisien Gini) biasanya ditunjukkan dengan
Kurva Lorentz yang menunjukkan
hubungan kuantitatif antara persentase penerimaan pendapatan penduduk dengan
persentase pendapatan yang benar-benar diperoleh selama satu tahun. Kurva ini
digunakan sebagai alat ukur distribusi pendapatan.
Tabel 3.4 Kurva Lorentz
Menurut Bank Dunia
- Ketimpangan tinggi : > 0.5
- Tinggi : 40% kelompok termiskin dengan pengeluaran < 12% dari total Y.
- Ketimpangan tinggi : > 0.5
- Tinggi : 40% kelompok termiskin dengan pengeluaran < 12% dari total Y.
- Sedang : 40% kelompok termiskin pengeluaran
12-17% dari total Y.
- Rendah : 40% kelompok termiskin dengan pengeluaran
> 17% dari total Y.
E. Cara Meningkatkan Pendapatan Per Kapita
-
Memperbesar
Gross National Product.
-
Menekan
laju pertumbuhan jumlah penduduk.
5. TUJUAN & MANFAAT MEMPELAJARI PENDAPATAN NASIONAL
A. Tujuan
-
Mengetahui
kemampuan dan pemerataan ekonomi masyarakat dan negara.
-
Memperoleh
taksiran akurat tentang nilai barang/ jasa dalam satu tahun.
-
Membantu pemerintah dalam perencanaa dan
pelaksanaan pembangunan.
-
Mengkaji
dan mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi perekonomian negara.
B. Manfaat
-
Mengetahui
struktur perekonomian negara (agraris, industri, atau jasa).
-
Mengetahui
pertumbuhan perekonomian negara, dengan cara mebandingkan pendapatan nasional
dari waktu ke waktu.
-
Dapat
membandingkan perekonomian antar-daerah.
-
Dapat
dijadikan dasar perbandingan dengan perekonomian negara lain.
-
Dapat
membantu kebijakan pemerintah di bidang ekonomi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
dari pembahasan mengenai pendapatan nasional di atas adalah, terdapat berbagai
teori dan metode yang dapat digunakan untuk menentukan tingkatan-tingkatan
unsur perekonomian negara. Selain itu, pembahasan di atas juga menyatakan bahwa
Indonesia masih berada pada kondisi ekonomi negara miskin, dilihat dari GDP dan
pendapatan per kapitanya.
Saran
kepada pembaca adalah dengan modal pemahaman di atas, dapat turut serta
memperlancar pembangunan negara. Dan selanjutnya mungkin dapat diperdalam
materi pembahasan di atas pada kesempatan yang lain agar timbul pengembangan
pemahaman yang lebih aplikatif untuk menyelesaikan masalah sosial-ekonomi yang
ada.
Kami
menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak terkait dalam penyelesaian makalah
ini. Semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Sukirno, Sadono. 2006. “Teori Ekonomi Makro”. Jakarta.
http://data.worldbank.org/country/indonesia.html diakses pada tanggal 9 November 2010 8:17 PM.
World Development Indicator Database World Bank,
27 September 2010 diakses pada tanggal 9 November 2010 8:18 PM.
www.indonesiamatters.com/946/wold-bank-on.poverty
diakses pada tanggal 9 November 2010 8:17 PM.
www.worldbank.org/depweb/english/beyond
global/chapter6 diakses pada tanggal 9 November 2010 8:18PM.
http://databanksearch.worldbank.org/DataSearch/LoadChart.aspx?db=2&cntrycode=IDN&sercode=&yrcode=YR2008
diakses pada tanggal 9 November 2010 8:19 PM.
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_ekonomi_makro/bab3_pendapatan_nasional_di_indonesia.pdf
diakses pada tanggal 11 November 2010 01.10 PM.
www.docstoc.com/docs/40735347/Pendapatan-Nasional
diakses pada tanggal 11 November 2010 01.16 PM.
http://ocw.usu.ac.id/.../sep_204_slide_minggu_ke__03_:_pengukuran_pendapatan_nasional.pdf
diakses pada tanggal 11 November 2010 01.23 PM.
Langganan:
Postingan (Atom)