Pada Sabtu, 25 April 2015 lalu, Nepal diguncang gempa bumi berkekuatan
7,8 Skala Ritcher yang menewaskan 7.365 jiwa dan jumlah korban cedera tercatat
14.366 orang (5/5)[1]. Gempa ini
disebabkan oleh benturan lempeng benua India dan Eurasia yang berpusat pada kedalaman
15 kilometer di bawah tanah sekitar wilayah Kathmandu, ibukota Nepal. Akibat
gempa tektonik ini, setidaknya 600 ribu rumah rusak, 4.500 sekolah hancur, dan sekitar
dua juta orang membutuhkan tenda, air, makanan, dan obat-obatan. Nepal juga
pernah mengalami bencana serupa pada tahun 1934, di mana 20 ribu jiwa tewas
akibat gempa berkekuatan 8,0 Skala Ritcher.
Puing-puing bangunan pasca gempa di Distrik Bhaktapur,
Nepal (25/4).
Sumber: Niranjan Shrestha/ASSOCIATED PRESS
Alam Indonesia dan
Bencana
Indonesia pernah mengalami gempa dengan karakteristik serupa
pada 27 Mei 2006 di Yogyakarta. Gempa ini juga diakibatkan oleh benturan lempeng
benua pada kedalaman 17 kilometer di bawah tanah sekitar pesisir Pantai Selatan
Jawa yang padat penduduk hingga menewaskan 6.234 jiwa. Tidak hanya sekali,
gempa bumi memang kerap terjadi di Indonesia. 26 Desember 2004 di Aceh, gempa
berkekuatan 9.3 SR yang diikuti tsunami mengakibatkan 131.028 jiwa meninggal dan
37.000 orang hilang. 30 September 2009 di sekitar Kota Padang, Sumatera Barat,
gempa berkekuatan 7,6 SR menewaskan 1.115 jiwa dan menyebabkan 135.299 rumah
rusak berat[2]. Selain
gempa tektonik akibat benturan lempeng benua, Indonesia juga banyak mengalami
gempa vulkanik seperti yang diakibatkan oleh letusan Gunung Tambora, Nusa
Tenggara Barat pada tahun 1815, dan letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda pada
tahun 1883 yang dampaknya terasa di seluruh penjuru dunia.
Alam Indonesia menyimpan sejuta potensi bahaya dan bencana
yang bisa datang kapan saja dan di mana saja. Hal ini disebabkan oleh posisi Indonesia
yang berada pada patahan lempeng Eurasia dan Indo-Australia layaknya Nepal, disebut
sebagai subduksi Sunda Megathrust yang
membentang sepanjang garis pantai selatan Indonesia dan bertemu dengan lempeng
Pasifik dan Filipina di dekat Maluku. Kondisi ini membuat Indonesia memiliki
130 gunung berapi aktif dan rawan mengalami gempa bumi. Selain gempa bumi,
kondisi alam yang demikian juga membuat Indonesia rawan mengalami bencana lainnya
seperti tsunami, tanah longsor, lahar dingin, dan banjir.
Peta lempeng benua antara
Nepal dan Indonesia.
Grafis:
dongenggeologi.com/Rovicky Dwi Putrohari
Bencana alam telah mengakibatkan ribuan orang meninggal
dunia, serta dapat terus berguguran dan menimpa siapa saja. Manusia tidak dapat
menolak terjadinya bencana, namun dapat melakukan persiapan dan mengambil
langkah pencegahan untuk meminimalisasi risiko dan dampak yang mungkin terjadi,
atau berakraban dengan bencana. Langkah-langkah yang dimaksud dikenal sebagai ‘mitigasi
bencana’.
Mitigasi bencana
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana). Jadi, mitigasi bencana dapat dilakukan secara struktural terhadap pembangunan fisik
bangunan agar lebih tahan gempa, tata wilayah yang berorientasi pencegahan
bencana, sistem pencegahan dan penanggulangan bencana yang sistematis dan
cepat-tanggap, serta secara non-struktural
yang berkaitan dengan sosialisasi dan persiapan masyarakat tanggap bencana.
Sedangkan untuk mengetahui risiko bencana (risk)
ini, kita perlu memperhitungkan tiga faktor, yakni bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability),
dan kapasitas (capacity) yang
terdapat pada suatu wilayah.
Bahaya adalah kejadian yang berpotensi menyebabkan kecelakaan,
cedera, hilangnya nyawa atau kehilangan harta benda. Bahaya dianggap sebuah
bencana (disaster) apabila telah
menimbulkan korban dan kerugian.
Kerentanan adalah
rangkaian kondisi yang menentukan, baik bahaya alam atau buatan, dapat
menimbulkan bencana atau tidak. Rangkaian kondisi yang dimaksud dapat mempengaruhi
kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan dan tindak-tanggap
terhadap dampak bahaya, antara lain berupa,
- Kerentanan fisik : bangunan, infrastruktur, konstruksi yang lemah;
- Kerentanan sosial : kemiskinan, lingkungan, konflik, anak-anak, wanita, lansia;
- Kerentanan mental: ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya percaya, dsb.
Kapasitas adalah kemampuan untuk memberikan tanggapan terhadap
situasi bahaya/bencana dengan sumber daya yang tersedia (fisik, manusia,
keuangan, budaya dan lainnya).
Risiko adalah
potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dalam
kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, hilangnya rasa
aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat yang diakibatkan oleh kombinasi bahaya, kerentanan, dan kapasitas
yang ada.[3]
Yang Penting untuk
Berakraban dengan Bencana
Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana dan dapat kita
lakukan bersama, yakni
- Penyediaan informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana yang dapat disediakan oleh Pemerintah Daerah setempat bekerjasama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (www.bmkg.go.id), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian ESDM (www.vsi.esdm.go.id), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (www.bnpb.go.id), dan lembaga lainnya, serta dipublikasikan secara luas di tempat-tempat umum.
- Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana dengan melibatkan komunitas, organisasi non-pemerintah, tokoh masyarakat, dan pemuda secara rutin dan berkelanjutan.
- Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal kepada anak-anak, rapat/rembug warga, seminar, workshop, dan simulasi yang dilakukan di tengah masyarakat umum. Pembuatan media sosialisasi secara kreatif dan inovatif juga perlu dilakukan untuk memperluas pengetahuan akan mitigasi dan penanggulangan bencana.
- Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat koordinasi dan sinergi antar lembaga, serta pemanfaatan teknologi kebencanaan secara luas seperti konstruksi bangunan tahan gempa, hydrant, tsunami warning system, dan penggunaan robot/drone untuk membantu proses evakuasi bencana.
Tidak ada manusia yang ingin terimpa bencana, dan kita tidak
dapat menyalahkan alam akan bahaya yang dapat datang tiba-tiba. Oleh sebab itu,
kita perlu mengakrabkan diri dengan bencana, mengenal dan memahami risiko, serta
mengetahui tindak-tanggap yang harus dilakukan sebelum, di saat, dan sesudah
bencana agar kita tidak kaget ketika berjumpa dengannya. Biasanya badai yang dahsyat berawal dari malam yang
tenang. Penulis harap tidak demikian, karena Indonesia sudah sedia payung sebelum hujan.
***
Depok, 9 Mei 2015.
Langitantyo Tri Gezar – Gerakan Mari Berbagi
Informasi lebih lanjut
mengenai mitigasi bencana dan yang harus dilakukan di saat bencana, baca
[1]Tempo. 5
Mei 2015. Gempa Nepal: Korban Jiwa Sudah
Mencapai 7.365 Orang. http://www.tempo.co/read/news/2015/05/05/118663578/Gempa-Nepal-Korban-Jiwa-Sudah-Mencapai-7365-Orang,
diakses pada 9 Mei 2015.
[2]Wikipedia.
Daftar gempa bumi di Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_gempa_bumi_di_Indonesia,
diakses pada 9 Mei 2015.
[3]Pusat
Pendidikan Mitigasi Bencana (P2MB), Universitas Pendidikan Indonesia. Apakah Mitigasi Bencana itu? http://p2mb.geografi.upi.edu/Mitigasi_Bencana.html,
diakses pada 9 Mei 2015.