(Adopted from R.A. Kartini’s letters; 1898 - 1903)
(Discus : Fadhil Indra, Anto Praboe, Iwan Hasan)
Mengharapkan terang yang tak kunjung datang,
dari gelap berselimut tradisi. Tidurlah wanita priyayi,
mimpi untuk seabad lagi...
Tradisi yang berabad-abad... yang tak dapat dipatahkan begitu saja,
membelengu kami
(tapi) meski saat itu masih jauh sekali...
Tak terhingga jauhnya. Tapi saat itu pasti akan tiba,
saya tahu itu, meski baru tiga-empat turunan lagi!
(September, 18th 1899; to Ms. Abendanon)
bela-kan derajat kaumnya, jajar-kan pundak bangsanya
Kartini lantang bicara; maju... sekarang!!
Selimut awan kelabu yang bergerak, mulai menghilang
HABISlah GELAP TERBITLAH Sang Sinar TERANG
Goresan tinta Kartini, menggagas harapnya...
Senandung nada-nada nyanyian hati, keras menentang
Menggugat jaman... (‘tuk) seabad lebih ke depan
Ketika ilmu tak tersentuh jari wanita
Bela-kan derajat kaumnya, jajar-kan pundak bangsanya
Kartini pun lantang bicara: “tentukan sikap untuk maju”
chorus:
Door Dusiternis tot Licht, The Letters of a Princess
[letters of a princess] / [habis gelap, terbitlah terang]
Segenggam bekal Sang Ajeng yang mencari arah nurani
Untuk membawa... arti semangat juangnya
Terhenti gerak luhur oleh adat tradisi
“tetap tinggal di rumah saja” titah ningrat, titah dungu
Raden Ajeng bangkit meronta, jatuh terhempas
tanpa daya...
Nikmati tidurmu seratus tahun lagi, kelak mimpimu menjadi kenyataan,
untuk terlahir di jaman kedambaan
bagi wanita yang hidup bebas... searah...
nurani yang tertitip olehmu...
Mengusung gerak langkah luhurmu...
Menghancurkan dinding batu bengis itu!
(November, 6th 1899; to Stella Zeehandelaar)
Teriakkan kecewa! Jangan bungkam dengan senyum manis...
Ketika.. berakhir harapmu dan raga di ujung kuasa bupati
Bermadu istri-istri jelita... anggun(?)... nan priyayi(?)
Terkungkung pada empat tembok bengis itu
Ingin kudobrak pintu, berlari ke depan, dan berteriak lembut
Hanya di sini tempatku, rumah batu, dan gamelan syahdu
Untuk bukan sebuah kemungkinan maju... tapi patuh sujud...
Di samping bara api yang sudah lama sekali menyala...
menjilat... memancarkan... tepi-tepi biru yang nanti
-entah kapan, mungkin seabad, akan banyak,
yang memadamkannya. Semoga....
(November, 6th 1899; to Stella Zeehandelaar)
Terpasung dinding tradisi yang menjulang, keras membatu
Tiada daya, terhimpit cita-citanya...
Hadapi hidup kodrati, meski hasratnya tak’kan mati...
Seribu telapak berbunyi, ia tak lagi sendiri
Bunga-bunga mekar mewangi
Mengharumkan abdi Sang Bunda....
[LISTEN THIS SONG by DISCUS]