Bulan
Mei selalu menjadi medan ujian bagi bangsa Indonesia. 20 Mei 1908, kita
mengenal tanggal ini sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Boedi Oetomo mulai
berdiri menjadi organisasi pergerakan pertama Indonesia di tengah perkembangan politik
etis kolonial masa itu. Walau awalnya bersifat Jawa-sentris, namun kemudian BU
menginspirasi lahirnya organ-organ pergerakan kemerdekaan serupa. Di bulan ini
juga, pada tahun 1945, Soekarno menggali butir-butir Pancasila dari relung ingatan
kebangsaan yang masih tercecer dalam cerita dan hidup rakyat Indonesia. Hingga
pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, rumusan Pancasila pertama kali dipidatokan.
Jauh-jauh hari kemudian, 19 tahun lalu, mahasiswa berdemonstrasi di mana-mana
menuntut turunnya Presiden Soeharto. Mahasiswa ditembaki, siaran pers dikebiri.
Korban bertumbangan dan hilang, dikenang dalam Tragedi Semanggi dan Trisakti. Nyatanya,
sepekan kemudian Soeharto bersama Orde Baru lengser. Reformasi bergulir.
Demokrasi kita lahir kembali. Betapa heroiknya ingatan-ingatan di Bulan Mei itu.
Mahasiswa menduduki Gedung MPR-DPR RI saat Reformasi 1998. |
Sedangkan
Bulan Mei tahun 2017 diwarnai berbagai peristiwa yang mengguncang hati nurani dan
menguras energi. Paling fenomenal adalah berita dipenjaranya Ahok atas kasus
penistaan agama yang telah bergulir lama dan mengundang aksi berjilid-jilid. Massa
penolaknya bersuka cita, massa pecintanya menangis sendu. Benci-membenci atau dukung-mendukung seolah jadi perihal paling
pokok di negeri ini. Bau-baunya tidak hanya tercium di Jakarta tapi hampir
seantero Nusantara, sampai warung kopi dan ranah privasi. Seorang Gubernur beragama
Kristen dipenjara karena silap lidahnya. Masyarakat dipecah-belah karena
pilihan politiknya.
Kemudian
hari, dengan (sok) gagahnya, seorang menteri koordinator bersama beberapa
menteri kabinet mengumumkan pembubaran sebuah ormas radikal. Silakan Anda pro atau
kontra dengan haluan ormas tersebut, tapi yang harusnya jadi sorotan, telah terjadi
pelanggaran serius. Negara tidak menjalankan proses hukum yang diamanatkan
dalam Undang-Undang dengan membubarkan sebuah ormas tanpa melalui proses
peradilan. Lebih-lebih lagi, negara melanggar konstitusi dalam menjamin
kebebasan berpendapat dan berserikat. Ada yang sebut, beliau ingin unjuk gigi
bahwa dirinya masih punya kendali agar tidak di-reshuffle. Entahlah. Tapi seyogyanya kita perlu cemas bahwa di
Bulan Mei yang berkah ini, hukum dilompat-loncati. Demokrasi yang disangka
kebablasan ternyata diberangus sedemikian rupa atas nama penistaan agama ataupun
Pancasila yang dijadikan alat kepentingan sebagian golongan. Bila Ahok dan HTI
saja bisa diperkarakan, apalagi kita?!
Ahok
mungkin salah ucap dan didakwa menista agama, namun apakah ia patut diganjar
hukuman sosial sedemikian rupa? Mungkin ada ormas radikal yang menganggap
Pancasila ini thogut atau setara
haramnya berhala, tapi apa mereka pantas menerima pembubaran yang sekonyong-konyong
tanpa diberi ruang klarifikasi? Preseden-preseden ini bisa jadi menimbulkan
ketakutan di antara kita untuk berpendapat atau menyampaikan ide dan keyakinan
kita di depan umum. Sayangnya, dua peristiwa ini disambut oleh rezim dengan
membatasi kebebasan secara kurang ajar. Padahal kebebasan ini sudah
diperjuangkan sejak lama. Jangan sampai runtuh begitu saja.
Kebebasan
memang ada batasnya, yakni jika menyangkut fitnah, ujaran kebencian (hate speech), atau mengganggu kebebasan
orang lain. Tapi rasanya tak ingin cita dan cipta kebangkitan nasional,
kelahiran Pancasila, beserta perjuangan reformasi hilang sirna hanya karena
Pilkada atau berangus pemerintah. Semangat berkumpul dan berpendapat dalam
majelis yang terbuka serta berpikiran terbuka harus terus dipupuk lagi dan
lagi. Demikian ketika Bung Wahidin Soedirohoesodo mengutarakan gagasan pembentukan
Boedi Oetomo. Dari minoritas orang Jawa di sekolah Belanda, memberikan gagasan liar
tentang organisasi pribumi, sebuah tsunami perjuangan untuk merdeka dapat
dibangkitkan. Belum lagi bagaimana Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal Ki
Hadjar Dewantara, mengritik pemerintah Belanda dengan suratnya, “Als ik een Nederlander was” (Seandainya
Aku Seorang Belanda), bikin kuping kolonial meradang berhadiah jeblosan penjara pula.
Lalu
coba bayangkan sidang-sidang BPUPKI di Bulan Mei dan awal Juni dahulu. Tak ada
rasa takut untuk mengutarakan konstitusi awal negara Indonesia di depan sidang
yang beragam latar belakang apalagi diawasi oleh mata para penjajah Jepang. Yang
utama bukan selisih pendapat atau adu argumen semata, tapi adalah adalah
khidmat kebijaksanaan dan gelora kebangsaan.
Atau
lihatlah aksi mahasiswa 98 di jalan-jalan lampau, tak gentar berhadapan dengan
rentetan senapan dan deru panzer tentara. Walau nyawa berguguran, hasilnya
dapat kita nikmati sekarang; reformasi disertai kebebasan yang lama
dicita-citakan.
Mereka-mereka
adalah para pembebas. Walau diri mereka sempat dikekang dan dibatas-batasi,
sekaligus oleh penguasa maupun penjajah, mereka tetap berani berpendapat. Bukan
perihal penistaan agama atau tudingan anti Pancasila yang saat itu jadi
polemik, tapi ide-ide bagaimana bangsa ini bisa merdeka, bisa bebas dari
keterbelakangan dan ketertutupan situasi. Itulah yang penting.
Kita
berharap rezim-rezim represi tidak terlahir kembali di bumi pertiwi. Walau ada
yang mencoba tampil dengan gincu demokratis padahal anti demokrasi, setiap
wujud pengekangan terhadap kebebasan harus dilawan, sebab ini berkaitan langsung
dengan perjuangan-perjuangan yang sudah diusahakan. Jangan sampai keringat dan
darah para pembebas bangsa menjadi percuma hanya karena ekses negatif Pilkada atau
berangus pemerintah. Bila kita tetap diam, hancur sudah kebebasan kita, yang
artinya juga kemerdekaan bangsa ini.
Di
tengah goncangan bulan Mei yang terjadi, jangan pernah takut untuk melawan. Berpendapat
dan katakanlah soal kebenaran. Sekali lagi, ingat-ingatlah itu perjuangan
kebebasan kita di bulan Mei yang lalu-lalu. Dari situ bisa kita petik bahwa
kebebasan berpendapat memang berkali-kali menerima ganjaran atas ketidaksukaan
segelintir orang. Namun apabila pendapat yang disampaikan adalah sebuah
kebenaran demi memperjuangkan kemaslahatan orang banyak, maka dampaknya akan
tetap terasa dan dinikmati semua. Jangan biarkan bangsa ini dikurung kembali
dalam kandang ketidakbebasan. Mari bung rebut kembali!
Kebon
Sirih, 16 Mei 2017.