Alhamdulillah, khusnudzon memang lebih baik. Lagipula, apalah saya dibandingkan Tere Liye yang sudah punya lusinan buku, atau dengan para sejarawan-pengamat-kritikus di luar sana.
MEMANG banyak ulama dan tokoh agama yang ga suka sama penjajah, lalu ngajakin umat buat berjuang; macam kisah-kisah Perang Jawa-nya Pangeran Diponegoro, Perang Padri di Sumbar, Perang Aceh, kemudian Sarekat Islam. Ada peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Mungkin saat itu muncul 'romantisme' Perang Salib (karena para penjajah kita dulu itu agamanya Kristen), tapi ini sekadar dugaan saya lewat referensi yang terbatas-masih perlu dibuktikan.
TAPI, perlu dicatat, banyak juga ulama dan tokoh agama yang dekat dengan kaum feudal, 'jembatannya' para penjajah di bumi Indonesia. Nah, kaum feudal inilah yang kerap melanggengkan penjajahan. Siapa itu kaum feudal yang dimaksud? Lurah-Camat-Bupati-Gubermen-Raja-Bangsawan-Priyayi-Kabir yang suka menjilat kaum penjajah. Ini yang dilawan Bapak-Ibu Pahlawan di masanya (tentunya selain kaum penjajah itu sendiri). Apesnya, mereka lebih sulit dilawan karena warna kulitnya sama dengan kita.
WALAU demikian, tidak semua kaum feudal itu penjilat. Ada juga raja-raja di Buleleng, Banjar, Makassar, dan Maluku yang mati-matian melawan penjajah. Bahkan, kaum terdidik (dalam artian Barat) pertama bangsa ini lahir dari kaum feudal. Soekarno adalah keturunan ningrat berdarah Jawa-Bali. Soewardi Soerjaningrat yang priyayi, membuang titel kebangsawanannya dan lebih suka dipanggil Ki Hadjar Dewantara. Atau masih ingatkah kita dengan curhatan pilu R.A. Kartini? Mereka adalah kaum feudal yang menolak ekses negatif dari feudalisme itu sendiri, yakni keterkekangan dan kemunafikan.
Para Pahlawan kita datang dari berbagai latar belakang. |
YA, keterkekangan dan kemunafikan adalah gembok pengunci perjuangan kemerdekaan kita. Yang saya maksud sebagai keterkekangan adalah sekat-sekat kesukuan, etnis, ras, kelas, ideologi, dan tertutupnya pikiran. Sedangkan kemunafikan di sini adalah tipu-tipunya kaum penjajah, feudal, kabir, bahkan tokoh agama yang punya kepentingannya sendiri-sendiri. Bagi saya, kunci pembuka gembok itu adalah persatuan dan ilmu pengetahuan (Kebenaran) yang jujur. Siapa sangka jika ilmu pengetahuan yang jujur itu dirintis oleh kaum komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, dan pendukung liberal, dengan kritik serta perlawanannya terhadap kapitalisme-kolonialisme-imperialisme-kerakusan di Indonesia?
Kemerdekaan kita adalah hasil perjuangan multi-sektor. Persatuan dan ilmu pengetahuan lintas sektor-lah yang membuat kita sama-sama terbebas dari penjajahan. Sangat keliru jika menyatakan kaum tertentu lebih berjasa daripada kaum lainnya dalam merealisasikan kemerdekaan. Namun, yang saya sayangkan dari posting Mas Darwis (Tere Liye) sebelumnya adalah klaim dan negasi yang keterlaluan ini. Untunglah beliau mengejawantahkan ulang maksud dari posting-nya itu (walau masih dengan nada defensif). Puji syukur jika polemik seperti ini membuat kita membaca ulang sejarah secara lebih jujur dan menyeluruh.
Sebenarnya masih ada curhatan tentang apa itu "kearifan bangsa sendiri" yang abstrak bin debatable, atau 'penyakit' keterkekangan dan kemunafikan yang masih menjangkit hingga hari ini; entah di kalangan pejabat di Senayan, tentara-tentara di Papua, atau kelas pekerja ngehek di media sosial . Aah, terlalu banyak curhatan dan kesok-tahuan saya di sini, dan nampaknya akan membuat tulisan ini semakin tidak menarik. Sekali lagi, apalah saya dibandingkan Tere Liye.
Tabik.
Kukusan, 2 Maret 2016.
Sumber :
https://www.facebook.com/tereliyewriter/posts/1103275466389687
Tidak ada komentar:
Posting Komentar