Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010
Judul :
“Ilmu Hukum”
Pengarang : Satjipto
Rahardjo
Data Publikasi : Ilmu Hukum Bab X, Proses Hukum, 175-188
Ada tiga kategori kualitas hukum, yaitu normatif, sosiologis,
dan filsafati. Selanjutnya akan membicarakan tentang bagaimana fungsi hukum
untuk mengatur kehidupan bersama. Kemudian juga membicarakan model tertentu
penegakan hukum, disebut administrasi keadilan. Di Amerika Serikat ada “the criminal justice system”, maka di
Indonesia diungkapkan seperti
“pendekatan terpadu”. Bertolak dari manajemen kelembagaan, diharapkan
memperkaya ilmu hukum Indonesia.
- PEMBUATAN HUKUM
Hukum berfungsi mengatur kehidupan bersama, maka harus
menjalani proses panjang melibatkan
aktivitas dengan kualitas berbeda, berupa pembuatan
hukum dan penegakan hukum. Lebih
pastinya digunakan istilah pembuatan
undang-undang. Karena pembuatan hukum adalah pembuatan undang-undang
tersebut. Tapi tidak lazim untuk mengatakan “penegakan undang-undang”. Istilah
penegakan hukum dipakai tetap.
Proses hukum di sini bisa menimbulkan pemahaman keliru.
Misalnya orang terpikir pada “jalannya suatu proses peradilan”. Ditegaskan,
proses hukum di sini adalah “perjalanan yang ditempuh hukum untuk menjalankan
fungsinya, yaitu mengatur masyarakat atau kehidupan besama”.
Pembuatan hukum merupakan awal proses pengaturan
tersebut, momentum pemisahan keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur
hukum. Pemisah “dunia sosial” dan “dunia hukum”, ditundukkan tatanan hukum pada
penilaian hukum, ukuran hukum, dan akibat-akibat hukum.
Berbicara bahan dan struktur dalam rangka pembuatan
hukum, maka bahan di sini menunjuk kepada isi, sedangkan struktur kepada
kelengkapan organisator yang memungkinkan hukum itu dibuat. Berbeda sesuai
susunan kenegaraan yang dianut.
A.1. Bahan Hukum
Proses pembuatan hukum terbagi dalam 1) tahap inisiasi (munculnya gagasan), 2) tahap sosio-politis, dan 3) tahap
yuridis. Dimulai sebagai gagasan atau ide, diproses sehingga menjadi bahan
yang siap diberi sanksi hukum. Muncul di masyarakat berbentuk keinginan agar
suatu masalah diatur oleh hukum. Misalnya keinginan adanya pengaturan
lingkungan hidup yang menjadi gawat, sehingga negara perlu membuat hukumnya.
Tahap sosio-politis, gagasan awal diolah oleh masyarakat,
dibicarakan, dikritik, dipertahankan, melalui pertukaran pendapat
antar-golongan. Gagasan mengalami ujian, apakah bisa terus atau berhenti. Jika
berhenti, akan hilang dan tidak dipermasalahkan. Apabila terus, bentuk dan isi
gagasan mengalami perubahan, yaitu pematangan dan penajaman (articulated).
Berikutnya (tahap yuridis), pemberian sanksi hukum
terhadap bahan tersebut. Melibatkan kegiatan intelektual murni bersifat
yuridis, ditangani oleh tenaga khusus berpendidikan hukum. Misalnya perumusan
dalam bahasa hukum, meneliti konteksnya dalam sistem hukum yang ada sehingga
tidak menimbulkan gangguan sebagai kesatuan sistem, kemudian
diundang-undangkan.
A.2. Struktur Pembuatan Hukum
Struktur perlu diciptakan agar pemrosesan bahan hukum
bisa dijalankan. Menyangkut penyusunan organisasi yang akan mengatur
kelembagaan bagi pembuatan hukum, serta mekanisme kerja lembaganya.
Berdasarkan doktrin Montesquieu (“L`Esprit des Lois”, 1748) yaitu “separation of powers” (pembagian kekuasaan) atau “Trias Politica” (legislatif, yudikatif,
eksekutif). Untuk melindungi individu, tiap lembaga hendaknya memiliki
otonominya masing-masing, sehingga yang satu tidak ditundukkan yang lain (checks and balances). Di atas fundamen
itu, pengorganisasian pembuatan hukum dilakukan.
Pengorganisasian pembuatan hukum tidak berdiri sendiri,
namun bagian dari penataan ketatanegaraan—filsafat pembagian kekuasaan. Dengan
memisahkannya dari aktivitas kenegaraan lainnya (proses yang eksklusif), artinya dipercayakan kepada
satu badan yang berdiri sendiri dan hanya melakukan satu kewenangan saja, yaitu
membuat hukum (badan legislatif). Badan yudikatif dan eksekutif tidak boleh
mencampurinya. Namun, tidak ditemukan praktik pengorganisasian yang mutlak sama
di negara dunia. Amerika Serikat dan Inggris, bertipe Anglo-Saxon, berbeda
pula. Pemisahan kekuasaan bukan doktrin mutlak seperti di Eropa daratan. Misalnya
di AS, pengadilan menjalankan kekuasaan yang oleh dunia dianggap memasuki
kewenangan eksekutif (Gilmore, 1977: 25-36).
Kutipan Montesquieu, pembuatan hukum yang baik (Allen,
1964: 467-468):
1. Gaya
padat dan sederhana. Kalimat muluk dan retoris merupakan hal berlebihan dan
menyesatkan.
2. Istilah-istilah
yang dipilih, sedapat mungkin mutlak dan tidak relatif, sehingga mempersempit
kemungkinan adanya perbedaan pendapat.
3. Membatasi
diri pada hal aktual, menghindari perumpamaan atau hipotesis.
4. Tidak
rumit, sebab dibuat untuk orang kebanyakan; jangan mempersoalkan logika, tetapi
sekadar bisa dijangkau penalaran umum.
5.Janganlah
masalah pokok dikaburkan oleh penggunaan perkecualian, pembatasan, atau
modifikasi (kecuali benar-benar dibutuhkan).
6. Tidak
argumentatif; berbahaya memberi alasan rinci tentang masalah yang diatur,
hanya akan membuka perdebatan.
7. Isi
dipikirkan secara masak. Jangan membingungkan pemikiran, rasa keadilan, serta
umumnya sesuatu berjalan alami. Hukum yang lemah berakibat keseluruhan sistem
UU ambruk, merusak kewibawaan negara.
- PENEGAKAN HUKUM
Pembuatan hukum hanya setahap dari perjalanan untuk
mengatur masyarakat. Harus disusul pelaksanaan konkrit, yang dimaksud dengan
penegakan hukum.
Dalam bahasa Indonesia, dikenal istilah “penerapan
hukum”. Tetapi mendatang, penegakan hukum merupakan istilah yang dijadikan (coined). Disebut juga dalam bahasa lain,
seperti: rechstoepassing, rechtshandhaving (Belanda); law enforcement, application (Amerika).
Dalam struktur kenegaraan modern, tugas penegakan hukum
dijalankan komponen eksekutif, dilaksanakan oleh birokrasinya (birokrasi
penegakan hukum). Sejak negara mencampuri banyak bidang kegiatan dan pelayanan
masyarakat, maka campur tangan hukum juga makin. Tipe negara demikian disebut welfare state. Eksekutif dan
birokrasinya merupakan bagian mata rantai perwujudan rencana yang tercantum
dalam peraturan hukum yang menangani bidang-bidang tersebut.
- PERADILAN
Peradilan menjadi suatu macam penegakan hukum. Pebedaanya
dengan eksekutif, mereka menjalankan penegakan hukum secara aktif, sedangkan
peradilan pasif. Disebabkan menunggu pihak yang membutuhkan jasa peradilan (yustisiabel), yang membawa persoalan dan
diselesaikan melalui proses peradilan.
Dibedakan antara peradilan
dan pengadilan. Peradilan menunjuk
proses mengadili. Pengadilan salah satu lembaga dalam proses tersebut. Lainnya
berupa kepolisian, kejaksaan, dan advocaat.
Hasil akhirnya berupa putusan pengadilan atau
putusan hakim sebagai pemimpin sidang di pengadilan.
Berjalannya proses peradilan erat dengan substansi yang
diadili (perkara perdata atau pidana). Keterlibatan lembaga-lembaga dalam
proses peradilan secara penuh terjadi saat mengadili perkara pidana. Dijumpai
diferensiasi forum pengadilan. Terbentuk berbagai fora pengadilan (pengadilan
agama dan militer). Tidak ada struktur universal kelembagaan pengadilan,
mengakibatkan di tiap negara, fora pengadilan berbeda.
Bagi ilmu hukum, bagian penting proses mengadili saat
hakim memeriksa kenyataan terjadi dan mengadili/menghukumi perkara sesuai
peraturan berlaku. Waktu putusan itulah puncak penegakan hukum. Oleh Hans
Kelsen, penegakan hukum yang demikian itu disebut Konkretisierung.
- ADMINISTRASI KEADILAN
Di Indonesia, hukum acara lebih dikenal daripada
adminisitrasi keadilan (administration of
justice). Dalam administrasi keadilan, lebih menonjol pendekatan
administrasi ketimbang hukum. Pendekatan hukum menggunakan doktrin normatif,
memikirkan pembuatan aturan menyuruh/melarang untuk menertibkan proses
mengadili. Pendekatan administrasi menggunakan doktrin administrasi, efisiensi
kerja lembaga terlibat dalam proses mengadili. Didukung oleh penggunaan analisis sistem dan pendekatan sistem
atau ancangan sistem (La Patra,
1978).
Administrasi keadilan: penerapan keadilan dalam
masyarakat membutuhkan pengelolaan, tidak dapat hanya diserahkan kepada
masyarakat (dipercayakan kepada masing-masing anggota) begitu saja (Dias,
1976: 88-106).
Karakteristik menonjol pada hukum modern pada cara-cara
menerapkan keadilan dalam masyarakat. Berbeda dengan dulu, istilah Weber
disebut kategori “dominasi”, sistem hukum modern menekankan pada struktur yang
birokratis. Sebelum birokratisasi, perlu pemerintahan yang kuat, yang mampu
mengambil alih semua pusat kekuasaan dalam masyarakat sehingga hanya tinggal
satu kekuasaan sentral.
Proses pengalihan penerapan keadilan secara pribadi ke
negara tidak sekaligus. Semakin kuatnya kedudukan dan kekuasaan
negara/pemerintahan, penerapan keadilan berangsur pindah, kemudian dilembagakan
(dinegarakan). Muncullah istilah law enforcement (pelaksanaan/penerapan
hukum) dan administration of justice
ini.
Apabila keadilan dinegarakan, maka perlengkapannya adalah
pembuatan hukum dan pelaksanaannya (dalam dan luar pengadilan). Namun biasanya
administrasi keadilan dipakai dalam pelaksanaan hukum saja, khususnya melalui
pengadilan.
Keadilan terbagi dalam keadilan “perdata” dan
“kriminal”/”pidana”. Pada perdata, kita berhadapan dengan pelanggaran terhadap
perorangan. Pidana berhadapan dengan pelanggaran terhadap umum.
Keadilan perdata berurusan dengan hak primer (bukan
karena terjadi pelanggaran sebelumnya) dan hak yang timbul dari pemberian
sanksi. Muncul sebagai kelanjutan pelanggaran. Proses penerapannya harus
mengikuti prosedur di Indonesia, Hukum Acara Perdata. Kenyataannya,
pengadministrasiannya masih saja memberikan ruang gerak kepada pihak yang
terlibat.
Administrasi keadilan pidana berbeda dan menonjol, bahwa
badan (polisi, jaksa, pengadilan, dan masyarakat) yang terlibat banyak,
sehingga butuh pengelolaan saksama. Masalah terumit, bagaimana
mengorganisasikan badan-badan yang berbeda wewenang menjadi satu kesatuan
kerja. Semua badan ini mengurus orang yang sama (tersangka/terdakwa/terhukum).
Bila tiap badan memegang teguh birokrasinya, maka efisiensi administrasinya
bisa sangat terganggu.
Jalannya administrasi keadilan di bidang pidana sangat
kompleks (lihat ragaan 18: Administrasi
keadilan di bidang hukum pidana, Ilmu
Hukum hlm. 186). Efisiensi kerja menjadi masalah utama. Kecaman bisa
dilontarkan terkait ketidaksamaan perlindungan tersangka dan putusannya,
sehingga mengalami hukuman yang lebih atau kurang dari semestinya.
Pengelolaan proses administrasi keadilan yang kompleks
sangat dibantu oleh ilmu manajemen. Efisiensi dan penanganan sistemik bertolak
dari proses sebagai satu kesatuan. Sehingga semua badan terlibat harus
menyadari kedudukannya sebagai sub-sistem dari sistem yang besar (hukum).
Konsekuensinya, fungsi administrasi keadilan hendaknya mampu menyediakan
tatanan berkapasitas menyelesaikan masalah kejahatan secara adil. Kemampuan
menyelesaikan, daftar kerja pengadilan (La Patra, 1978: 65):
- Terdakwa tidak
diabaikan untuk diwakili secara efektif.
- Rakyat tidak
diabaikan untuk diwakili secara efektif.
- Ciptakan
kondisi mendukung ke arah penilaian adil dan nalar (logis).
- Mungkinkan
pemrosesan perkara dengan kecepatan terukur.
- Minimalisir
beban di pundak pihak-pihak berpekara.
- Minimalisir
beban pihak-pihak lainnya.
- Minimalisir
ongkos/biaya perkara.
(Lihat ragaan 23: Model sistemik administrasi
keadilan menurut Gazell, Ilmu Hukum
hlm. 188 (Gazell, 1971: 448))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar