Kamis, 05 Desember 2013

PROSES HUKUM

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Judul               : “Ilmu Hukum”
Pengarang      : Satjipto Rahardjo
Data Publikasi : Ilmu Hukum Bab X, Proses Hukum, 175-188

Ada tiga kategori kualitas hukum, yaitu normatif, sosiologis, dan filsafati. Selanjutnya akan membicarakan tentang bagaimana fungsi hukum untuk mengatur kehidupan bersama. Kemudian juga membicarakan model tertentu penegakan hukum, disebut administrasi keadilan. Di Amerika Serikat ada “the criminal justice system”, maka di Indonesia diungkapkan seperti  “pendekatan terpadu”. Bertolak dari manajemen kelembagaan, diharapkan memperkaya ilmu hukum Indonesia.

  1. PEMBUATAN HUKUM
Hukum berfungsi mengatur kehidupan bersama, maka harus menjalani proses panjang  melibatkan aktivitas dengan kualitas berbeda, berupa pembuatan hukum dan penegakan hukum. Lebih pastinya digunakan istilah pembuatan undang-undang. Karena pembuatan hukum adalah pembuatan undang-undang tersebut. Tapi tidak lazim untuk mengatakan “penegakan undang-undang”. Istilah penegakan hukum dipakai tetap.

Proses hukum di sini bisa menimbulkan pemahaman keliru. Misalnya orang terpikir pada “jalannya suatu proses peradilan”. Ditegaskan, proses hukum di sini adalah “perjalanan yang ditempuh hukum untuk menjalankan fungsinya, yaitu mengatur masyarakat atau kehidupan besama”.

Pembuatan hukum merupakan awal proses pengaturan tersebut, momentum pemisahan keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur hukum. Pemisah “dunia sosial” dan “dunia hukum”, ditundukkan tatanan hukum pada penilaian hukum, ukuran hukum, dan akibat-akibat hukum.

Berbicara bahan dan struktur dalam rangka pembuatan hukum, maka bahan di sini menunjuk kepada isi, sedangkan struktur kepada kelengkapan organisator yang memungkinkan hukum itu dibuat. Berbeda sesuai susunan kenegaraan yang dianut.

A.1. Bahan Hukum

Proses pembuatan hukum terbagi dalam 1) tahap inisiasi (munculnya gagasan), 2) tahap sosio-politis, dan 3) tahap yuridis. Dimulai sebagai gagasan atau ide, diproses sehingga menjadi bahan yang siap diberi sanksi hukum. Muncul di masyarakat berbentuk keinginan agar suatu masalah diatur oleh hukum. Misalnya keinginan adanya pengaturan lingkungan hidup yang menjadi gawat, sehingga negara perlu membuat hukumnya.

Tahap sosio-politis, gagasan awal diolah oleh masyarakat, dibicarakan, dikritik, dipertahankan, melalui pertukaran pendapat antar-golongan. Gagasan mengalami ujian, apakah bisa terus atau berhenti. Jika berhenti, akan hilang dan tidak dipermasalahkan. Apabila terus, bentuk dan isi gagasan mengalami perubahan, yaitu pematangan dan penajaman (articulated).

Berikutnya (tahap yuridis), pemberian sanksi hukum terhadap bahan tersebut. Melibatkan kegiatan intelektual murni bersifat yuridis, ditangani oleh tenaga khusus berpendidikan hukum. Misalnya perumusan dalam bahasa hukum, meneliti konteksnya dalam sistem hukum yang ada sehingga tidak menimbulkan gangguan sebagai kesatuan sistem, kemudian diundang-undangkan.

A.2. Struktur Pembuatan Hukum

Struktur perlu diciptakan agar pemrosesan bahan hukum bisa dijalankan. Menyangkut penyusunan organisasi yang akan mengatur kelembagaan bagi pembuatan hukum, serta mekanisme kerja lembaganya.

Berdasarkan doktrin Montesquieu (“L`Esprit des Lois”, 1748) yaitu “separation of powers” (pembagian kekuasaan) atau “Trias Politica” (legislatif, yudikatif, eksekutif). Untuk melindungi individu, tiap lembaga hendaknya memiliki otonominya masing-masing, sehingga yang satu tidak ditundukkan yang lain (checks and balances). Di atas fundamen itu, pengorganisasian pembuatan hukum dilakukan.

Pengorganisasian pembuatan hukum tidak berdiri sendiri, namun bagian dari penataan ketatanegaraan—filsafat pembagian kekuasaan. Dengan memisahkannya dari aktivitas kenegaraan lainnya (proses yang eksklusif), artinya dipercayakan kepada satu badan yang berdiri sendiri dan hanya melakukan satu kewenangan saja, yaitu membuat hukum (badan legislatif). Badan yudikatif dan eksekutif tidak boleh mencampurinya. Namun, tidak ditemukan praktik pengorganisasian yang mutlak sama di negara dunia. Amerika Serikat dan Inggris, bertipe Anglo-Saxon, berbeda pula. Pemisahan kekuasaan bukan doktrin mutlak seperti di Eropa daratan. Misalnya di AS, pengadilan menjalankan kekuasaan yang oleh dunia dianggap memasuki kewenangan eksekutif (Gilmore, 1977: 25-36).

Kutipan Montesquieu, pembuatan hukum yang baik (Allen, 1964: 467-468):
1. Gaya padat dan sederhana. Kalimat muluk dan retoris merupakan hal berlebihan dan menyesatkan.
2. Istilah-istilah yang dipilih, sedapat mungkin mutlak dan tidak relatif, sehingga mempersempit kemungkinan adanya perbedaan pendapat.
3. Membatasi diri pada hal aktual, menghindari perumpamaan atau hipotesis.
4. Tidak rumit, sebab dibuat untuk orang kebanyakan; jangan mempersoalkan logika, tetapi sekadar bisa dijangkau penalaran umum.
5.Janganlah masalah pokok dikaburkan oleh penggunaan perkecualian, pembatasan, atau modifikasi (kecuali benar-benar dibutuhkan).
6. Tidak argumentatif; berbahaya memberi alasan rinci tentang masalah yang diatur, hanya akan membuka perdebatan.
7. Isi dipikirkan secara masak. Jangan membingungkan pemikiran, rasa keadilan, serta umumnya sesuatu berjalan alami. Hukum yang lemah berakibat keseluruhan sistem UU ambruk, merusak kewibawaan negara.

  1. PENEGAKAN HUKUM
Pembuatan hukum hanya setahap dari perjalanan untuk mengatur masyarakat. Harus disusul pelaksanaan konkrit, yang dimaksud dengan penegakan hukum.

Dalam bahasa Indonesia, dikenal istilah “penerapan hukum”. Tetapi mendatang, penegakan hukum merupakan istilah yang dijadikan (coined). Disebut juga dalam bahasa lain, seperti: rechstoepassing, rechtshandhaving (Belanda); law enforcement, application (Amerika).

Dalam struktur kenegaraan modern, tugas penegakan hukum dijalankan komponen eksekutif, dilaksanakan oleh birokrasinya (birokrasi penegakan hukum). Sejak negara mencampuri banyak bidang kegiatan dan pelayanan masyarakat, maka campur tangan hukum juga makin. Tipe negara demikian disebut welfare state. Eksekutif dan birokrasinya merupakan bagian mata rantai perwujudan rencana yang tercantum dalam peraturan hukum yang menangani bidang-bidang tersebut.

  1. PERADILAN
Peradilan menjadi suatu macam penegakan hukum. Pebedaanya dengan eksekutif, mereka menjalankan penegakan hukum secara aktif, sedangkan peradilan pasif. Disebabkan menunggu pihak yang membutuhkan jasa peradilan (yustisiabel), yang membawa persoalan dan diselesaikan melalui proses peradilan.

Dibedakan antara peradilan dan pengadilan. Peradilan menunjuk proses mengadili. Pengadilan salah satu lembaga dalam proses tersebut. Lainnya berupa kepolisian, kejaksaan, dan advocaat. Hasil akhirnya berupa putusan pengadilan atau putusan hakim sebagai pemimpin sidang di pengadilan.

Berjalannya proses peradilan erat dengan substansi yang diadili (perkara perdata atau pidana). Keterlibatan lembaga-lembaga dalam proses peradilan secara penuh terjadi saat mengadili perkara pidana. Dijumpai diferensiasi forum pengadilan. Terbentuk berbagai fora pengadilan (pengadilan agama dan militer). Tidak ada struktur universal kelembagaan pengadilan, mengakibatkan di tiap negara, fora pengadilan berbeda.

Bagi ilmu hukum, bagian penting proses mengadili saat hakim memeriksa kenyataan terjadi dan mengadili/menghukumi perkara sesuai peraturan berlaku. Waktu putusan itulah puncak penegakan hukum. Oleh Hans Kelsen, penegakan hukum yang demikian itu disebut Konkretisierung.

  1. ADMINISTRASI KEADILAN
Di Indonesia, hukum acara lebih dikenal daripada adminisitrasi keadilan (administration of justice). Dalam administrasi keadilan, lebih menonjol pendekatan administrasi ketimbang hukum. Pendekatan hukum menggunakan doktrin normatif, memikirkan pembuatan aturan menyuruh/melarang untuk menertibkan proses mengadili. Pendekatan administrasi menggunakan doktrin administrasi, efisiensi kerja lembaga terlibat dalam proses mengadili. Didukung oleh penggunaan analisis sistem dan pendekatan sistem atau ancangan sistem (La Patra, 1978).

Administrasi keadilan: penerapan keadilan dalam masyarakat membutuhkan pengelolaan, tidak dapat hanya diserahkan kepada masyarakat (dipercayakan kepada masing-masing anggota) begitu saja (Dias, 1976: 88-106).

Karakteristik menonjol pada hukum modern pada cara-cara menerapkan keadilan dalam masyarakat. Berbeda dengan dulu, istilah Weber disebut kategori “dominasi”, sistem hukum modern menekankan pada struktur yang birokratis. Sebelum birokratisasi, perlu pemerintahan yang kuat, yang mampu mengambil alih semua pusat kekuasaan dalam masyarakat sehingga hanya tinggal satu kekuasaan sentral.

Proses pengalihan penerapan keadilan secara pribadi ke negara tidak sekaligus. Semakin kuatnya kedudukan dan kekuasaan negara/pemerintahan, penerapan keadilan berangsur pindah, kemudian dilembagakan (dinegarakan). Muncullah istilah law enforcement (pelaksanaan/penerapan hukum) dan administration of justice ini.

Apabila keadilan dinegarakan, maka perlengkapannya adalah pembuatan hukum dan pelaksanaannya (dalam dan luar pengadilan). Namun biasanya administrasi keadilan dipakai dalam pelaksanaan hukum saja, khususnya melalui pengadilan.

Keadilan terbagi dalam keadilan “perdata” dan “kriminal”/”pidana”. Pada perdata, kita berhadapan dengan pelanggaran terhadap perorangan. Pidana berhadapan dengan pelanggaran terhadap umum.

Keadilan perdata berurusan dengan hak primer (bukan karena terjadi pelanggaran sebelumnya) dan hak yang timbul dari pemberian sanksi. Muncul sebagai kelanjutan pelanggaran. Proses penerapannya harus mengikuti prosedur di Indonesia, Hukum Acara Perdata. Kenyataannya, pengadministrasiannya masih saja memberikan ruang gerak kepada pihak yang terlibat.

Administrasi keadilan pidana berbeda dan menonjol, bahwa badan (polisi, jaksa, pengadilan, dan masyarakat) yang terlibat banyak, sehingga butuh pengelolaan saksama. Masalah terumit, bagaimana mengorganisasikan badan-badan yang berbeda wewenang menjadi satu kesatuan kerja. Semua badan ini mengurus orang yang sama (tersangka/terdakwa/terhukum). Bila tiap badan memegang teguh birokrasinya, maka efisiensi administrasinya bisa sangat terganggu.

Jalannya administrasi keadilan di bidang pidana sangat kompleks (lihat ragaan 18: Administrasi keadilan di bidang hukum pidana, Ilmu Hukum hlm. 186). Efisiensi kerja menjadi masalah utama. Kecaman bisa dilontarkan terkait ketidaksamaan perlindungan tersangka dan putusannya, sehingga mengalami hukuman yang lebih atau kurang dari semestinya.

Pengelolaan proses administrasi keadilan yang kompleks sangat dibantu oleh ilmu manajemen. Efisiensi dan penanganan sistemik bertolak dari proses sebagai satu kesatuan. Sehingga semua badan terlibat harus menyadari kedudukannya sebagai sub-sistem dari sistem yang besar (hukum). Konsekuensinya, fungsi administrasi keadilan hendaknya mampu menyediakan tatanan berkapasitas menyelesaikan masalah kejahatan secara adil. Kemampuan menyelesaikan, daftar kerja pengadilan (La Patra, 1978: 65):
  1. Terdakwa tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif.
  2. Rakyat tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif.
  3. Ciptakan kondisi mendukung ke arah penilaian adil dan nalar (logis).
  4. Mungkinkan pemrosesan perkara dengan kecepatan terukur.
  5. Minimalisir beban di pundak pihak-pihak berpekara.
  6. Minimalisir beban pihak-pihak lainnya.
  7. Minimalisir ongkos/biaya perkara.

(Lihat  ragaan 23: Model sistemik administrasi keadilan menurut Gazell, Ilmu Hukum hlm. 188 (Gazell, 1971: 448))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar