Mahasiswa Paripurna: Buku, Pesta, dan Cinta
"Apalah yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran"
Kata-kata itu seakan sakti bagiku. Seringkali kukutip untuk menyemangati hidup, apalagi dalam perjuanganku. Melengkapi kutipan ayat suci: amar makruf nahyi munkar.
Siapa yang tak kenal nama Soe Hok-gie? Aktivis mahasiswa angkatan '66 yang dijuluki 'Cina Kecil' ini berkuliah dan sempat menjadi dosen di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (FS-UI) saya sebut sebagai mahasiswa paripurna. Ya, mahasiswa yang sudah lengkap dengan dirinya dan mengambil peran di tengah kecamuk peradaban. Das sollen (posisi ideal) dari gelar yang berjudul "mahasiswa", the super-student. Jakob Oetama menyebutnya sebagai "suatu manusia yang berjiwa bebas, dan semua ini dihias dengan keberanian yang luar biasa pula" (dalam "Soe Hok-gie...sekali lagi", 2009).
Nama Gie seakan-akan menjadi mitos dalam dunia kemahasiswaan dan pergerakan kampus. Tidak hanya di almamaternya, namun juga di seluruh Indonesia. Bersama Herman O. Lantang dkk. mendirikan Mahasiswa Pencinta Alam FS-UI (sekarang Mapala UI) dengan nomor anggota M-007 UI. Bersama Abdullah Dahana (sekarang Guru Besar Sinologi FIB-UI, Ketua SM-FSUI 68-69) dan Hendro Budhidarmono (Ketua SM-FSUI 69-70) mereka bertiga dijuluki sebagai "triumvirate" yang menolak campur tangan organisasi ekstra-kampus dalam student government: bahwa mahasiswa haruslah independen. Aktif pula di Radio Universitas Indonesia (RUI, sekarang RTC UI FM) dan turut menginisiasi Grup Diskusi UI (GD-UI, embrio Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya). Sempat tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS) dan Gerakan Pembaruan (GP) yang dibina Soemitro Djojohadikusumo (Menteri Perdagangan era awal Orde Baru). Bersama rekan-rekan seperjuangannya membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk menjawab tantangan zaman saat itu: menggulingkan rezim Orde Lama dan menggelar Aksi Tritura (Tri-Tuntutan Rakyat), hingga menjadi aktor utama long march mahasiswa dari Rawamangun ke Salemba dan tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-ABRI tahun 1966.
Gie juga memiliki minat tinggi di bidang sastra dan sejarah yang ditunjukkan melalui bacaan-bacaan dan karyanya, seperti skripsi sarjana mudanya yang sudah dibukukan, "Di Bawah Lentera Merah" (1999), tentang riwayat Sarekat Islam di Semarang tahun 1917-1920 dan skripsi sarjananya yang juga telah dibukukan berjudul "Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan" (1997) tentang pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Menjadi penulis di berbagai surat kabar nasional, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Tak pandang bulu melakukan kritik, dari menteri, presiden, teman-teman sejawatnya di DPR-GR, hingga dosen-dosen UI saat itu. Menjadi salah seorang pertama yang mengkritik rezim Orde Baru melalui artikel-artikel yang dibukukan dalam "Zaman Peralihan" (1995). Belum lagi Gie sering menggelar acara nobar, diskusi film, serta
menonton pertunjukan lenong betawi atau puisi. Menyukai lagu-lagu
perjuangan dan folk songs. Menjadi tempat curhat kawan-kawannya, romantis, dan juga pernah terjerat dalam kisah cinta yang manis. Paling tidak kisah 'otobiografi'-nya dapat dibaca dalam "Catatan Seorang Demonstran" (LP3ES, 1983), atau tulisan mengenai Gie dari kawan-kawannya dalam "Soe Hok-Gie...sekali lagi" (2009). Lebih ringkasnya lagi, silakan tonton film "GIE" (2005) yang dibintangi Nicholas Saputra dan disutradarai Riri Riza.
Soe Hok-gie (1942-1969)
"Di Indonesia
hanya ada dua pilihan: menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama
memutuskan
bahwa saya harus menjadi idealis sampai batas batas sejauh jauhnya”
Buku, Pesta, dan Cinta
"...di ibu kota negara, pusat ilmu budaya bangsa...buku, pesta dan
cinta, itulah hidup kami mahasiswa...Rawamangun dan Salemba, kami yang
punya ..."
- kutipan lirik "Genderang UI" sebelum diubah seperti
sekarang.
Menurut Benedict Anderson, kawannya dari Cornell University, Gie (atau Soe-panggilan akrabnya) gemar memakai kata-kata berontak, nekad, berani, jujur, dan bersih dalam tulisan-tulisannya. Selain itu, dia juga adalah aktivis sejati, sosok yang bergerak bersama rakyat, kongkret dalam tindakan. Jakob Oetama menganalogikan apa yang dibuat Soe Hok-gie layaknya sajak-sajak Chairil Anwar dan WS. Rendra, atau Jurgen Habermas yang memberikan dasar pemikiran pada gerakan mahasiswa tahun 60-an. Kawannya, Luki Sutrisno Bekti, menyebut adik dari Arief Budiman [1] ini sebagai orang yang moralis absolut dan humanis universal. Idealis, memegang teguh moral dan etika absolut dalam bergerak, sekaligus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang universal itu.
Gie adalah seorang yang cerdas, jujur, dan berani. Dipandang oleh adik-adiknya di FS-UI sebagai 'perpustakaan berjalan'. Pengetahuannya sangat luas dan tulisannya memiliki perspektif. Sosok kutu buku yang pandai berdiskusi. Diakui oleh teman-temannya, argumen Gie selalu runtut dengan analisis tajam. Dalam hal ini, pergerakan mahasiswa haruslah bersandar pada buku. Saya resapi saat ini, iklim pergerakan mahasiswa kontemporer banyak yang menjauh dari buku. Yang dimaksud 'buku' bukan sekadar huruf-huruf berjajar berlembar-lembar, namun adalah ilmu pengetahuan. Perspektif ilmiah dan logika. Kajian dan wawasan bertanggung jawab. Bukannya pergerakan yang tidak pernah belajar dari catatan atau berlandaskan letupan emosional semata. Esensi mahasiswa adalah daya nalarnya, termasuk pergerakannya. Sudah seyogyanya, buku menjadi sandaran para intelektual organik macam kita untuk bergerak, agar tidak mudah diberangus, agar tidak mudah kehilangan arah.
Dalam konsepsi pergerakannya, Soe Hok-gie sangat tegas dalam bersikap dan berpihak pada kemanusiaan. Gerakan mahasiswa dipandangnya sebagai gerakan moral. Ketika terjadi ketidakadilan, bagai 'koboi' mahasiswa harus keluar kampus dan menumpas ketidakadilan itu. Bila tugas itu selesai, mahasiswa dapat kembali 'belajar' di kampus. Di samping itu, Gie sendiri menganggap politik sebagai lumpur yang kotor. Poros idealisme Gie kembali ditunjukkan di sini. Berbeda dengan kawan-kawannya yang bergabung dalam 'fraksi mahasiswa' di DPR-GR pasca-Orde Lama, Gie lebih mengutamakan kecintaannya pada alam daripada 'berkotor-kotor'
dalam politik praktis. Gie memilih menyendiri di puncak-puncak gunung tertinggi bersama Mapala melalui penegasan: "membangun kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat, dan almamaternya" (dalam Maxwell, 2001:144). Poin ini saya sebut sebagai 'pesta' versi Soe Hok-gie. Pestanya Gie adalah menikmati alam, bersenang-senang bersama keindahannya, menenggak 'vodka' kebesaran gunung dan kerindangan hutan. Alangkah keringnya pergerakan mahasiswa yang tak pernah kenal kata istirahat dan bersenang-senang. Dalam hal ini, Gie ingin mengajarkan bahwa aktivitas idealis pun memerlukan waktu isi ulang tenaga untuk melaju lebih kencang, asal jangan kelewatan.
"Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth."
- Walter Whitman, yang dikutip oleh Soe Hok-gie ketika mendaki Puncak Slamet.
Oleh mahasiswi-mahasiswi FS-UI di eranya, Gie dikenal sebagai laki-laki yang penuh perhatian dan sabar. Memiliki sifat selalu melindungi perempuan dan siap mendengarkan curhat kawan-kawannya. Sama sekali bukan playboy apalagi penjahat kelamin. Seorang mahasiswa yang luas pergaulannya dan setia kawan. Memiliki sifat penyayang yang mungkin dibentuk oleh hobi masa kecil Gie, suka memelihara hewan (dari ikan sampai monyet). Selain itu, Gie, menurut pengakuan kakaknya, adalah seorang anak rumahan. Walau kegiatannya sangat banyak di luar, namun jarang sekali Gie tidak pulang. Gie lebih suka tidur di rumah walau baru pulang hampir dini hari. Pribadi yang sarat dengan 'cinta'. Rasa cinta Gie yang luas ini, tidak hanya kepada lawan jenis, kawan, hewan, atau alam, namun juga kepada Indonesia, seakan menjadi motor utama pergerakan dan idealismenya. Rela berkorban seluruh uang sakunya untuk gelandangan yang makan kulit mangga dari tong sampah, 2 km dari Istana Presiden, atau rela dianggap aneh, terasing karena dianggap berbeda, tidak membuatnya gentar untuk terus mencinta. Keluarga Gie memang bukan keluarga yang ramai dengan ungkapan sayang dan ekspresi cinta, namun Gie memberikan contoh lain dari cinta itu sendiri, cinta yang lebih nyata. Apakah cukup cinta kita kepada Indonesia?
"Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan..."
"Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."
Puncak Mahameru, 16 Desember 1969
Bersama tujuh orang lainnya: Herman O. Lantang (mantan Ketua SM-FSUI 65-67), Aristides Katoppo (pendiri Sinar Harapan), Abdurachman (Maman, Ketua Mapala FS-UI saat itu), Anton Wijana (Wiwiek, aktivis jaket kuning UI Rawamangun-Salemba), Rudy Badil, Idhan Dhanvantari Lubis (19, saat itu mahasiswa Universitas Tarumanegara, keponakan Mochtar Lubis), dan Freddy Lodewijk Lasut (17, baru lulus SMA) berangkat ke Malang, Jumat 12 Desember 1969 menggunakan kereta api dari Stasiun Gambir. Perjalanan pun berlanjut ke kaki Gunung Semeru hingga puncak tertingginya di titik 3.676 km, Mahameru. Tepat satu hari sebelum ulang tahun Soe Hok-gie ke-27 (16 Desember 1969), Gie dan Idhan dinyatakan meninggal di puncak Mahameru karena menghirup gas beracun. Kisah pendakian dan evakuasi jenazah mereka secara dramatis dan detail dapat dibaca dalam tulisan Rudy Badil 40 tahun kemudian di buku "Soe Hok-Gie...sekali lagi" (2009:1-81).
Indonesia telah kehilangan putra-putra terbaiknya, yang saya sebut sebagai anak semua bangsa. Seorang keturunan minoritas yang cerdas, berani, dan jujur, berjuang untuk rakyat yang terkadang memperoloknya sebagai "Cina". Tak pandang etnis, agama, dan ras dalam mengabdi sekaligus mengkritik. Meninggalkan harta tak ternilai bernama "idealisme". Itulah kemewahan terakhir yang dimilikinya.
Dua kawan Gie, Jeanne Mambu dan Henk Tombokan beberapa hari kemudian pergi ke toko penjual peralatan perkabungan untuk memenuhi keperluan pemakaman. "Oh ini peti untuk Soe Hok-gie dan Idhan Lubis yang meninggal di Semeru. Saya kenal Soe dari tulisan di koran-koran, saya kagumi Soe yang mau memikirkan nasib rakyat kecil. Kami ikut berduka cita...Terimalah peti jenazah ini, sebagai sumbangan dan rasa hormat dari kami semua di Malang," ujar pemilik toko itu membuat Jeanne terkesima. Tidak hanya itu, Arief Budiman pun mengenang dalam tulisannya: (Catatan Seorang Demonstran, LP3ES, 2005: xiii)
Jenasah dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk-duduk di lapangan rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut duduk bersama kami. Kami bercakap-cakap. Kemudian dia bertanya, apakah benar jenasah yang dibawa adalah jenasah Soe Hok-gie. Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: "Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus". Saya memandang ke arah cakrawala yang membatasi lapangan terbang ini dan khayalan saya mencoba menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara yang perlahan dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut? ...Saya berdiri kembali di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, "Gie, kamu tidak sendirian"...
Dalam hal ini, saya ingin berkata bahwa ketika kita bicara dengan lantang dan jujur, ketika kita berjuang demi keadilan dan nasib rakyat, walau kita dimusuhi dan dicerca, walau kita diasingkan, semestinya kita tidak akan pernah sendiri. Suara-suara lirih yang membisik, sering tak terdengar di luar sana, merasai perjuangan kita. Menyebut kebenaran dan kenyataan apa adanya, bukan untuk melecehkan, tetapi untuk menyadarkan yang seharusnya. Idealisme harus dikokohkan baginya, sekuat-kuatnya angin menerjang. Wawasan jadi landasan, pergaulan alam jadi tempaan, cinta jadi penggerak. Bukankah begitu buku, pesta, dan cinta yang engkau maksudkan, sobat?
[1] Arief Budiman; Soe Hok Djin; kakak Soe Hok-gie, adalah alumnus Fakultas Psikologi UI, salah seorang penandatangan Manifesto Kebudayaan tahun 1963 dan inisiator Golongan Putih Pemilu tahun 1973 bersama Adnan Buyung Nasution dkk., Ph.D sosiologi Harvard, pernah mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, dan sekarang menjadi profesor di Melbourne University.
Kukusan, 16 Desember 2013
In Memoriam 44 Tahun Soe Hok Gie
Langitantyo Tri Gezar, FISIP UI 2010
Langitantyo Tri Gezar, FISIP UI 2010
"Seorang filsuf Yunani pernah menulis...nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."