Selasa, 16 Mei 2017

BULAN MEI DAN KEBEBASAN BANGSA KITA

Bulan Mei selalu menjadi medan ujian bagi bangsa Indonesia. 20 Mei 1908, kita mengenal tanggal ini sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Boedi Oetomo mulai berdiri menjadi organisasi pergerakan pertama Indonesia di tengah perkembangan politik etis kolonial masa itu. Walau awalnya bersifat Jawa-sentris, namun kemudian BU menginspirasi lahirnya organ-organ pergerakan kemerdekaan serupa. Di bulan ini juga, pada tahun 1945, Soekarno menggali butir-butir Pancasila dari relung ingatan kebangsaan yang masih tercecer dalam cerita dan hidup rakyat Indonesia. Hingga pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, rumusan Pancasila pertama kali dipidatokan. Jauh-jauh hari kemudian, 19 tahun lalu, mahasiswa berdemonstrasi di mana-mana menuntut turunnya Presiden Soeharto. Mahasiswa ditembaki, siaran pers dikebiri. Korban bertumbangan dan hilang, dikenang dalam Tragedi Semanggi dan Trisakti. Nyatanya, sepekan kemudian Soeharto bersama Orde Baru lengser. Reformasi bergulir. Demokrasi kita lahir kembali. Betapa heroiknya ingatan-ingatan di Bulan Mei itu.

Mahasiswa menduduki Gedung MPR-DPR RI saat Reformasi 1998.
Sedangkan Bulan Mei tahun 2017 diwarnai berbagai peristiwa yang mengguncang hati nurani dan menguras energi. Paling fenomenal adalah berita dipenjaranya Ahok atas kasus penistaan agama yang telah bergulir lama dan mengundang aksi berjilid-jilid. Massa penolaknya bersuka cita, massa pecintanya menangis sendu. Benci-membenci  atau dukung-mendukung seolah jadi perihal paling pokok di negeri ini. Bau-baunya tidak hanya tercium di Jakarta tapi hampir seantero Nusantara, sampai warung kopi dan ranah privasi. Seorang Gubernur beragama Kristen dipenjara karena silap lidahnya. Masyarakat dipecah-belah karena pilihan politiknya.

Kemudian hari, dengan (sok) gagahnya, seorang menteri koordinator bersama beberapa menteri kabinet mengumumkan pembubaran sebuah ormas radikal. Silakan Anda pro atau kontra dengan haluan ormas tersebut, tapi yang harusnya jadi sorotan, telah terjadi pelanggaran serius. Negara tidak menjalankan proses hukum yang diamanatkan dalam Undang-Undang dengan membubarkan sebuah ormas tanpa melalui proses peradilan. Lebih-lebih lagi, negara melanggar konstitusi dalam menjamin kebebasan berpendapat dan berserikat. Ada yang sebut, beliau ingin unjuk gigi bahwa dirinya masih punya kendali agar tidak di-reshuffle. Entahlah. Tapi seyogyanya kita perlu cemas bahwa di Bulan Mei yang berkah ini, hukum dilompat-loncati. Demokrasi yang disangka kebablasan ternyata diberangus sedemikian rupa atas nama penistaan agama ataupun Pancasila yang dijadikan alat kepentingan sebagian golongan. Bila Ahok dan HTI saja bisa diperkarakan, apalagi kita?!

Ahok mungkin salah ucap dan didakwa menista agama, namun apakah ia patut diganjar hukuman sosial sedemikian rupa? Mungkin ada ormas radikal yang menganggap Pancasila ini thogut atau setara haramnya berhala, tapi apa mereka pantas menerima pembubaran yang sekonyong-konyong tanpa diberi ruang klarifikasi? Preseden-preseden ini bisa jadi menimbulkan ketakutan di antara kita untuk berpendapat atau menyampaikan ide dan keyakinan kita di depan umum. Sayangnya, dua peristiwa ini disambut oleh rezim dengan membatasi kebebasan secara kurang ajar. Padahal kebebasan ini sudah diperjuangkan sejak lama. Jangan sampai runtuh begitu saja.

Kebebasan memang ada batasnya, yakni jika menyangkut fitnah, ujaran kebencian (hate speech), atau mengganggu kebebasan orang lain. Tapi rasanya tak ingin cita dan cipta kebangkitan nasional, kelahiran Pancasila, beserta perjuangan reformasi hilang sirna hanya karena Pilkada atau berangus pemerintah. Semangat berkumpul dan berpendapat dalam majelis yang terbuka serta berpikiran terbuka harus terus dipupuk lagi dan lagi. Demikian ketika Bung Wahidin Soedirohoesodo mengutarakan gagasan pembentukan Boedi Oetomo. Dari minoritas orang Jawa di sekolah Belanda, memberikan gagasan liar tentang organisasi pribumi, sebuah tsunami perjuangan untuk merdeka dapat dibangkitkan. Belum lagi bagaimana Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal Ki Hadjar Dewantara, mengritik pemerintah Belanda dengan suratnya, “Als ik een Nederlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda), bikin kuping kolonial meradang berhadiah jeblosan penjara pula.

Lalu coba bayangkan sidang-sidang BPUPKI di Bulan Mei dan awal Juni dahulu. Tak ada rasa takut untuk mengutarakan konstitusi awal negara Indonesia di depan sidang yang beragam latar belakang apalagi diawasi oleh mata para penjajah Jepang. Yang utama bukan selisih pendapat atau adu argumen semata, tapi adalah adalah khidmat kebijaksanaan dan gelora kebangsaan.

Atau lihatlah aksi mahasiswa 98 di jalan-jalan lampau, tak gentar berhadapan dengan rentetan senapan dan deru panzer tentara. Walau nyawa berguguran, hasilnya dapat kita nikmati sekarang; reformasi disertai kebebasan yang lama dicita-citakan.

Mereka-mereka adalah para pembebas. Walau diri mereka sempat dikekang dan dibatas-batasi, sekaligus oleh penguasa maupun penjajah, mereka tetap berani berpendapat. Bukan perihal penistaan agama atau tudingan anti Pancasila yang saat itu jadi polemik, tapi ide-ide bagaimana bangsa ini bisa merdeka, bisa bebas dari keterbelakangan dan ketertutupan situasi. Itulah yang penting.

Kita berharap rezim-rezim represi tidak terlahir kembali di bumi pertiwi. Walau ada yang mencoba tampil dengan gincu demokratis padahal anti demokrasi, setiap wujud pengekangan terhadap kebebasan harus dilawan, sebab ini berkaitan langsung dengan perjuangan-perjuangan yang sudah diusahakan. Jangan sampai keringat dan darah para pembebas bangsa menjadi percuma hanya karena ekses negatif Pilkada atau berangus pemerintah. Bila kita tetap diam, hancur sudah kebebasan kita, yang artinya juga kemerdekaan bangsa ini.

Di tengah goncangan bulan Mei yang terjadi, jangan pernah takut untuk melawan. Berpendapat dan katakanlah soal kebenaran. Sekali lagi, ingat-ingatlah itu perjuangan kebebasan kita di bulan Mei yang lalu-lalu. Dari situ bisa kita petik bahwa kebebasan berpendapat memang berkali-kali menerima ganjaran atas ketidaksukaan segelintir orang. Namun apabila pendapat yang disampaikan adalah sebuah kebenaran demi memperjuangkan kemaslahatan orang banyak, maka dampaknya akan tetap terasa dan dinikmati semua. Jangan biarkan bangsa ini dikurung kembali dalam kandang ketidakbebasan. Mari bung rebut kembali!


Kebon Sirih, 16 Mei 2017.

Kamis, 10 November 2016

THE BEST POKEMON SUN AND MOON STARTER - ALOLA REGION

* SPOILER ALERT *

POKEMON SUN & MOON ANALYSIS

On the upcoming release of 7th generation of Pokemon video game series next week (November 18th, 2016), the Pokemon Sun and Moon, and its leaks, we had learnt many things about the Alola region's Pokedex.

Popplio that will evolve to Brionne then Primarina (the water strater), I think is the best starter there. Here are the reasons:
  1. Good typing (Water/Fairy), with 3 weaknesses only (Grass, Electric, Poison), compared to Rowlett-Decidueye (Grass/Ghost) with 5 weaknesses (Fire, Ice, Flying, Dark, Ghost) and Litten-Inceneroar (Fire/Dark) with 4 weaknesses (Water, Ground, Rock, Fighting). Primarina's Water typing made the Fairy's weakness: Steel-type attacks, become normalized. Primarina's typing also make her resistant to 6 types: Water, Fire, Ice, Fighting, Dark, and Bug attacks in addition of an immunity to Dragon attacks.

  2. This water starter Pokemon has a good movepool. Primarina can learn water moves such as Surf, Scald, Hydro Pump, and its signature move: Sparkling Aria-which heals burn status of the target, super-effective against Fire, Ground, and Rock type Pokemons. Primarina also gets STAB in Fairy moves such as Moonblast and Dazzling Gleam that super-effective against Dark, Fighting, and Dragon types Pokemon. Moreover, Primarina can be given TM learnt moves like Ice Beam or Blizzard (super-effective against Grass, Flying, Ground, Dragon types Pokemon). Those already cover 8 types of super-effective attacks. Nevertheless Primarina also learn other good chunk of TMs like Energy Ball, Psychic, Shadow Ball, tankish moves such as Reflect, Light Screen, Rest - Sleep Talk, and even crippling moves like Toxic. So she likely could kills Decidueye and Inceneroar easily. How? It's up to your choice :).
    Primarina's Possible Moveset
  3. Primarina has the highest Special Attack of starter Pokemon ever in all generations, with a whopping 126 base stat on it, in addition of respectfully 116 base stat on Special Defense. Primarina also on the same speed as Inceneroar with 60 base stat, or only 10 points lower than Decidueye. Its downside is only on the Speed and physical terms obviously. She can be a specially bulky yet hard-hitting Pokemon to offer.
    Primarina's Base Stats
  4. With the leaks around, we also learnt about the Alola Pokemon League Elite Fours and the teams they have. There are Fighting, Rock, Flying, and Ghost specialists, and Primarina can be easily kills them all! Also Primarina can compete greatly with 3 of 6 Pokemons that Alolan Champion has.
IMHO. This analysis was made as objectively and competitively-oriented as possible. I personally do love the Rowlett - Dartrix - Decidueye's design that looks both mysterious and cool, also Litten - Torracat - Infeneroar's wrestler-like design. So what do you think?

Sincerely,

Llednar_Sky
Indonesian Pokefan
(Pokemon Showdown ID: Llednar Sky)

Kamis, 21 April 2016

Verso KARTINI - Door Duisternis tot Licht

(Adopted from R.A. Kartini’s letters; 1898 - 1903) (Discus : Fadhil Indra, Anto Praboe, Iwan Hasan)


Mengharapkan terang yang tak kunjung datang, dari gelap berselimut tradisi. Tidurlah wanita priyayi, mimpi untuk seabad lagi...
Tradisi yang berabad-abad... yang tak dapat dipatahkan begitu saja, membelengu kami (tapi) meski saat itu masih jauh sekali... Tak terhingga jauhnya. Tapi saat itu pasti akan tiba, saya tahu itu, meski baru tiga-empat turunan lagi! (September, 18th 1899; to Ms. Abendanon) bela-kan derajat kaumnya, jajar-kan pundak bangsanya Kartini lantang bicara; maju... sekarang!! Selimut awan kelabu yang bergerak, mulai menghilang HABISlah GELAP TERBITLAH Sang Sinar TERANG Goresan tinta Kartini, menggagas harapnya... Senandung nada-nada nyanyian hati, keras menentang Menggugat jaman... (‘tuk) seabad lebih ke depan Ketika ilmu tak tersentuh jari wanita Bela-kan derajat kaumnya, jajar-kan pundak bangsanya Kartini pun lantang bicara: “tentukan sikap untuk maju” chorus: Door Dusiternis tot Licht, The Letters of a Princess [letters of a princess] / [habis gelap, terbitlah terang] Segenggam bekal Sang Ajeng yang mencari arah nurani Untuk membawa... arti semangat juangnya Terhenti gerak luhur oleh adat tradisi “tetap tinggal di rumah saja” titah ningrat, titah dungu Raden Ajeng bangkit meronta, jatuh terhempas tanpa daya... Nikmati tidurmu seratus tahun lagi, kelak mimpimu menjadi kenyataan, untuk terlahir di jaman kedambaan bagi wanita yang hidup bebas... searah... nurani yang tertitip olehmu... Mengusung gerak langkah luhurmu... Menghancurkan dinding batu bengis itu! (November, 6th 1899; to Stella Zeehandelaar) Teriakkan kecewa! Jangan bungkam dengan senyum manis... Ketika.. berakhir harapmu dan raga di ujung kuasa bupati Bermadu istri-istri jelita... anggun(?)... nan priyayi(?) Terkungkung pada empat tembok bengis itu Ingin kudobrak pintu, berlari ke depan, dan berteriak lembut Hanya di sini tempatku, rumah batu, dan gamelan syahdu Untuk bukan sebuah kemungkinan maju... tapi patuh sujud... Di samping bara api yang sudah lama sekali menyala... menjilat... memancarkan... tepi-tepi biru yang nanti -entah kapan, mungkin seabad, akan banyak, yang memadamkannya. Semoga.... (November, 6th 1899; to Stella Zeehandelaar) Terpasung dinding tradisi yang menjulang, keras membatu Tiada daya, terhimpit cita-citanya... Hadapi hidup kodrati, meski hasratnya tak’kan mati... Seribu telapak berbunyi, ia tak lagi sendiri Bunga-bunga mekar mewangi Mengharumkan abdi Sang Bunda.... [LISTEN THIS SONG by DISCUS]

Jumat, 04 Maret 2016

Polarisasi Masyarakat Indonesia dan Mencoba Memahami Dialektika

Satu lagi tulisan yang mengafirmasi pandangan yang saya dapat mengenai kelindan antara religiusitas (Islam) dengan kapitalisme (konsumerisme) [1]. Dalam tulisan yang saya bagikan kemarin lusa, kelindan keduanya menyebabkan fobia untuk berpikir (phronemophobia) [2], sedangkan dalam tulisan ini, kelindan itu disebut sebagai "post-Islamisme", sebuah sub-kebudayaan masyarakat Indonesia yang religius dan puritan dalam bersyariat, tetapi menikmati produk-produk sekuler di sisi lainnya.

Tambahannya, tulisan ini juga menyebutkan tentang fenomena polarisasi masyarakat kita dengan mengelompokkan hanya ada dua kelompok, yakni "kelompok post-Islamis" ini, bertandingan dengan "kelompok kritis", yang rata-rata lebih baik secara intelektual namun tidak dekat dengan padang rumput kelas menengah perkotaan (sebagai populasi masyarakat Indonesia yang dimaksud).

Pendapat Mas Burhanudin ini turut mengafirmasi kekhawatiran saya tentang keriuhan yang kerap terjadi akhir-akhir ini, yang saya lihat akan berujung pada perpecahan. Terlalu menyederhanakan jika dalam bersikap terhadap beragam isu, entah LGBT, entah komunisme, atau entah tentang khilafah, seakan-akan hanya terdapat dua pilihan: mendukung atau menolak, sepakat atau tidak sepakat. Begitu juga dalam hal ini, sebenarnya bisa saja kita terbuka terhadap pilihan yang moderat, misal tidak mendukung pilihan orientasi seksual kaum LGBT, tapi juga tidak sepakat dengan diskriminasi yang ditujukan kepada mereka. Layaknya Pilpres 2014, pilihan tidak hanya Prabowo atau Jokowi, tapi bisa juga golput atau abstain. Dan saya rasa, orang-orang yang bersikap di tengah-tengah ini lebih banyak daripada kedua kutub yang disebutkan di atas (atau beberapa ahli menyebutnya sebagai silent-majority).

Yang perlu diingat, kenyataan yang utuh tidak selalu sama dengan yang hadir di media, apalagi media sosial. Jika melihat demografi pengguna media sosial saja, kita bisa mafhum bahwa pandangan-pandangan dan pernyataan-pernyataan yang muncul di Facebook, Twitter, Path, dan sebagainya, mengandung bias kota. Nah, saya asumsikan, silent-majority yang moderat ini tidak tampil di media karena mereka tidak (ada? bisa? sanggup?) mengakses media (sosial) dan hidup di desa-desa atau pinggiran kota. Jadi tidak perlu lebay, lekas-lekas mengambil sikap ketika dihadapkan dengan "kenyataan" (dengan tanda petik) di media sosial. Toh kenyataan juga tidak sehitam-putih itu.

Oke, kembali pada soal perpecahan, fenomena polarisasi yang terjadi, berbahaya bagi (dengan agak sok saya sebut) persatuan bangsa dan negara Indonesia. Sejarah telah membuktikan, bagaimana sikap keras berbentuk hardikan, penolakan, pelarangan, hingga ancaman dan pembunuhan terhadap kalangan yang berseberangan, kerap diikuti oleh pembalasan yang sama kerasnya atau bahkan lebih keras lagi. Akumulasi tolak-menolak, ancam-mengancam, larang-melarang inilah yang memperlebar jarak kita sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari kalangan-kalangan berbeda: rupa, sikap, pandangan, ideologi, argumentasi, antar-bimbingan dan IPK (?). Katanya "bhinneka tunggal ika", berbeda-beda tapi satu jua, nyatanya berbeda-beda tapi makin dibeda-bedakan juga (terima kasih, karena beberapa kalangan, saya jadi sedemikian sinis).

Kalau Anda membaca apa itu "dialektika" (entah dalam perspektif Hegel atau Marx), kita akan melihat bahwa dalam alam pikiran manusia itu selalu ada yang namanya "thesis" dan "anti-thesis", yang mencoba untuk saling menegasikan. Gampangnya, thesis itu sepakat, anti-thesis itu tidak sepakat. Aneh tapi nyata, thesis dan anti-thesis ini tidak selamanya saklek dan saling gotok-gotokan. Ada masanya, thesis menyerap argumentasi anti-thesis, dan menjadi thesis plus-plus, atau dikenal sebagai "synthesis". Hebatnya lagi, synthesis akan menjadi thesis baru, lalu muncullah anti-thesis dari synthesis ini. Begitu terus, mungkin sampai Habib Rizieq nonton Konser JKT48.

Kita patut berterimakasih kepada Bapak Tan Malaka karena sudah mencoba mengingatkan bangsa ini akan pentingnya memahami dialektika. Pelajaran yang dapat kita ambil adalah, jika kita menyerapi betul apa yang dimaksud dialektika ini, perbedaan akan menjadi hal yang lumrah saja, toh semuanya akan berubah. Sikap menolak bisa saja menjadi "menolak, dengan syarat..", atau toh sama lumrahnya dengan skripsi yang sudah dibuat sedemikian rupa tapi tetap saja ada revisinya (untuk ini saya tak akan berbicara banyak karena bikin baper).

Soal dialektika lagi, saya pikir orang-orang moderat yang tidak menolak ataupun tidak mendukung sebagai pilihan sikap adalah orang yang berhati-hati dan berpikiran terbuka. Syarat untuk terjadinya dialektika adalah keterbukaan akan argumen dan fakta-fakta baru. Tentu kita ingat bagaimana pernyataan bahwa "bumi sebagai pusat semesta" dipatahkan dengan argumen "mataharilah pusat semesta", di abad pertengahan lampau. Bahkan hingga kini masih dicari fakta-fakta baru yang menemukan bahwa ternyata matahari itu cuma bintang kecil yang bukan apa-apa dibandingkan benda angkasa lainnya. Saya pikir, begitu juga dengan sikap-sikap yang perlu kita ambil ketika berhadapan dengan beragam isu. Tidak perlu takut untuk mengakui silap pikir dan merevisi argumen. Tidak perlu juga mengambil sikap ekstrem selama-lamanya "menolak mentok" atau "mendukung mentok", toh hidup tidak hanya punya dua pilihan. Pak SBY pernah bertitah, "selalu ada jalan".

Paradoks masyarakat kita untuk menjadi religius sekaligus konsumeris masih perlu dikaji lagi, sama halnya dengan fenomena polarisasi ini. Namun sebelum kita berdebat lebih lanjut, buka dulu pikiran kita dan pahami lagi apa itu dialektika. Mau lagi argumentasi historis dan filosofis tentang sikap "moderat / tengah-tengah" dan "dialektika" ini di Indonesia? Baca deh apa itu Pancasila. Udah itu aja.

Nuhun.
Kukusan, 4 Maret 2016.

Sumber :
[1] http://islami.co/syndicate-blog/736/18/tere-liye-dalam-lanskap-pertarungan-budaya-populer-baru
[2] https://eseinosa.wordpress.com/2016/02/29/phronemophobia-indonesia/?platform=hootsuite

The One-Hundred Word Eulogy

The One-Hundred Word Eulogy:

Since the creation of the Universe,
God had decreed to appoint,
This great faith-preaching man,
From the West he was born,
He received the Holy Scripture,
A Book of thirty parts,
To guide all creation,
Master of all Rulers,
Leader of Holy Ones,
With Support from Above,
To Protect His Nation,
With five daily prayers,
Silently hoping for peace,
His heart towards Allah,
Empowering the poor,
Saving them from calamity,
Seeing through the darkness,
Pulling souls and spirits,
Away from all wrongdoings,
A Mercy to the Worlds,
Traversing the ancient majestic path,
Vanquishing away all evil,
His Religion Pure and True,
Muhammad,
The Noble & Great one.

Written by Sh. Musa Cerantonio
Originally written in Chinese language,
by Hon-wu, Emperor of China (1368 - 1398 CE)

chinesepoemmuhammad

Source :
http://alsiraat.co.uk/prophet-muhammad/chinese-emperors-poem-prophet-muhammad-saw

Selasa, 01 Maret 2016

Apalah Saya Dibandingkan Tere Liye : Sebuah Pelajaran Sejarah

Alhamdulillah, khusnudzon memang lebih baik. Lagipula, apalah saya dibandingkan Tere Liye yang sudah punya lusinan buku, atau dengan para sejarawan-pengamat-kritikus di luar sana.

MEMANG banyak ulama dan tokoh agama yang ga suka sama penjajah, lalu ngajakin umat buat berjuang; macam kisah-kisah Perang Jawa-nya Pangeran Diponegoro, Perang Padri di Sumbar, Perang Aceh, kemudian Sarekat Islam. Ada peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Mungkin saat itu muncul 'romantisme' Perang Salib (karena para penjajah kita dulu itu agamanya Kristen), tapi ini sekadar dugaan saya lewat referensi yang terbatas-masih perlu dibuktikan.

TAPI, perlu dicatat, banyak juga ulama dan tokoh agama yang dekat dengan kaum feudal, 'jembatannya' para penjajah di bumi Indonesia. Nah, kaum feudal inilah yang kerap melanggengkan penjajahan. Siapa itu kaum feudal yang dimaksud? Lurah-Camat-Bupati-Gubermen-Raja-Bangsawan-Priyayi-Kabir yang suka menjilat kaum penjajah. Ini yang dilawan Bapak-Ibu Pahlawan di masanya (tentunya selain kaum penjajah itu sendiri). Apesnya, mereka lebih sulit dilawan karena warna kulitnya sama dengan kita.

WALAU demikian, tidak semua kaum feudal itu penjilat. Ada juga raja-raja di Buleleng, Banjar, Makassar, dan Maluku yang mati-matian melawan penjajah. Bahkan, kaum terdidik (dalam artian Barat) pertama bangsa ini lahir dari kaum feudal. Soekarno adalah keturunan ningrat berdarah Jawa-Bali. Soewardi Soerjaningrat yang priyayi, membuang titel kebangsawanannya dan lebih suka dipanggil Ki Hadjar Dewantara. Atau masih ingatkah kita dengan curhatan pilu R.A. Kartini? Mereka adalah kaum feudal yang menolak ekses negatif dari feudalisme itu sendiri, yakni keterkekangan dan kemunafikan.

Para Pahlawan kita datang dari berbagai latar belakang.

YA, keterkekangan dan kemunafikan adalah gembok pengunci perjuangan kemerdekaan kita. Yang saya maksud sebagai keterkekangan adalah sekat-sekat kesukuan, etnis, ras, kelas, ideologi, dan tertutupnya pikiran. Sedangkan kemunafikan di sini adalah tipu-tipunya kaum penjajah, feudal, kabir, bahkan tokoh agama yang punya kepentingannya sendiri-sendiri. Bagi saya, kunci pembuka gembok itu adalah persatuan dan ilmu pengetahuan (Kebenaran) yang jujur. Siapa sangka jika ilmu pengetahuan yang jujur itu dirintis oleh kaum komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, dan pendukung liberal, dengan kritik serta perlawanannya terhadap kapitalisme-kolonialisme-imperialisme-kerakusan di Indonesia?

Kemerdekaan kita adalah hasil perjuangan multi-sektor. Persatuan dan ilmu pengetahuan lintas sektor-lah yang membuat kita sama-sama terbebas dari penjajahan. Sangat keliru jika menyatakan kaum tertentu lebih berjasa daripada kaum lainnya dalam merealisasikan kemerdekaan. Namun, yang saya sayangkan dari posting Mas Darwis (Tere Liye) sebelumnya adalah klaim dan negasi yang keterlaluan ini. Untunglah beliau mengejawantahkan ulang maksud dari posting-nya itu (walau masih dengan nada defensif). Puji syukur jika polemik seperti ini membuat kita membaca ulang sejarah secara lebih jujur dan menyeluruh.

Sebenarnya masih ada curhatan tentang apa itu "kearifan bangsa sendiri" yang abstrak bin debatable, atau 'penyakit' keterkekangan dan kemunafikan yang masih menjangkit hingga hari ini; entah di kalangan pejabat di Senayan, tentara-tentara di Papua, atau kelas pekerja ngehek di media sosial . Aah, terlalu banyak curhatan dan kesok-tahuan saya di sini, dan nampaknya akan membuat tulisan ini semakin tidak menarik. Sekali lagi, apalah saya dibandingkan Tere Liye.

Tabik.

Kukusan, 2 Maret 2016.



Sumber :

https://www.facebook.com/tereliyewriter/posts/1103275466389687

Kamis, 25 Februari 2016

Nausicaä and the Start of the Adventure

The best random-searching moment yesterday, was that I watched "Nausicaä of the Valley of the Wind" (1984) for the first time. It was a great introduction to Studio Ghibli too, whereas the studio been founded just after the movie's success in 1985.

Yeah, I knew Nausicaä, I knew Studio Ghibli since a long-long time ago, but did never really watched one. Hell yeah Indonesian television. You do prefer to have low-taste-yet-cheap programs rather than airred such art-works. Otherwise, thanks to internet connection of modern civilization (if our beloved former minister asked: what is for to have fast internet connection? God-damn to watch anime, online!).

Okay, back to the topic. "Nausicaä of the Valley of the Wind" was created by Hayao Miyazaki (1941-). It tells about a seaside kingdom called Valley of the Wind, which exist a thousand years in the future after an apocalyptic war that destroyed civilizations and nature. This kingdom is led by a young princess named Nausicaä, an adventurous, warm-hearted girl, who constantly tries to live alongside 'Ohm', a giant-mutant-insects that resident Sea of Decays/Toxic Jungle. Nausicaä's world is the one where human-being harmed nature so bad that it triggers 'natural-mechanism' to counter our existence. Actually, a lesson to fight brutal industrialization and raging wars like today.
Nausicaa of the Valley of the Wind's Poster (1984)
Source: www.nonamemovieblog.wordpress.com

Futhermore, this movie was scored 8.1/10 by IMDb, recommended by World Wild Fund (WWF), and advocating environmental issues throughout decades. It still shivers me to know that this movie was made in 1984, and the story's becoming more relevant to our reality day by day. Beside the idea of environmentalism, a story of young princess who protects her people, doing research (science!), fights decisively, and befriends ugly creature like Ohm is extraordinary and charming in the same time. It is incomparable to the common princesses who only wait for its prince to save herself from the witch. Nausicaä is a beautiful story for all ages.

Somewhat, the gliders of the Valley of the Wind (a wind-riding vehicle) and the aircrafts there also fascinate me. I believe that it (and also with "A Castle in the Sky" (1986)'s aircrafts, another Ghibli's movie) inspire the design of "Wind Rider" (2006) and "Windrider: Sky Age" (2010), an Indonesian comic made by Is Yuniarto. I do not know where the first inspiration of these gliders come from. Even DaVinci's work and Mayan's relic have a similar design too. Well, not really important though. What important is, "Nausicaä, the Valley of the Wind" start my adventure with the beauty of Studio Ghibli's masterpieces.

"Spirited Away", "My Neighbor Totoro", and "Princess Mononoke" to go!

Kukusan,