Selasa, 16 Mei 2017

BULAN MEI DAN KEBEBASAN BANGSA KITA

Bulan Mei selalu menjadi medan ujian bagi bangsa Indonesia. 20 Mei 1908, kita mengenal tanggal ini sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Boedi Oetomo mulai berdiri menjadi organisasi pergerakan pertama Indonesia di tengah perkembangan politik etis kolonial masa itu. Walau awalnya bersifat Jawa-sentris, namun kemudian BU menginspirasi lahirnya organ-organ pergerakan kemerdekaan serupa. Di bulan ini juga, pada tahun 1945, Soekarno menggali butir-butir Pancasila dari relung ingatan kebangsaan yang masih tercecer dalam cerita dan hidup rakyat Indonesia. Hingga pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, rumusan Pancasila pertama kali dipidatokan. Jauh-jauh hari kemudian, 19 tahun lalu, mahasiswa berdemonstrasi di mana-mana menuntut turunnya Presiden Soeharto. Mahasiswa ditembaki, siaran pers dikebiri. Korban bertumbangan dan hilang, dikenang dalam Tragedi Semanggi dan Trisakti. Nyatanya, sepekan kemudian Soeharto bersama Orde Baru lengser. Reformasi bergulir. Demokrasi kita lahir kembali. Betapa heroiknya ingatan-ingatan di Bulan Mei itu.

Mahasiswa menduduki Gedung MPR-DPR RI saat Reformasi 1998.
Sedangkan Bulan Mei tahun 2017 diwarnai berbagai peristiwa yang mengguncang hati nurani dan menguras energi. Paling fenomenal adalah berita dipenjaranya Ahok atas kasus penistaan agama yang telah bergulir lama dan mengundang aksi berjilid-jilid. Massa penolaknya bersuka cita, massa pecintanya menangis sendu. Benci-membenci  atau dukung-mendukung seolah jadi perihal paling pokok di negeri ini. Bau-baunya tidak hanya tercium di Jakarta tapi hampir seantero Nusantara, sampai warung kopi dan ranah privasi. Seorang Gubernur beragama Kristen dipenjara karena silap lidahnya. Masyarakat dipecah-belah karena pilihan politiknya.

Kemudian hari, dengan (sok) gagahnya, seorang menteri koordinator bersama beberapa menteri kabinet mengumumkan pembubaran sebuah ormas radikal. Silakan Anda pro atau kontra dengan haluan ormas tersebut, tapi yang harusnya jadi sorotan, telah terjadi pelanggaran serius. Negara tidak menjalankan proses hukum yang diamanatkan dalam Undang-Undang dengan membubarkan sebuah ormas tanpa melalui proses peradilan. Lebih-lebih lagi, negara melanggar konstitusi dalam menjamin kebebasan berpendapat dan berserikat. Ada yang sebut, beliau ingin unjuk gigi bahwa dirinya masih punya kendali agar tidak di-reshuffle. Entahlah. Tapi seyogyanya kita perlu cemas bahwa di Bulan Mei yang berkah ini, hukum dilompat-loncati. Demokrasi yang disangka kebablasan ternyata diberangus sedemikian rupa atas nama penistaan agama ataupun Pancasila yang dijadikan alat kepentingan sebagian golongan. Bila Ahok dan HTI saja bisa diperkarakan, apalagi kita?!

Ahok mungkin salah ucap dan didakwa menista agama, namun apakah ia patut diganjar hukuman sosial sedemikian rupa? Mungkin ada ormas radikal yang menganggap Pancasila ini thogut atau setara haramnya berhala, tapi apa mereka pantas menerima pembubaran yang sekonyong-konyong tanpa diberi ruang klarifikasi? Preseden-preseden ini bisa jadi menimbulkan ketakutan di antara kita untuk berpendapat atau menyampaikan ide dan keyakinan kita di depan umum. Sayangnya, dua peristiwa ini disambut oleh rezim dengan membatasi kebebasan secara kurang ajar. Padahal kebebasan ini sudah diperjuangkan sejak lama. Jangan sampai runtuh begitu saja.

Kebebasan memang ada batasnya, yakni jika menyangkut fitnah, ujaran kebencian (hate speech), atau mengganggu kebebasan orang lain. Tapi rasanya tak ingin cita dan cipta kebangkitan nasional, kelahiran Pancasila, beserta perjuangan reformasi hilang sirna hanya karena Pilkada atau berangus pemerintah. Semangat berkumpul dan berpendapat dalam majelis yang terbuka serta berpikiran terbuka harus terus dipupuk lagi dan lagi. Demikian ketika Bung Wahidin Soedirohoesodo mengutarakan gagasan pembentukan Boedi Oetomo. Dari minoritas orang Jawa di sekolah Belanda, memberikan gagasan liar tentang organisasi pribumi, sebuah tsunami perjuangan untuk merdeka dapat dibangkitkan. Belum lagi bagaimana Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal Ki Hadjar Dewantara, mengritik pemerintah Belanda dengan suratnya, “Als ik een Nederlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda), bikin kuping kolonial meradang berhadiah jeblosan penjara pula.

Lalu coba bayangkan sidang-sidang BPUPKI di Bulan Mei dan awal Juni dahulu. Tak ada rasa takut untuk mengutarakan konstitusi awal negara Indonesia di depan sidang yang beragam latar belakang apalagi diawasi oleh mata para penjajah Jepang. Yang utama bukan selisih pendapat atau adu argumen semata, tapi adalah adalah khidmat kebijaksanaan dan gelora kebangsaan.

Atau lihatlah aksi mahasiswa 98 di jalan-jalan lampau, tak gentar berhadapan dengan rentetan senapan dan deru panzer tentara. Walau nyawa berguguran, hasilnya dapat kita nikmati sekarang; reformasi disertai kebebasan yang lama dicita-citakan.

Mereka-mereka adalah para pembebas. Walau diri mereka sempat dikekang dan dibatas-batasi, sekaligus oleh penguasa maupun penjajah, mereka tetap berani berpendapat. Bukan perihal penistaan agama atau tudingan anti Pancasila yang saat itu jadi polemik, tapi ide-ide bagaimana bangsa ini bisa merdeka, bisa bebas dari keterbelakangan dan ketertutupan situasi. Itulah yang penting.

Kita berharap rezim-rezim represi tidak terlahir kembali di bumi pertiwi. Walau ada yang mencoba tampil dengan gincu demokratis padahal anti demokrasi, setiap wujud pengekangan terhadap kebebasan harus dilawan, sebab ini berkaitan langsung dengan perjuangan-perjuangan yang sudah diusahakan. Jangan sampai keringat dan darah para pembebas bangsa menjadi percuma hanya karena ekses negatif Pilkada atau berangus pemerintah. Bila kita tetap diam, hancur sudah kebebasan kita, yang artinya juga kemerdekaan bangsa ini.

Di tengah goncangan bulan Mei yang terjadi, jangan pernah takut untuk melawan. Berpendapat dan katakanlah soal kebenaran. Sekali lagi, ingat-ingatlah itu perjuangan kebebasan kita di bulan Mei yang lalu-lalu. Dari situ bisa kita petik bahwa kebebasan berpendapat memang berkali-kali menerima ganjaran atas ketidaksukaan segelintir orang. Namun apabila pendapat yang disampaikan adalah sebuah kebenaran demi memperjuangkan kemaslahatan orang banyak, maka dampaknya akan tetap terasa dan dinikmati semua. Jangan biarkan bangsa ini dikurung kembali dalam kandang ketidakbebasan. Mari bung rebut kembali!


Kebon Sirih, 16 Mei 2017.