Senin, 16 Desember 2013

In Memoriam 44 Tahun Soe Hok Gie (2)

Mahasiswa Paripurna: Buku, Pesta, dan Cinta

"Apalah yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran"

Kata-kata itu seakan sakti bagiku. Seringkali kukutip untuk menyemangati hidup, apalagi dalam perjuanganku. Melengkapi kutipan ayat suci: amar makruf nahyi munkar.

Siapa yang tak kenal nama Soe Hok-gie? Aktivis mahasiswa angkatan '66 yang dijuluki 'Cina Kecil' ini berkuliah dan sempat menjadi dosen di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (FS-UI)  saya sebut sebagai mahasiswa paripurna. Ya, mahasiswa yang sudah lengkap dengan dirinya dan mengambil peran di tengah kecamuk peradaban. Das sollen (posisi ideal) dari gelar yang berjudul "mahasiswa", the super-student. Jakob Oetama menyebutnya sebagai "suatu manusia yang berjiwa bebas, dan semua ini dihias dengan keberanian yang luar biasa pula" (dalam "Soe Hok-gie...sekali lagi", 2009).

Nama Gie seakan-akan menjadi mitos dalam dunia kemahasiswaan dan pergerakan kampus. Tidak hanya di almamaternya, namun juga di seluruh Indonesia. Bersama Herman O. Lantang dkk. mendirikan Mahasiswa Pencinta Alam FS-UI (sekarang Mapala UI) dengan nomor anggota M-007 UI. Bersama Abdullah Dahana (sekarang Guru Besar Sinologi FIB-UI, Ketua SM-FSUI 68-69) dan Hendro Budhidarmono (Ketua SM-FSUI 69-70) mereka bertiga dijuluki sebagai "triumvirate" yang menolak campur tangan organisasi ekstra-kampus dalam student government: bahwa mahasiswa haruslah independen. Aktif pula di Radio Universitas Indonesia (RUI, sekarang RTC UI FM) dan turut menginisiasi Grup Diskusi UI (GD-UI, embrio Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya). Sempat tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS) dan Gerakan Pembaruan (GP) yang dibina Soemitro Djojohadikusumo (Menteri Perdagangan era awal Orde Baru). Bersama rekan-rekan seperjuangannya membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk menjawab tantangan zaman saat itu: menggulingkan rezim Orde Lama dan menggelar Aksi Tritura (Tri-Tuntutan Rakyat), hingga menjadi aktor utama long march mahasiswa dari Rawamangun ke Salemba dan tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-ABRI tahun 1966.

Gie juga memiliki minat tinggi di bidang sastra dan sejarah yang ditunjukkan melalui bacaan-bacaan dan karyanya, seperti skripsi sarjana mudanya yang sudah dibukukan, "Di Bawah Lentera Merah" (1999), tentang riwayat Sarekat Islam di Semarang tahun 1917-1920 dan skripsi sarjananya yang juga telah dibukukan berjudul "Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan" (1997) tentang pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Menjadi penulis di berbagai surat kabar nasional, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Tak pandang bulu melakukan kritik, dari menteri, presiden, teman-teman sejawatnya di DPR-GR, hingga dosen-dosen UI saat itu. Menjadi salah seorang pertama yang mengkritik rezim Orde Baru melalui artikel-artikel yang dibukukan dalam "Zaman Peralihan" (1995). Belum lagi Gie sering menggelar acara nobar, diskusi film, serta menonton pertunjukan lenong betawi atau puisi. Menyukai lagu-lagu perjuangan dan folk songs. Menjadi tempat curhat kawan-kawannya, romantis, dan juga pernah terjerat dalam kisah cinta yang manis. Paling tidak kisah 'otobiografi'-nya dapat dibaca dalam "Catatan Seorang Demonstran" (LP3ES, 1983), atau tulisan mengenai Gie dari kawan-kawannya dalam "Soe Hok-Gie...sekali lagi" (2009). Lebih ringkasnya lagi, silakan tonton film "GIE" (2005) yang dibintangi Nicholas Saputra dan disutradarai Riri Riza.

Soe Hok-gie (1942-1969)

"Di Indonesia hanya ada dua pilihan: menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis sampai batas batas sejauh jauhnya”

Buku, Pesta, dan Cinta

"...di ibu kota negara, pusat ilmu budaya bangsa...buku, pesta dan cinta, itulah hidup kami mahasiswa...Rawamangun dan Salemba, kami yang punya ..."
- kutipan lirik "Genderang UI" sebelum diubah seperti sekarang.

Menurut Benedict Anderson, kawannya dari Cornell University, Gie (atau Soe-panggilan akrabnya) gemar memakai kata-kata berontak, nekad, berani, jujur, dan bersih dalam tulisan-tulisannya. Selain itu, dia juga adalah aktivis sejati, sosok yang bergerak bersama rakyat, kongkret dalam tindakan. Jakob Oetama menganalogikan apa yang dibuat Soe Hok-gie layaknya sajak-sajak Chairil Anwar dan WS. Rendra, atau Jurgen Habermas yang memberikan dasar pemikiran pada gerakan mahasiswa tahun 60-an. Kawannya, Luki Sutrisno Bekti, menyebut adik dari Arief Budiman [1] ini sebagai orang yang moralis absolut dan humanis universal. Idealis, memegang teguh moral dan etika absolut dalam bergerak, sekaligus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang universal itu.

Gie adalah seorang yang cerdas, jujur, dan berani. Dipandang oleh adik-adiknya di FS-UI sebagai 'perpustakaan berjalan'. Pengetahuannya sangat luas dan tulisannya memiliki perspektif. Sosok kutu buku yang pandai berdiskusi. Diakui oleh teman-temannya, argumen Gie selalu runtut dengan analisis tajam. Dalam hal ini, pergerakan mahasiswa haruslah bersandar pada buku. Saya resapi saat ini, iklim pergerakan mahasiswa kontemporer banyak yang menjauh dari buku. Yang dimaksud 'buku' bukan sekadar huruf-huruf berjajar berlembar-lembar, namun adalah ilmu pengetahuan. Perspektif ilmiah dan logika. Kajian dan wawasan bertanggung jawab. Bukannya pergerakan yang tidak pernah belajar dari catatan atau berlandaskan letupan emosional semata. Esensi mahasiswa adalah daya nalarnya, termasuk pergerakannya. Sudah seyogyanya, buku menjadi sandaran para intelektual organik macam kita untuk bergerak, agar tidak mudah diberangus, agar tidak mudah kehilangan arah.

Dalam konsepsi pergerakannya, Soe Hok-gie sangat tegas dalam bersikap dan berpihak pada kemanusiaan. Gerakan mahasiswa dipandangnya sebagai gerakan moral. Ketika terjadi ketidakadilan, bagai 'koboi' mahasiswa harus keluar kampus dan menumpas ketidakadilan itu. Bila tugas itu selesai,  mahasiswa dapat kembali 'belajar' di kampus. Di samping itu, Gie sendiri menganggap politik sebagai lumpur yang kotor. Poros idealisme Gie kembali ditunjukkan di sini. Berbeda dengan kawan-kawannya yang bergabung dalam 'fraksi mahasiswa' di DPR-GR pasca-Orde Lama, Gie lebih mengutamakan kecintaannya pada alam daripada 'berkotor-kotor' dalam politik praktis. Gie memilih menyendiri di puncak-puncak gunung tertinggi bersama Mapala melalui penegasan: "membangun kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat, dan almamaternya" (dalam Maxwell, 2001:144). Poin ini saya sebut sebagai 'pesta' versi Soe Hok-gie. Pestanya Gie adalah menikmati alam, bersenang-senang bersama keindahannya, menenggak 'vodka' kebesaran gunung dan kerindangan hutan. Alangkah keringnya pergerakan mahasiswa yang tak pernah kenal kata istirahat dan bersenang-senang. Dalam hal ini, Gie ingin mengajarkan bahwa aktivitas idealis pun memerlukan waktu isi ulang tenaga untuk melaju lebih kencang, asal jangan kelewatan.

 "Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth."
- Walter Whitman, yang dikutip oleh Soe Hok-gie ketika mendaki Puncak Slamet.

Oleh mahasiswi-mahasiswi FS-UI di eranya, Gie dikenal sebagai laki-laki yang penuh perhatian dan sabar. Memiliki sifat selalu melindungi perempuan dan siap mendengarkan curhat kawan-kawannya. Sama sekali bukan playboy apalagi penjahat kelamin. Seorang mahasiswa yang luas pergaulannya dan setia kawan. Memiliki sifat penyayang yang mungkin dibentuk oleh hobi masa kecil Gie, suka memelihara hewan (dari ikan sampai monyet). Selain itu, Gie, menurut pengakuan kakaknya, adalah seorang anak rumahan. Walau kegiatannya sangat banyak di luar, namun jarang sekali Gie tidak pulang. Gie lebih suka tidur di rumah walau baru pulang hampir dini hari. Pribadi yang sarat dengan 'cinta'. Rasa cinta Gie yang luas ini, tidak hanya kepada lawan jenis, kawan, hewan, atau alam, namun juga kepada Indonesia, seakan menjadi motor utama pergerakan dan idealismenya. Rela berkorban seluruh uang sakunya untuk gelandangan yang makan kulit mangga dari tong sampah, 2 km dari Istana Presiden, atau rela dianggap aneh, terasing karena dianggap berbeda, tidak membuatnya gentar untuk terus mencinta. Keluarga Gie memang bukan keluarga yang ramai dengan ungkapan sayang dan ekspresi cinta, namun Gie memberikan contoh lain dari cinta itu sendiri, cinta yang lebih nyata. Apakah cukup cinta kita kepada Indonesia?

"Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan..."

"Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."

Puncak Mahameru, 16 Desember 1969

Bersama tujuh orang lainnya: Herman O. Lantang (mantan Ketua SM-FSUI 65-67), Aristides Katoppo (pendiri Sinar Harapan), Abdurachman (Maman, Ketua Mapala FS-UI saat itu), Anton Wijana (Wiwiek, aktivis jaket kuning UI Rawamangun-Salemba), Rudy Badil, Idhan Dhanvantari Lubis (19, saat itu mahasiswa Universitas Tarumanegara, keponakan Mochtar Lubis), dan Freddy Lodewijk Lasut (17, baru lulus SMA) berangkat ke Malang, Jumat 12 Desember 1969 menggunakan kereta api dari Stasiun Gambir. Perjalanan pun berlanjut ke kaki Gunung Semeru hingga puncak tertingginya di titik 3.676 km, Mahameru. Tepat satu hari sebelum ulang tahun Soe Hok-gie ke-27 (16 Desember 1969), Gie dan Idhan dinyatakan meninggal di puncak Mahameru karena menghirup gas beracun. Kisah pendakian dan evakuasi jenazah mereka secara dramatis dan detail dapat dibaca dalam tulisan Rudy Badil 40 tahun kemudian di buku "Soe Hok-Gie...sekali lagi" (2009:1-81).

Indonesia telah kehilangan putra-putra terbaiknya, yang saya sebut sebagai anak semua bangsa. Seorang keturunan minoritas yang cerdas, berani, dan jujur, berjuang untuk rakyat yang terkadang memperoloknya sebagai "Cina". Tak pandang etnis, agama, dan ras dalam mengabdi sekaligus mengkritik. Meninggalkan harta tak ternilai bernama "idealisme". Itulah kemewahan terakhir yang dimilikinya.


Dua kawan Gie, Jeanne Mambu dan Henk Tombokan beberapa hari kemudian pergi ke toko penjual peralatan perkabungan untuk memenuhi keperluan pemakaman. "Oh ini peti untuk Soe Hok-gie dan Idhan Lubis yang meninggal di Semeru. Saya kenal Soe dari tulisan di koran-koran, saya kagumi Soe yang mau memikirkan nasib rakyat kecil. Kami ikut berduka cita...Terimalah peti jenazah ini, sebagai sumbangan dan rasa hormat dari kami semua di Malang," ujar pemilik toko itu membuat Jeanne terkesima. Tidak hanya itu, Arief Budiman pun mengenang dalam tulisannya: (Catatan Seorang Demonstran, LP3ES, 2005: xiii)
Jenasah dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk-duduk di lapangan rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut duduk bersama kami. Kami bercakap-cakap. Kemudian dia bertanya, apakah benar jenasah yang dibawa adalah jenasah Soe Hok-gie. Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: "Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus". Saya memandang ke arah cakrawala yang membatasi lapangan terbang ini dan khayalan saya mencoba menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara yang perlahan dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut? ...Saya berdiri kembali di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, "Gie, kamu tidak sendirian"...
Dalam hal ini, saya ingin berkata bahwa ketika kita bicara dengan lantang dan jujur, ketika kita berjuang demi keadilan dan nasib rakyat, walau kita dimusuhi dan dicerca, walau kita diasingkan, semestinya kita tidak akan pernah sendiri. Suara-suara lirih yang membisik, sering tak terdengar di luar sana, merasai perjuangan kita. Menyebut kebenaran dan kenyataan apa adanya, bukan untuk melecehkan, tetapi untuk menyadarkan yang seharusnya. Idealisme harus dikokohkan baginya, sekuat-kuatnya angin menerjang. Wawasan jadi landasan, pergaulan alam jadi tempaan, cinta jadi penggerak. Bukankah begitu buku, pesta, dan cinta yang engkau maksudkan, sobat?

[1] Arief Budiman; Soe Hok Djin; kakak Soe Hok-gie, adalah alumnus Fakultas Psikologi UI, salah seorang penandatangan Manifesto Kebudayaan tahun 1963 dan inisiator Golongan Putih Pemilu tahun 1973 bersama Adnan Buyung Nasution dkk., Ph.D sosiologi Harvard, pernah mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, dan sekarang menjadi profesor di Melbourne University.

Kukusan, 16 Desember 2013
In Memoriam 44 Tahun Soe Hok Gie
Langitantyo Tri Gezar, FISIP UI 2010


"Seorang filsuf Yunani pernah menulis...nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."

In Memoriam 44 Tahun Soe Hok Gie (1)

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah.
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza.

Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku.
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu.
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mendalawangi.

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang.
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra.

Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku.
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya.
Tentang tujuan hidup yang tak satupun setan yang tahu.

Mari sini sayangku.
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku.
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung.
Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak 'kan pernah kehilangan apa-apa.

Selasa, 11 November 1969
- Soe Hok-gie

(dalam "Soe Hok-Gie...sekali lagi", 2009)

Kamis, 05 Desember 2013

PROSES HUKUM

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Judul               : “Ilmu Hukum”
Pengarang      : Satjipto Rahardjo
Data Publikasi : Ilmu Hukum Bab X, Proses Hukum, 175-188

Ada tiga kategori kualitas hukum, yaitu normatif, sosiologis, dan filsafati. Selanjutnya akan membicarakan tentang bagaimana fungsi hukum untuk mengatur kehidupan bersama. Kemudian juga membicarakan model tertentu penegakan hukum, disebut administrasi keadilan. Di Amerika Serikat ada “the criminal justice system”, maka di Indonesia diungkapkan seperti  “pendekatan terpadu”. Bertolak dari manajemen kelembagaan, diharapkan memperkaya ilmu hukum Indonesia.

  1. PEMBUATAN HUKUM
Hukum berfungsi mengatur kehidupan bersama, maka harus menjalani proses panjang  melibatkan aktivitas dengan kualitas berbeda, berupa pembuatan hukum dan penegakan hukum. Lebih pastinya digunakan istilah pembuatan undang-undang. Karena pembuatan hukum adalah pembuatan undang-undang tersebut. Tapi tidak lazim untuk mengatakan “penegakan undang-undang”. Istilah penegakan hukum dipakai tetap.

Proses hukum di sini bisa menimbulkan pemahaman keliru. Misalnya orang terpikir pada “jalannya suatu proses peradilan”. Ditegaskan, proses hukum di sini adalah “perjalanan yang ditempuh hukum untuk menjalankan fungsinya, yaitu mengatur masyarakat atau kehidupan besama”.

Pembuatan hukum merupakan awal proses pengaturan tersebut, momentum pemisahan keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur hukum. Pemisah “dunia sosial” dan “dunia hukum”, ditundukkan tatanan hukum pada penilaian hukum, ukuran hukum, dan akibat-akibat hukum.

Berbicara bahan dan struktur dalam rangka pembuatan hukum, maka bahan di sini menunjuk kepada isi, sedangkan struktur kepada kelengkapan organisator yang memungkinkan hukum itu dibuat. Berbeda sesuai susunan kenegaraan yang dianut.

A.1. Bahan Hukum

Proses pembuatan hukum terbagi dalam 1) tahap inisiasi (munculnya gagasan), 2) tahap sosio-politis, dan 3) tahap yuridis. Dimulai sebagai gagasan atau ide, diproses sehingga menjadi bahan yang siap diberi sanksi hukum. Muncul di masyarakat berbentuk keinginan agar suatu masalah diatur oleh hukum. Misalnya keinginan adanya pengaturan lingkungan hidup yang menjadi gawat, sehingga negara perlu membuat hukumnya.

Tahap sosio-politis, gagasan awal diolah oleh masyarakat, dibicarakan, dikritik, dipertahankan, melalui pertukaran pendapat antar-golongan. Gagasan mengalami ujian, apakah bisa terus atau berhenti. Jika berhenti, akan hilang dan tidak dipermasalahkan. Apabila terus, bentuk dan isi gagasan mengalami perubahan, yaitu pematangan dan penajaman (articulated).

Berikutnya (tahap yuridis), pemberian sanksi hukum terhadap bahan tersebut. Melibatkan kegiatan intelektual murni bersifat yuridis, ditangani oleh tenaga khusus berpendidikan hukum. Misalnya perumusan dalam bahasa hukum, meneliti konteksnya dalam sistem hukum yang ada sehingga tidak menimbulkan gangguan sebagai kesatuan sistem, kemudian diundang-undangkan.

A.2. Struktur Pembuatan Hukum

Struktur perlu diciptakan agar pemrosesan bahan hukum bisa dijalankan. Menyangkut penyusunan organisasi yang akan mengatur kelembagaan bagi pembuatan hukum, serta mekanisme kerja lembaganya.

Berdasarkan doktrin Montesquieu (“L`Esprit des Lois”, 1748) yaitu “separation of powers” (pembagian kekuasaan) atau “Trias Politica” (legislatif, yudikatif, eksekutif). Untuk melindungi individu, tiap lembaga hendaknya memiliki otonominya masing-masing, sehingga yang satu tidak ditundukkan yang lain (checks and balances). Di atas fundamen itu, pengorganisasian pembuatan hukum dilakukan.

Pengorganisasian pembuatan hukum tidak berdiri sendiri, namun bagian dari penataan ketatanegaraan—filsafat pembagian kekuasaan. Dengan memisahkannya dari aktivitas kenegaraan lainnya (proses yang eksklusif), artinya dipercayakan kepada satu badan yang berdiri sendiri dan hanya melakukan satu kewenangan saja, yaitu membuat hukum (badan legislatif). Badan yudikatif dan eksekutif tidak boleh mencampurinya. Namun, tidak ditemukan praktik pengorganisasian yang mutlak sama di negara dunia. Amerika Serikat dan Inggris, bertipe Anglo-Saxon, berbeda pula. Pemisahan kekuasaan bukan doktrin mutlak seperti di Eropa daratan. Misalnya di AS, pengadilan menjalankan kekuasaan yang oleh dunia dianggap memasuki kewenangan eksekutif (Gilmore, 1977: 25-36).

Kutipan Montesquieu, pembuatan hukum yang baik (Allen, 1964: 467-468):
1. Gaya padat dan sederhana. Kalimat muluk dan retoris merupakan hal berlebihan dan menyesatkan.
2. Istilah-istilah yang dipilih, sedapat mungkin mutlak dan tidak relatif, sehingga mempersempit kemungkinan adanya perbedaan pendapat.
3. Membatasi diri pada hal aktual, menghindari perumpamaan atau hipotesis.
4. Tidak rumit, sebab dibuat untuk orang kebanyakan; jangan mempersoalkan logika, tetapi sekadar bisa dijangkau penalaran umum.
5.Janganlah masalah pokok dikaburkan oleh penggunaan perkecualian, pembatasan, atau modifikasi (kecuali benar-benar dibutuhkan).
6. Tidak argumentatif; berbahaya memberi alasan rinci tentang masalah yang diatur, hanya akan membuka perdebatan.
7. Isi dipikirkan secara masak. Jangan membingungkan pemikiran, rasa keadilan, serta umumnya sesuatu berjalan alami. Hukum yang lemah berakibat keseluruhan sistem UU ambruk, merusak kewibawaan negara.

  1. PENEGAKAN HUKUM
Pembuatan hukum hanya setahap dari perjalanan untuk mengatur masyarakat. Harus disusul pelaksanaan konkrit, yang dimaksud dengan penegakan hukum.

Dalam bahasa Indonesia, dikenal istilah “penerapan hukum”. Tetapi mendatang, penegakan hukum merupakan istilah yang dijadikan (coined). Disebut juga dalam bahasa lain, seperti: rechstoepassing, rechtshandhaving (Belanda); law enforcement, application (Amerika).

Dalam struktur kenegaraan modern, tugas penegakan hukum dijalankan komponen eksekutif, dilaksanakan oleh birokrasinya (birokrasi penegakan hukum). Sejak negara mencampuri banyak bidang kegiatan dan pelayanan masyarakat, maka campur tangan hukum juga makin. Tipe negara demikian disebut welfare state. Eksekutif dan birokrasinya merupakan bagian mata rantai perwujudan rencana yang tercantum dalam peraturan hukum yang menangani bidang-bidang tersebut.

  1. PERADILAN
Peradilan menjadi suatu macam penegakan hukum. Pebedaanya dengan eksekutif, mereka menjalankan penegakan hukum secara aktif, sedangkan peradilan pasif. Disebabkan menunggu pihak yang membutuhkan jasa peradilan (yustisiabel), yang membawa persoalan dan diselesaikan melalui proses peradilan.

Dibedakan antara peradilan dan pengadilan. Peradilan menunjuk proses mengadili. Pengadilan salah satu lembaga dalam proses tersebut. Lainnya berupa kepolisian, kejaksaan, dan advocaat. Hasil akhirnya berupa putusan pengadilan atau putusan hakim sebagai pemimpin sidang di pengadilan.

Berjalannya proses peradilan erat dengan substansi yang diadili (perkara perdata atau pidana). Keterlibatan lembaga-lembaga dalam proses peradilan secara penuh terjadi saat mengadili perkara pidana. Dijumpai diferensiasi forum pengadilan. Terbentuk berbagai fora pengadilan (pengadilan agama dan militer). Tidak ada struktur universal kelembagaan pengadilan, mengakibatkan di tiap negara, fora pengadilan berbeda.

Bagi ilmu hukum, bagian penting proses mengadili saat hakim memeriksa kenyataan terjadi dan mengadili/menghukumi perkara sesuai peraturan berlaku. Waktu putusan itulah puncak penegakan hukum. Oleh Hans Kelsen, penegakan hukum yang demikian itu disebut Konkretisierung.

  1. ADMINISTRASI KEADILAN
Di Indonesia, hukum acara lebih dikenal daripada adminisitrasi keadilan (administration of justice). Dalam administrasi keadilan, lebih menonjol pendekatan administrasi ketimbang hukum. Pendekatan hukum menggunakan doktrin normatif, memikirkan pembuatan aturan menyuruh/melarang untuk menertibkan proses mengadili. Pendekatan administrasi menggunakan doktrin administrasi, efisiensi kerja lembaga terlibat dalam proses mengadili. Didukung oleh penggunaan analisis sistem dan pendekatan sistem atau ancangan sistem (La Patra, 1978).

Administrasi keadilan: penerapan keadilan dalam masyarakat membutuhkan pengelolaan, tidak dapat hanya diserahkan kepada masyarakat (dipercayakan kepada masing-masing anggota) begitu saja (Dias, 1976: 88-106).

Karakteristik menonjol pada hukum modern pada cara-cara menerapkan keadilan dalam masyarakat. Berbeda dengan dulu, istilah Weber disebut kategori “dominasi”, sistem hukum modern menekankan pada struktur yang birokratis. Sebelum birokratisasi, perlu pemerintahan yang kuat, yang mampu mengambil alih semua pusat kekuasaan dalam masyarakat sehingga hanya tinggal satu kekuasaan sentral.

Proses pengalihan penerapan keadilan secara pribadi ke negara tidak sekaligus. Semakin kuatnya kedudukan dan kekuasaan negara/pemerintahan, penerapan keadilan berangsur pindah, kemudian dilembagakan (dinegarakan). Muncullah istilah law enforcement (pelaksanaan/penerapan hukum) dan administration of justice ini.

Apabila keadilan dinegarakan, maka perlengkapannya adalah pembuatan hukum dan pelaksanaannya (dalam dan luar pengadilan). Namun biasanya administrasi keadilan dipakai dalam pelaksanaan hukum saja, khususnya melalui pengadilan.

Keadilan terbagi dalam keadilan “perdata” dan “kriminal”/”pidana”. Pada perdata, kita berhadapan dengan pelanggaran terhadap perorangan. Pidana berhadapan dengan pelanggaran terhadap umum.

Keadilan perdata berurusan dengan hak primer (bukan karena terjadi pelanggaran sebelumnya) dan hak yang timbul dari pemberian sanksi. Muncul sebagai kelanjutan pelanggaran. Proses penerapannya harus mengikuti prosedur di Indonesia, Hukum Acara Perdata. Kenyataannya, pengadministrasiannya masih saja memberikan ruang gerak kepada pihak yang terlibat.

Administrasi keadilan pidana berbeda dan menonjol, bahwa badan (polisi, jaksa, pengadilan, dan masyarakat) yang terlibat banyak, sehingga butuh pengelolaan saksama. Masalah terumit, bagaimana mengorganisasikan badan-badan yang berbeda wewenang menjadi satu kesatuan kerja. Semua badan ini mengurus orang yang sama (tersangka/terdakwa/terhukum). Bila tiap badan memegang teguh birokrasinya, maka efisiensi administrasinya bisa sangat terganggu.

Jalannya administrasi keadilan di bidang pidana sangat kompleks (lihat ragaan 18: Administrasi keadilan di bidang hukum pidana, Ilmu Hukum hlm. 186). Efisiensi kerja menjadi masalah utama. Kecaman bisa dilontarkan terkait ketidaksamaan perlindungan tersangka dan putusannya, sehingga mengalami hukuman yang lebih atau kurang dari semestinya.

Pengelolaan proses administrasi keadilan yang kompleks sangat dibantu oleh ilmu manajemen. Efisiensi dan penanganan sistemik bertolak dari proses sebagai satu kesatuan. Sehingga semua badan terlibat harus menyadari kedudukannya sebagai sub-sistem dari sistem yang besar (hukum). Konsekuensinya, fungsi administrasi keadilan hendaknya mampu menyediakan tatanan berkapasitas menyelesaikan masalah kejahatan secara adil. Kemampuan menyelesaikan, daftar kerja pengadilan (La Patra, 1978: 65):
  1. Terdakwa tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif.
  2. Rakyat tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif.
  3. Ciptakan kondisi mendukung ke arah penilaian adil dan nalar (logis).
  4. Mungkinkan pemrosesan perkara dengan kecepatan terukur.
  5. Minimalisir beban di pundak pihak-pihak berpekara.
  6. Minimalisir beban pihak-pihak lainnya.
  7. Minimalisir ongkos/biaya perkara.

(Lihat  ragaan 23: Model sistemik administrasi keadilan menurut Gazell, Ilmu Hukum hlm. 188 (Gazell, 1971: 448))

Review Video “Century final demo” dalam Pembahasan Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial

Oleh : Langitantyo Tri Gezar
Kelompok T, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Pada video tersebut, diperlihatkan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai KMI (Komunitas Mahasiswa Indonesia) beserta berbagai komponen masyarakat lainnya mengadakan unjuk rasa atau demonstrasi di depan gedung DPR terkait masalah penyampaian keputusan final Pansus century yang menjadi perdebatan dalam masyarakat maupun pemerintahan. Pada video tersebut dapat dijelaskan secara sosiologis tindakan yang dilakukan mereka sebagai perilaku kolektif dan gerakan sosial.

Perilaku kolektif adalah perilaku yang tidak berpedoman pada institusi yang terdapat dalam masyarakat. Ciri perilaku kolektif yaitu dilakukan bersama oleh sejumlah orang (kerumunan), tidak bersifat rutin, dan merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu. Menurut Le Bon, perilaku kolektif dipengaruhi oleh faktor structural conduciveness, structural strain, growth and spread of a generalized belief, precipitating factors, mobilisasi peserta tindakan, dan the operation of social control.

Kemudian, kerumunan di sini oleh Light, Keller, dan Calhoun dijelaskan sebagai sekumpulan orang yang berkumpul di sekitar seseorang atau suatu kejadian, sadar akan kehadiran orang lain, dan dipengaruhi orang lain. Selanjutnya Blumer  membuat suatu klasifikasi jenis-jenis kerumunan, yakni kerumunan sambil lalu, kerumunan konvensional, kerumunan ekpresif, kerumunan yang bertindak, dan kerumunan panik. Serta oleh ahli lain, terdapat kerumunan yang disebut orgy.

Sekumpulan orang dalam demonstrasi tersebut bisa dikategorikan sebagai kerumunan ekspresif, yakni kerumunan di mana anggotanya menyatakan perasaan mereka secara meluap-luap dan menampilkan perilaku yang biasanya tidak ditampilkan di tempat lain. Mereka hanya menunjukkan keinginan mereka dengan beriring-iringan, bernyanyi, serta membawa berbagai spanduk di saat itu dan tempat itu saja.

Le Bon menyebutkan faktor terjadinya kerumunan, antara lain karena kebersamaannya dengan banyak orang lain, individu memperoleh perasaan kekuatan luar biasa yang mendorongnya untuk tunduk pada dorongan naluri, dalam suatu kerumunan tiap perasaan dan tindakan bersifat menular, dan dalam kerumunan individu mudah dipengaruhi, percaya, taat—contagion theory. Horton dan Hunt menyebut bahwa perilaku kerumunan muncul dari sejumlah orang yang mempunyai dorongan, maksud, kebutuhan serupa—convergency theory. Lalu Turner dan Killian juga mengemukakan bahwa dalam kerumunan pun muncul aturan baru—emergent norm theory.


Tiga teori di atas sesuai dengan contoh dalam video tersebut. Mereka bersama-sama terpengaruh oleh penghimpun massa dan ikut-ikutan untuk menyanyikan suara-suara aspirasi, berjalan beriringan, dan membawa-bawa spanduk unjuk rasa di depan gedung DPR. Tentu saja mereka berada di tempat itu untuk satu tujuan, yaitu berunjuk rasa atas kasus century yang menjadi sorotan publik. Dalam kerumunan tersebut juga terbentuk peraturan baru yang menyatakan bahwa mereka harus menunjukkan pendapat mereka bersama, diharapkan secara tertib, dan hanya saat itu di jalanan itu juga.

Berikutnya, terdapat konsep gerakan sosial, yakni perilaku kolektif yang ditandai kepentingan bersama dan tujuan jangka panjang, yaitu untuk mengubah ataupun mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada di dalamnya. Ciri lainnya ialah penggunaan cara yang berada di luar institusi yang ada. Gerakan sosial oleh Aberle dibagi berdasarkan besarnya perubahan yang diinginkan menjadi alternative movement, redemptive movement, reformative movement, dan transformative movement. Di pihak lain, Kornblum menggunakan kriteria tujuan yang hendak dicapai gerakan sosial dan membedakannya menjadi revolutionary movement, reformist movement, conservative movement, dan reactionary movement.

Berdasarkan klasifikasi di atas, demonstrasi pada video tersebut dapat dimasukkan ke dalam jenis reformative movement—gerakan yang bertujuan mengubah segi-segi tertentu masyarakat (Aberle), dan juga reformist movement—gerakan sosial yang hanya bertujuan mengubah sebagian institusi dan nilai (Kornblum). Hal yang ingin diubah tersebut adalah mengenai tindakan penelusuran kasus yang jujur dan adil, serta penegakan hukum terkait kasus century dalam penyampaian keputusan Pansus dan dinamikanya di pemerintahan maupun masyarakat.

-- Video dapat diunduh di www.scele.ui.ac.id dan www.youtube.com --

-- Sumber teori terkait pada buku Pengantar Sosiologi oleh Kamanto Sunarto (2004)--

Review Video “The Role of Family and Social Change” Dalam Pembahasan Perubahan Sosial

Oleh : Langitantyo Tri Gezar
Kelompok T, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Pada video tersebut, dapat diperhatikan penjelasan oleh para ahli Amerika mengenai peranan keluarga dalam perubahan sosial yang terjadi dan semakin dinamis dari masa ke masa. Hal ini sangat menarik untuk diamati, karena keluarga sebagai agen sosialisasi pertama dan terdekat seharusnya dapat memberikan nilai-nilai yang sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat kepada anak-anaknya, namun keluarga juga berperan sebagai benteng atau penyaring nilai-nilai di masyarakat yang sampai kepada anak-anaknya, disebabkan tidak semua nilai-nilai dalam masyarakat itu baik.

Hubungannya dengan perubahan sosial, bahwa konsep keluarga sendiri, dari masa ke masa sudah berubah. Konsep keluarga yang umumnya timbul adalah terdiri dari orang tua dan anak saja. Namun sebenarnya konsep tersebut belum menyeluruh. Keluarga dapat terdiri dari anggota-anggota yang lebih luas, yakni juga terdiri dari kakek, nenek, paman, bibi, sepupu, cucu, bahkan hewan peliharaan. Selain itu anggota-anggota keluarga, yang esensial, tidak harus terikat pada garis keturunan maupun hubungan darah yang sama. Kenyataan yang ada, banyak orang-orang yang melakukan adopsi, atau pada keluarga di Barat, keluarga yang tidak terikat pernikahan sekalipun, menyebut diri mereka keluarga. Mari kita lihat fungsi-fungsi keluarga, antara lain fungsi afeksi (kasih sayang), perlindungan, sosialisasi, ekonomi (pemenuhan kebutuhan), dan biologis (meneruskan keturunan). Maka hubungan orang-orang di atas tidak berlebihan jika tetap disebut sebagai sebuah keluarga yang utuh, karena dapat memberikan fungsi-fungsi yang diinginkan.

Lalu diperlihatkan juga proses sosialisasi kepada anak, kegiatan yang terjadi dalam keluarga, dan peranan tiap anggota keluarga, yang mulai bergeser jika dibandingkan dengan yang terjadi dahulu. Dahulu, hubungan antara anak dan orang tua lebih tersegmentasi. Karena usia dan peranan yang sangat berbeda, seorang anak harus lebih hormat kepada orang tua mereka. Anak-anak harus membantu pekerjaan rumah tangga orang tuanya. Di masa sekarang, hal itu sudah tidak menjadi perhatian utama. Dahulu, seorang anak pada usia 10-15 tahun sudah diberikan tanggung jawab yang besar untuk membantu orang tuanya. Sekarang, anak usia tersebut memang juga dituntut mandiri, namun dengan cara yang lain. Contohnya anak mandiri dalam berkegiatan di sekolah dan menyelesaikan masalah pribadinya.


Selanjutnya peranan seorang ibu ataupun ayah dalam keluarga sekarang sudah tidak sama dengan dulu. Perubahan ini dilihat dari peran awal ibu yang hanya mengurus keperluan rumah tangga dan ayah yang keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah. Ini menyebabkan interaksi keluarga dan ketahanan ekonomi untuk menjaga keutuhan keluarga minim. Melihat pola peran ibu-ayah sekarang, yakni Ibu lebih bebas untuk bekerja di luar seperti ayah, dan Ayah bergantian mengurus keperluan rumah tangga seperti Ibu, memberikan interaksi yang lebih positif serta ketahanan keutuhan keluarga yang lebih kuat. Hubungan peran pertama, dalam sebuah penelitian menunjukkan tingkat perceraian yang lebih tinggi dibandingkan hubungan peran kedua. Hal ini disebabkan interaksi dan ketahanan keutuhan keluarga yang lebih rapuh pada hubungan peran pertama dibandingkan hubungan peran kedua.

Terakhir, ditunjukkan pola keluarga dalam ikatan antarbudaya. Diambil contoh keluarga, yang Sang Ibu berasal dari barat dengan Ayah yang berasal dari Asia. Sang Ibu maupun Ayah tentunya dari awal sudah memiliki nilai budaya yang berbeda, namun yang terjadi mereka tetap berkomitmen untuk membentuk sebuah keluarga. Mereka sudah memiliki seorang anak yang lucu, dan pernikahan ini mampu menyatukan dua keluarga besar dari budaya yang berbeda. Keluarga antarbudaya ini juga menarik untuk diamati lebih lanjut, bila dibahas berkenaan dengan pola interaksi, pembagian peran yang terjadi, dan proses sosialisasinya kepada anak.

-- Video dapat diunduh di www.scele.ui.ac.id dan www.youtube.com --

Conformity and Deviance - Konformitas dan Penyimpangan

Oleh: Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Konformitas: bentuk interaksi yang di dalamnya seseorang berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok (John M. Shepard, 1984: 115); cara adaptasi individu dalam mana perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat, dan mengikuti cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut (Robert K. Merton).

Sosialisasi menciptakan konformitas, contoh: anak laki-laki dan perempuan. Konform peran sebagai anak laki-laki atau perempuan sesuai harapan masyarakat (lihat Henslin, 1979).

Manusia cenderung bersifat konformis, mudah terpengaruh. Dalam situasi kelompok, orang cenderung membentuk suatu norma sosial (lihat Muzafer Sherif, 1966: 89-112).

Penyimpangan: perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi (James van der Zanden, 1979). Contoh: cewek tomboy dan cowok sissy.

Di samping penyimpangan (deviance) dan penyimpang (deviant), kita menjumpai pula institusi menyimpang (deviant institution) (Kornblum, 1989: 202-204). Contoh: organized crime—sindikat curanmor dan pengedaran narkoba.

Penyimpangan bukan sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku tertentu, melainkan diberi ciri penyimpangan melalui definisi sosial (lihat Thomas—definisi situasi oleh masyarakat). Contoh: Hippies Amerika >< Agama Sikh (laki-laki berambut panjang), prajurit membunuh saat perang dianggap pahlawan, apabila saat masa damai dianggap penjahat.

Teori Biologi (Lombroso) dan
Teori Psikologi/Psikoanalis (Sigmund Freud) (lihat Macionis).

Teori Differential Association: penyimpangan bersumber pada pergaulan yang berbeda dan dipelajari melalui proses alih budaya (Edwin H. Sutherland).

Teori Labelling: seseorang menjadi menyimpang karena proses pemberian julukan, cap, etiket, merek, oleh masyarakat kepadanya. Primary deviation (penyimpangan yang dilakukan pertama kali) à Secondary deviation (pengulangan dari penyimpangan sebelumnya) à Menjadi deviant life style dan menghasilkan deviant career (Edwin Lemert).

Struktur sosial juga memungkinkan strain toward anomie – tekanan struktur sosial yang mendorong orang ke perilaku menyimpang. (Robert K. Merton)
-       Conformity: tujuan sesuai, cara sesuai.
-       Innovation: tujuan sesuai, cara salah (memalsu ijazah untuk kerja).
-       Ritualism: tujuan salah, cara sesuai (pegawai cari aman).
-       Retreatism: tujuan salah, cara salah (kriminalitas).
-    Rebellion: tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan struktur sosial yang lain.

Teori Fungsi: kejahatan perlu bagi masyarakat, maka moralitas dan hukum dapat berkembang secara normal (Emile Durkheim).

Teori Konflik: perilaku menyimpang didefinisikan oleh kelompok berkuasa untuk melindungi kepentingannya, hukum merupakan pencerminan kepentingan kelas berkuasa. – Konflik adalah pertentangan antarkelas (Marx).

(Light, Keller, dan Calhoun , 1989)
- Crimes Without Victims: bentuk kejahatan yang tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain—prostitusi.
-     Blue-Collar Crime: kejahatan oleh orang biasa—maling ayam.
-     White-Collar Crime: kejahatan oleh orang terpandang/berstatus tinggi dalam rangka pekerjaannya—korupsi oleh pejabat.
-  Organized Crime: komplotan berkesinambungan untuk memperoleh uang/kekuasaan dengan jalan menghindari hukum melalui penyebaran rasa takut atau korupsi (Abadinsky).
-  Corporate Crime: kejahatan yang dilakukan oleh atas nama organisasi formal dengan tujuan menaikkan keuntungan dan menurunkan kerugian—kasus pembuangan limbah pabrik.
-  Governmental Crime: kesalahan formal oleh para pejabat pemerintah yang membawa dampak mengerikan—holocaust (Giddens).
-  Cybercrime: kejahatan berupa penyebarluasan virus komputer melalui internet, bermaksud mengubah/merusak sistem informasi organisasi yang tergabung internet.

DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: FEUI
Macionis, John. 1987. Sociology. New Jersey: Pearson Prentice Hall

Senin, 02 Desember 2013

Keteguhan Pram, Rekonsiliasi Basa-Basi


Sejarah Peristiwa 1965-1966 tentang G30S, keruntuhan Orde Lama, dan berdirinya Orde Baru, masih menyimpan kabut kelam hingga sekarang. Konflik ideologis antara USSR dengan USA, Blok Timur dengan Blok Barat, komunis dengan kapitalis, menjadi narasi besar dari pergolakan yang timbul di Indonesia masa itu (lihat Cribb, 2005; Ricklefs, 2005; Roosa, 2008; Aleida, 2009). Pergolakan ideologis ini juga muncul dalam dunia sastra. Ada dua kubu sastrawan yang meruncingkan wacana tentang dua paham kesusastraan Indonesia. Yang satu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), didirikan oleh Njoto (Iramani), D.N. Aidit, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta (Klara Akustia) dengan paham realisme sosialis, “politik adalah panglima”, “seni untuk rakyat”. Tokoh-tokohnya antara lain Agam Wispi, Putu Oka Sukanta, Rivai Apin, dan Pramoedya Ananta Toer. Yang satu lagi adalah kelompok Manifestasi Kebudayaan (Manikebu), yang digawangi Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, W.S. Rendra, Arief Budiman (Soe Hok Djin), H.B. Jassin, dan masih banyak lagi, dengan paham humanisme universal, “seni untuk seni” (Sambodja, 2010). Di luar kubu itu, masih terdapat sastrawan lain yang berafiliasi partai politik, seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) underbow PNI yang dipimpin Sitor Situmorang, dan sastrawan-satsrawan independen seperti Ajip Rosidi (Budiman, 2006).
Rezim Orde Lama, Soekarno mendukung Lekra, melarang Manikebu karena dianggap menghambat revolusi yang belum usai. Rezim Orde Baru, berganti, Lekra dilarang karena dicap PKI oleh Soeharto, sedangkan Manikebu mendapatkan kebebasannya. Dalam gejolak politik yang demikian riuh, terdapat hal penting yang patut dicatat sejarah, yakni konstelasi karya sastra, sastrawan, serta hubungannya dengan situasi politik dan represi Orde Baru. Gambaran mengenai konstelasi itu diwakili oleh kehidupan dan keteguhan yang dimiliki seorang Pramoedya Ananta Toer.
Pram adalah sastrawan Lekra yang bukan komunis, namun tetap revolusioner. Mengarang karya-karya novel seperti Bumi Manusia, Gadis Pantai, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Banyak buku-bukunya dibakar dan dilarang terbit. Pernah pula dipenjara selama 14 tahun (1965-1979) oleh rezim Orde Baru karena dianggap terlibat dalam Peristiwa G30S. Di lain sisi, Pram dikatakan sebagai “sastrawan nomor wahid di Indonesia”, di mana “tanpa karyanya, seluruh dunia hampir-hampir tidak mengenal kehadiran kesusastraan Indonesia modern” (Teeuw, 1980). Pernah pula membuat kontroversi karena pada 19 Juli 1995 dinobatkan sebagai penerima anugerah Magsaysay di bidang jurnalisme, sastra, dan seni komunikasi kreatif dari Yayasan Ramon Magsaysay di Filipina.

Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925 - 30 April 2006)
Pram bukanlah orang cengeng. Walau dipenjara, dia terus menulis dan melawan. Dia memiliki kepedihan yang mendalam kepada rezim Orde Baru, bukan karena dia dipenjara, namun karena karya-karyanya dibakar, dan rezim Orde Baru dengan angkuh berdiri di atas penderitaan orang-orang Tapol dan Eks-Tapol yang difitnah, dibunuh, dan dizalimi. Pram secara tegas tidak dapat memaafkan kejahatan-kejahatan itu begitu saja, walaupun Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sudah meminta maaf/mengupayakan rekonsiliasi, dan Goenawan Mohamad memintanya untuk memaafkan. Pram pun berpulang pada tanggal 30 April 2006. Keteguhannya untuk menolak rekonsiliasi terlihat dalam surat ini:

Surat Pramodeya Ananta Toer kepada Goenawan Mohamad

saya bukan nelson mandela
saya tidak memerlukan basa-basi
gampang amat gus dur minta maaf
dan mengajak rekonsiliasi

dia bicara atas nama siapa?
NU atau Presiden?
kalau NU, kenapa dia bicara sebagai presiden?
kalau presiden, kenapa DPR dan MPR dilewatkan?
biarkan DPR dan MPR yang bicara
tak usah presiden

yang saya inginkan adalah tegaknya hukum
dan keadilan di Indonesia
penderitaan kami adalah urusan Negara
kenapa DPR dan MPR diam saja?
saya tidak mudah memaafkan orang
karena sudah terlalu pahit menjadi orang Indonesia
basa-basi baik saja
tapi hanya basa-basi
selanjutnya mau apa?
maukah negara menggantikan kerugian
orang-orang seperti saya?

minta maaf saja tidak cukup
dirikan dan tegakkan hukum
semuanya mesti lewat hukum
harus jadi keputusan DPR dan MPR
tidak bisa begitu saja basa-basi minta maaf

ketika saya dibebaskan dari Pulau Buru
saya menerima surat keterangan
bahwa saya tidak terlibat G30S/PKI
namun setelah itu tidak ada tindakan apa-apa

saya sudah kehilangan kepercayaan
saya tidak percaya gus dur
saya tidak percaya goenawan mohamad
kalian ikut mendirikan rezim orde baru
saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia
tak terkecuali intelektualnya
mereka selama ini memilih diam
dan menerima fasisme
mereka ikut bertanggung jawab atas penderitaan
yang saya alami
bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan orba

dalam hitungan hari, minggu, atau bulan
mungkin saya akan mati
karena penyempitan pembuluh darah jantung
basa-basi tak lagi menghibur saya

Catatan: Surat Pramodeya ini ditulis sebagai jawaban atas tulisan Goenawan Mohamad, “Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer” yang dimuat di Majalah Tempo 3-9 April 2000, dan dimuat ulang dalam buku “Setelah Revolusi Tak Ada Lagi” (2004). Harian Kompas, 15 Maret 2000 menulis, “Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, sejak dulu, ketika masih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), dirinya sudah meminta maaf terhadap korban Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).”
Surat dan catatan ini dikutip menyeluruh dari Asep Sambodja (2010) “Historiografi Sastra Indonesia 1960-an” terbitan bukupop, Jakarta.
Sungguh dalam kepedihannya, disiksa batinnya, dibohongi nalarnya. Walau begitu, Pram tetap memikirkan nasib kawan-kawan yang sepenanggungan dengannya. Ucapan maaf tak cukup. Menolak memaafkan karena caranya bukan demikian. Masih memercayai hukum dan keadilan, di tengah ketidakpercayaannya terhadap elite politik dan intelektual. Keteguhan Pram menolak rekonsiliasi yang basa-basi ini.

Kukusan, 2 Desember 2013
Langitantyo Tri Gezar

FISIP UI 2010