Sabtu, 23 Juni 2012

Electoral Threshold dan Parliamentary Threshold

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Dalam pemilihan umum, dunia politik mengenal dua sistem konsep atau ketentuan yang diterapkan berdasarkan jumlah suara nasional yang didapat partai politik. Dua ketentuan tersebut yakni Electoral Threshold dan Parliamentary Threshold. Di Indonesia, dua ketentuan tersebut hanya diterapkan pada era Reformasi, karena pada era Orde Baru, sistem Pemilu dan partai sangat monopolistis.

Ketentuan electoral threshold (ET) atau ambang batas minimal perolehan suara partai untuk ikut pemilu berikutnya, di Indonesia dahulu adalah sebesar 3 persen, dan parliamentary threshold (PT) atau ambang batas minimal perolehan kursi partai di DPR RI sebesar 2,5 persen. Dasar hukum penerapan PT tersebut adalah Pasal 202 Ayat 1 Undang-Undang No 10 Tahun 2008.

ET digunakan pada Pemilu 1999 dan 2004, namun tidak digunakan lagi pada Pemilu 2009. Pada awalnya, ET dimaksudkan untuk merampingkan jumlah partai yang ikut serta dalam Pemilu agar tercipta efektivitas dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, kenyataannya kontradiktif, karena selain menggunakan ET, Indonesia juga menerapkan sistem multi-partai. Menurut Scott Mainwaring (1993), kebanyakan negara yang memadukan sistem presidensial dengan sistem multi-partai sangat sulit menciptakan sistem demokrasi yang stabil. Untuk mengatasi kesulitan dalam memadukan kedua sistem itu, menurut Mainwaring ada dua kemungkinan jawaban. Pertama, mengubah sistem presidensial menjadi sistem semipresidensial atau parlementer. Kedua, mengurangi fragmentasi sistem kepartaian.

Pemerintahan RI memilih opsi kedua. Bukti usahanya ada pada Pemilu 2004 dan 2009. Berdasarkan hasil Pemilu 1999, dari 48 partai, hanya 6 partai yang memenuhi ketentuan ET (saat itu 2%), namun pada Pemilu 2004, ada 24 partai yang mengikuti Pemilu. Selanjutnya berdasarkan hasil Pemilu 2004, hanya 7 partai yang memenuhi ketentuan ET 3% untuk maju ke Pemilu 2009. Tapi yang ada, pada Pemilu 2009, terdapat 38 partai yang ikut serta dalam Pemilu.

Hal di atas menjadi mungkin karena terdapat aturan, pertama, bergabung dengan partai politik yang lolos electoral threshold. Kedua, bergabung dengan sesama partai politik yang tidak lolos electoral threshold sehingga mencapai ambang batas suara 3 persen dan memilih nama salah satu partai politik itu. Ketiga, mendirikan partai politik baru dengan nama dan lambang yang baru. Sistem ET dianggap tidak tegas, sehingga dihapuskan dan digantikan dengan sistem PT.

Pada Pemilu 2009, baru digunakan sistem PT dengan maksud untuk menyederhanakan komposisi partai di parlemen. Dari hasil Pemilu 2009, ada 9 partai yang duduk di DPR RI. Tetapi, komposisi tersebut oleh beberapa pihak masih dianggap kurang sederhana. Mereka mengajukan pendapat untuk meningkatkan batas ketentuan PT menjadi 5%. Menurut Akbar Tandjung (Golkar), kalau asasnya ingin adanya penyederhanaan partai, representasi, dan efisiensi dalam mengelola parlemen, lebih bagus memang kalau PT dinaikkan. Kemudian Anis Matta (PKS) menekankan bahwa tetap banyak ruang tersedia bagi pendirian partai baru untuk merebut suara mengambang yang jumlahnya masih banyak sehingga bisa masuk ke parlemen.

Kebalikannya, wacana di atas ditolak oleh 6 partai dari 9 partai yang ada di parlemen. Pramono Anung (PDIP) berpendapat bahwa semangat penyederhanaan penting, tapi lima persen terlalu tinggi. Hal tersebut dianggap sebagai bentuk kesewenang-wenangan dalam demokrasi. M Romahurmuziy (PPP) berpendapat pula bahwa kenaikan tersebut semakin memperbanyak suara “hangus” sia-sia dan terkesan sebagai tindakan antidemokrasi yang mengurangi legitimasi keterwakilan DPR. Sementara itu, Ahmad Muzani (Gerindra) menuding, usulan kenaikan PT dari 2,5% menjadi 5% adalah akal-akalan pemberangusan aspirasi rakyat. Dengan hasil Pemilu 2009 dan PT 2,5% saja, dari 104 juta suara sah, 18 juta suara sah telah hilang. Wiranto (Hanura) menganggap wacana kenaikan PT menjadi dua kali lipat dibanding sebelumnya, sangat berlebihan dan tidak rasional. Seharusnya kenaikan dilakukan bertahap.

Selanjutnya, Burhanuddin Muhtadi (peneliti LSI) memiliki pendapat bahwa  PT yang tinggi dapat menciptakan efektivitas kerja pemerintah, melalui mekanisme alami penyederhanaan jumlah partai. Jumlah partai yang terlalu banyak, memungkinkan lebih sering terjadinya “kong-kalikong” antara partai kecil dan partai besar. Apabila banyak partai yang `dikawinpaksakan` akan membuat pemerintah menjadi tidak efektif dan berjalan tidak semestinya. Dengan penyederhanaan partai, koalisi yang terbentuk tidak lagi menjadi parsial melainkan permanen dan kelompok antara partai yang berkoalisi maupun yang oposisi akan lebih mudah terlihat. Di lain pihak, angka PT yang tinggi akan membuat masyarakat pemilih mengetahui mana partai politik yang memang memiliki modal dana dan sumber daya manusia berupa jaringan kepengurusan di berbagai tingkatan.

Implementasi ketat ini tidaklah ditujukan untuk membatasi hak politik warga negara, tetapi lebih dimaksudkan untuk menghindari modus “ganti baju” partai politik seperti yang terjadi pada Pemilu 1999 dan 2004. PT merupakan jembatan emas bagi terciptanya sistem multi-partai sederhana, yang merupakan condition sine qua non bagi penguatan fondasi pemerintahan presidensial.

Sebagai tambahan, perlu dijelaskan sistem pemilihan Presiden dalam Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 dan UUD 1945 amandemen pasal 6A ayat (3). Sistem pemilu presiden dan wakil presiden 2009 sama dengan sistem pemilu yang dipakai dalam pemilu 2004 sebab landasan konstitusionalnya tetap. Sistem yang dipakai adalah sistem pemilu dua putaran (two round system) dikombinasikan dengan distribusi geografis suara. Ide dasar dari model pemilihan ini adalah untuk menghindari terpilihnya sepasang kandidat dengan proporsi perolehan suara yang sangat minimal dibandingkan dengan jumlah pemilih secara keseluruhan. Atas dasar pertimbangan ini, sistem dua putaran di atas, pada dasarnya merevisi sistem first past the post, yaitu suatu sistem pemilihan sepasang kandidat yang paling sederhana di mana kursi kepresidenan dan wakilnya diberikan pada kandidat yang paling banyak memperoleh suara. Terlepas dari apakah perolehan suara pemenang itu tidak memadai dibandingkan dengan keseluruhan jumlah voters turn out-nya.

DAFTAR PUSTAKA
22 November 2010.

Konsep-Konsep Dasar Ilmu Politik

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Teori Politik: Merupakan bahasan dan renungan atas;
a) tujuan dari kegiatan politik,
b) cara-cara mencapai tujuan itu,
c) kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, 
d) kewajiban (obligations) yang diakibatkan oleh tujuan politik itu.

Thomas P. Jenkin dalam The Study of Political Theory menyebutkan teori politik sebagai teori yang mempunyai dasar moral atau bersifat akhlak dan yang menentukan norma untuk perilaku politik (norms for political behavior).

A.1 Filsafat politik: Mencari penjelasan berdasar rasio, melihat adanya hubungan antara sifat hakikat alam dengan sikap hakikat kehidupan politik nyata. Berpokok pikiran persoalan menyangkut alam harus dipecahkan dahulu sebelum persoalan politik sehari-hari dapat ditanggulangi.
A.2 Teori politik sistematis: Mendasarkan diri atas pandangan yang sudah lazim diterima pada masa itu. Hanya mencoba untuk merealisasikan norma dalam program politik.
A.3 Ideologi politik: Himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, keyakinan, suatu Weltanschauung, yang dimiliki seorang/sekelompok atas dasar menentukan sikap dan perilaku politik.

B. Teori yang menggambarkan dan membahas fenomena dan fakta politik dengan tidak mempersoalkan norma atau nilai (non-valutional/value free). Biasanya bersifat deskriptif dan komparatif.

Masyarakat: Robert M. Mclver menjelaskan “masyarakat adalah suatu sistem hubungan-hubungan yang ditata”.Manusia mempunyai naluri (instinct) untuk bekerjasama demi mencapai sebuah nilai (value), dan juga naluri untuk bersaing.

Harold Laswell merinci delapan nilai yang diinginkan manusia
a) Kekuasaan (power)
b) Kekayaan (wealth),
c) Penghormatan (respect),
d) Kesehatan (well-being),
e) Kejujuran (rectitude),
f) Keterampilan (skill),
g) Pendidikan/Penerangan (enlightenment),
h) Kasih saying (affection).

Negara: Roger H. Soltau (An Introduction to Politics, hlm.1) – “The state is an agency or authority managing or controlling these (common) affairs on behalf of and in the name of community”.

Harold J. Laski (The State in Theory and Practice, hlm.8-9) – “The state is a society ehich is integrated by possesing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society. A society is a group of human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants. Such a society state when the way of live to which both individuals and associations must conform is defined by a coercive binding upon them all”.

Max Weber – “The state is a human society that (succesfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory”.

Robert M. Mclver (The Modern State, hlm.22) – “The state is an association which, acting through laws as pormulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the universal external conditions of social order”.

Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (control) monopolistis terhadap kekuasaan yang sah.

Dua tugas negara menurut Miriam Budiardjo:
A) Mengendalikan dan mengatur gejala kekuasaan yang asosial.
B) Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan ke arah tercapainya tujuan dari masyarakat seluruhnya.

Tiga sifat negara menurut Miriam Budiardjo:
A) Sifat memaksa. Negara mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal demi ketertiban melalui peraturan perundang-undangan.
B) Sifat monopoli. Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat.
C) Sifat mencakup semua (all-encompassing, all-embracing). Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.

Unsur negara: Wilayah - Negara menduduki tempat tertentu di mukai bumi dengan perbatasan-perbatasan dan berkuasa atas tanah, laut, dan angkasa. Penduduk - Ernest Renan : “Pemersatu bangsa bukanlah kesamaan bahasa atau suku bangsa, akan tetapi tercapainya hasil gemilang di masa lampau dan keingian untuk mencapainya lagi di masa depan”. Pemerintah - Bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan negara, biasanya terbagi menjadi tiga (eksekutif, legislatif, yudikatif). Kedaulatan - kekuasaan tertinggi untuk membuat undang-undang dan melakukannya dengan berbagai cara. Terbagi dua (internal sovereignty dan external sovereignty).

Tujuan dan Fungsi Negara: Tujuan terakhir negara, menciptakan kebahagiaan rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth). Roger H. Soltau – “The freest possible development and creative self-expression of its members” (An Introduction to Politics, hlm. 253). Harold J. Laski – “Creation of those conditions under which the members of the state may attain the maximum satisfaction of their desires” (The State in Theory and Practice, hlm. 12).

Minimum fungsi negara yang mutlak:
1. Melaksanakan penertiban (law and order)
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
3. Pertahanan
4. Menegakkan keadilan.
Charles M. Merriam – Keamanan ekstern, keamanan intern, keadilan, kesejahteraan umum, kebebasan.

Konsep Sistem Politik: Sistem politik seperti organisme yang terdiri dari bagian-bagian  yang saling bergantung dan berinteraksi. Setiap perubahan satu bagian mempengaruhi bagian lain dan sistem bekerja dalam lingkungan. Konsep sistem politik dipakai untuk analisa, di mana sistem bersifat abstrak dan terdiri dari beberapa variabel dan dapat diterapkan pada situasi konkret (negara, kota, dll). Mendasarkan studi tentang gejala politik berkonteks tingkah laku masyarakat. Konsep ini memiliki istilah proses, yaitu pola buatan manusia mengatur hubungan sesama (yang jelas dan kurang jelas), lalu istilah structure of behavior, mencakup lembaga formal, dan fungsi policy decisions (bernilai materiil dan non-materiil). Sistem politik adalah open system, terbuka terhadap pengaruh lain. Berproses input yang diolah (conversion) menjadi output (keputusan/kebijaksanaan), mendapat feed-back, lalu output kembali menjadi input.

Salah satu aspek penting adalah political culture (keseluruhan pandangan, norma, orientasi, kepercayaan, simbol) yang mencerminkan faktor subyektif.

Empat variabel sistem politik:
1. Kekuasaan
2. Kepentingan
3. Kebijaksanaan
4. Budaya Politik.

Konsep Kekuasaan: W. Connoly (1983) dan S. Lukes (1974) menganggap kekuasaan sebagai suatu konsep yang dipertentangkan, tidak dapat dicapai konsensus. Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini (Max Weber, Wirtschaft und Gesselshaft dalam Tubingen, Mohr, 1922). Definisi serupa oleh Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, serta Barbara Goodwin (2003). Isyarat kekuasaan yang jelas (manifest power) dan yang tidak ada (implicit power, oleh Carl Friedrich disebut the rule of anticipated reactions). Esensi kekuasaan mengadakan sanksi: Force, Coercion, Persuasion, dan Reward.

Sumber Kekuasaan: Kedudukan, kekayaan, dan kepercayaan. Membedakan scope of power (kegiatan, perilaku, sikap, dan keputusan sebagai obyek kekuasaan) dan domain of power (menunjuk pada pelaku atau kolektivitas yang kena kekuasaan) (Jack H. Nagel, The Descriptive Analysis of Power, hlm.14). Dalam hubungan kekuasaan (power relationship), selalu ada hubungan asimetris yang menimbulkan ketergantungan (dependency). Sosiolog Talcott Parsons cenderung melihat kekuasaan sebagai senjata ampuh mencapai tujuan kolektif dengan membuat keputusan mengikat serta sanksi negatif.

Wewenang (Authority) dan Keabsahan (Legitimacy): Robert Bierstedt dalam Analysis of Social Power – Wewenang (authority) adalah kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power). Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan dalam Power and Society – Wewenang adalah kekuasaan formal. Max Weber (1864-1922) ada tiga macam wewenang: tradisional, kharismatik, dan rasional-legal. David Easton (A System Analysis of Political Life, hlm.273) – Keabsahan adalah keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah wajar baginya untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntuta dari rezim itu. A.M. Lipset (Political Man: The Social Bases of Politics, hlm.29) – Legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu.

Pengaruh: Floyd Hunter (Community Power Structure, hlm.164) – “Kekuasaan merupakan pengertian pokok, dan pengaruh bentuk khususnya”. Sependapat dengan Carl Friedrich dalam An Introduction to Political Theory. Berbeda pula dengan Laswell dan Kaplan yang menganggap pengaruh sebagai konsep pokok dan kekuasaan sebagai konsep khusus. Uwe Becker – “Pengaruh adalah kemampuan yang terus berkembang yang-berbeda dengan kekuasaan-tidak begitu terkait dengan usaha memperjuangkan dan memaksakan kepentingan”. Norman Barry (An Introduction to Modern Theory, hlm.99) – “Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang, jika seorang yang dipengaruhi agar tidak bertindak dengan cara tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang mendorongnya”. Robert Dahl (The Concept of Power, 1957) – “A mempunyai kekuasaan atas B sejauh ia dapat menyebabkan B untuk berbuat sesuatu yang sebenarnya tidak akan B lakukan”. Di buku selanjutnya, Modern Political Analysis (1963), dengan perumusan sama persis, mengganti istilah “kekuasaan” dengan “pengaruh”. Pengaruh bukan satu-satunya faktor penentu perilaku, dan tidak seefektif kekuasaan. Namun mengandung unsur psikologis yang sering berhasil.

PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM ILMU POLITIK

Pengantar: Mengamati kegiatan politik dilakukan dengan berbagai cara, tergantung perspektif dan kerangka acuannya.Vernon van Dyke (Political Science: A Philosophical Analysis, hlm.114) - ”Suatu pendekatan (approach) adalah kriteria untuk menyeleksi masalah dan data yang relevan”.

Pendekatan Legal/Institutional/Tradisional: Negara menjadi fokus pokok, terutama konstitusional dan yuridisnya. Membahas kekuasaan dan wewenang, serta sering normatif mengasumsikan norma demokrasi Barat. Namun kurang memberi peluang terbentuknya teori baru. Contoh karya: R. Kranenburg, Algemene Staatsleer.

Pendekatan Perilaku (Behavioral Approach/Structural-Functional): Mempelajari perilaku manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati. David Easton (1962) dan Albert Somit (1967): 1) Perilaku politik menampilkan regularities, dirumuskan, kemudian diverifikasi dengan analisis.
2) Membedakan norma (sesuai dengan ideal/standart tertentu) dan fakta (sesuatu yang dapat dibuktikan berdasarkan pengamatan dan pengalaman) secara jelas.
3) Analisis politik harus value-free, karena nilai tidak dapat diukur secara ilmiah.
4) Sistematis dan theory building.
5) Pure science.
Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan negara sebagai suatu suatu sistem politik menjadi subsistem dari sistem sosial. Semua sistem mempunyai struktur, dan unsur dari struktur menyelenggarakan fungsi.

Pendekatan Pasca-Perilaku: David Easton (The New Revolution in Political Science, 1969):
1) Dengan pendekatan perilaku, ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan. Menangani masalah sosial lebih mendesak daripada kecermatan penelitian.
2) Pendekatan perilaku konservatif, menekankan keseimbangan dan stabilitas tanpa memerhatikan gejala perubahan.
3) Dalam penelitian, nilai tidak boleh dihilangkan.
4) Peneliti harus aktif mengubah masyarakat dan action-oriented.

Pendekatan Neo-Marxis: Bertell Ollman dan Edward Vernoff (The Left Academy, hlm.7) - “Sarjana Neo-Marxis adalah mereka yang meyakini sebagian pandangan Marx mengenai kapitalis dan sejarah, dan memakai metode analisisnya”. Menolak komunisme dari Uni-Soviet karena represif, tapi juga tidak setuju dengan aspek kapitalis, serta kecewa dengan kalangan sosial-demokrat. Yang sangat menarik, ramalan tentang keruntuhan kapitalisme dan etika humanis bahwa manusia pada hakikatnya baik. Kelemahannya, mempelajari Marxis dalam dunia yang banyak berubah serta karangannya fragmentaris. Membahas masalah sosial dari perspektif analisis holistik (hubungan erat politik-ekonomi) dan dialektika (konflik antarkelas). Ada juga Marxisme Eksistensialis yang banyak memakai analisis interdisipliner. Tapi banyak dikritik oleh Neo-Marxis mainstream. Sekurang-kurangnya menimbulkan kepekaan terhadap hal di bawah permukaan.

Teori Ketergantungan (Dependency Theory): Mengkhususkan penelitian pada hubungan negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga. Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperialisme, bahwa imperialisme masih hidup namun berubah menjadi dominasi ekonomi. Negara berkembang menyediakan sumber daya manusia dan alam serta menjadi pasar.

Pendekatan Pilihan Rasional (Rational/Public/Collective Choice): Optimilisasi kepentingan dan efisiensi merupakan intinya. James B. Rule (terjemahan dipersingkat) –
1) Tindakan manusia adalah instrumen, usaha mencapai tujuan tersusun hierarkis yang mencerminkan preferensi mengenai keinginan dan relatif stabil.
2) Aktor merumuskan perilaku melalui perhitungan rasional yang ditentukan informasi relevansi.
3) Proses sosial skala besar merupakan hasil kalkulasi tersebut.
Banyak dikritik karena dianggap tidak memerhatikan kenyataan bahwa manusia sering tidak rasional, serta cenderung mengabaikan kesejahteraan dan kepentingan umum (individualistik dan materialistik). Namun berjasa pada usaha kuantifikasi ilmu politik, studi empiris yang terbukti, ketimbang abstrak dan spekulatif.

Pendekatan Institutionalisme Baru: Melihat institusi negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah tujuan tertentu. Jan-Erik Lane dan Svante Ersson (Comparative Politics: An Introduction and New Approach, hlm.116) – Institusi mencakup;
1) Struktur fisik,
2) Struktur demografis,
3) Perkembangan historis,
4) Jaringan pribadi,
5) Struktur sementara.

Robert E. Goodin (lbid., hlm.196) –
1) Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang dibatasi secara kolektif.
2) Pembatasan terdiri dari pola norma dan pola peran serta perilaku dari pemegang peran.
3) Pembatasan ini juga memberi keuntungan bagi individu maupun kelompok untuk mengejar proyek masing-masing.
4) Faktor pembatas juga memengaruhi pembentukan preferensi dan motivasi.
5) Mempunyai akar historis peninggalan tindakan lalu.
6) Mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta kekuatan berbeda. Cara mengubah institusi menjadi lebih demokratis dengan proses institutional engineering (rekayasa institusional) melalui institutional design. Lebih tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fiskal-moneter, pasar, serta global ketimbang masalah konstitusi yuridis.

Kesimpulan: Pendekatan di atas merupakan akumulasi pengetahuan. Perdebatan intelektual telah memperkaya khazanah analisis, mempertajam alat analisis, dan memperluas cakrawala. Dewasa ini terbentuk kesadaran setiap pendekatan hanya menyikap sebagian tabir kehidupan politik dan tidak ada pendekatan yang mandiri mampu menjelaskan semua gejala politik. Tumbuh visi pluralis mengenai metode dan pendekatan yang saling melengkapi untuk meningkatkan kredibilitas ilmu politik.

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Pendekatan-Pendekatan dalam Ilmu Politik

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

PAHAM KELEMBAGAAN
— Unsur-Unsur Analisa Kelembagaan
Orientasi kelembagaan berusaha mewujudkan pemecahan universal dengan menerjemahkan cita-cita libertarian ke dalam pemerintahan perwakilan. Tiada satupun teori atau konsep yang pasti atau permanen, begitu pula tiada satupun pemecahan yang tuntas. Di kala kebutuhan, kewajiban, dan hak kita berubah, tanggung jawab negara kepada warganegaranya juga berubah. Ide-ide pemecahan politik diperbarui lagi dan lembaga-lembagaa dimodifikasi. Jadi paham kelembagaan menaruh perhatian pada bagaimana cita-cita politik yang berkembang dalam sejarah politik Barat dijelmakan dalam hubungan-hubungan khusus antara penguasa dan rakyat. Lembaga politik yang paling banyak diketahui adalah badan-badan pemerintah. Ada badan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan juga partai politik. Lalu ada dua bentuk pemerintahan perwakilan utama yaitu presidensiil dan parlementer, yang di sini diuraikan dalam sistem terbuka.

Ide-Ide Generatif Kelembagaan
Dalam demokrasi, pemakaian kekuasaan harus sesuai dengan patokan-patokan kewajaran dan keadilan yang tercemin dalam hukum. Masalah utama pendekatan ini adalah ketertiban dan kedaulatan. Ada dua cara membentuk lembaga yang tepat, yaitu evolusi dan revolusi. Lalu dibahas tentang kebijaksanaan publik dan konstitusi.

Lembaga-Lembaga Pemerintahan
Kutipan John Stuart Mill mengenai kekuasaan dan pemerintah. Asas pertama agar konstitusi berjalan adalah persaingan, kedua adalah pengawasan dan penyeimbangan. Cara kerjanya yakni pemisahan kekuasaan dan pengawasan parlemen terhadap eksekutif.

Badan-Badan Pemerintahan
Negara Federal adalah negara yang membagi wewenang ke antara negara bagian. Negara Kesatuan adalah negara dengan wewenang terpusat. Selanjutnya dalam pemerintahan demokratis, seluruh proses pembuatan undang-undang membutuhkan perundingan terus menerus, di antara badan legislatif, serta antara badan legislatif, eksekutif , dan yudikatif. Tiap badan dijelaskan terperinci.

Akar-Akar Pemerintahan 
Partai politik merupakan mata rantai yang menghubungkan publik dan pemerintah, lalu melakukan daya saing, tawar menawar, dan negosiasi. Ada Partai pemecah, partai sel, kemudian partai demokratis yang bersifat majemuk, dan partai totaliter yang monopolistis. Lalu dijelaskan kelompok dan kelompok penekan. Dibahas arti lobby, penjelasan mengenai pegawai sipil, dan sistem-sistem pemilihan (istilah first-past-the-post, weighted voting, gerrymandering, perwakilan proporsional, sistem Hare, dan list system, serta d’Hondt rule, juga greatest remainder system).

Model-Model Kelembagaan
Lembaga secara bersama membentuk pemerintahan perwakilan. Diperlihatkan diagram hubungan tingkat partisipasi dan desentralisasi unit, dengan titik monistis dan pluralistis. Kemudian dijabarkan pembahasan tipologi institusionalis, yakni pengembangan rezim atau sistem-sistem pemerintahan secara terperinci. Ada sistem politik totaliter, otoriter, dan demokratis—presidensiil dan parlementer.

Dilema institusional yang terjadi adalah ciri ganda demokrasi, mencegah masyarakat dari kemandekan dan mempromosikan masyarakat yang seimbang. Unit dan partisipasi terlalu banyak, persetujuan menjadi sulit. Maka muncul pemecahannya, yakni ada kekerasan dan juga promosi kesempatan sehingga meningkatkan kepuasan rakyat. Kekurangan yang penting teori institusional terletak pada penanganannya terhadap masalah pembangunan ini.

— Paham Kelembagaan dan Pemerintahan Demokratis
Tradisi Demokratis
Dibahas model masyarakat dan filosof. Berikutnya model institusionalis yang  memperhitungkan kedaulatan rakyat, kompetisi pemilihan, dan partai politik. Selanjutnya dikutip tulisan Lord Bryce (1920) yang dikaitkan dengan ajaran Machiavelli.

Asas-Asas Konstitusi dan Praktik Politik
Di sini terjadi komparasi antara pemerintahan Inggris dan Amerika. Dijelaskan lebih lanjut tentang model parlementer dan model presidensiil. Dikutip pula beberapa pendapat ahli.

Memelihara Keseimbangan
Ditulis penjabaran pengawasan terhadap eksekutif, perbandingan sistem pemerintahan Inggris dan Amerika mengenai penyeimbangan, dan peranan kabinet.

Fungsi-Fungsi Badan Pembuat Undang-Undang Perwakilan
Disebutkan fungsi-fungsi legislatif. Lalu dijelaskan lebih lanjut tentang parlemen Inggris, yaitu Majelis Rendah dengan single-member constituency, dan juga parlemen Amerika, Serikat House of Representatives, yang lebih lanjut dihubungkan dengan penjelasan komite-komite yang ada (Select Commissions dan Komite ad-hoc).

Aparat Kedaulatan Rakyat
Di sini lebih dalam dijelaskan dari aspek historis tentang situasi keberadaan partai-partai politik dalam pemerintahan di Inggris dan Amerika Serikat serta perbedaan-perbedaannya. Dari situ muncul kelompok kepentingan dan kelompok penekan yang kembali dijelaskan, beserta pegawai sipil. Sekali lagi, sistem pemilihan menjadi sorotan penting dalam bab ini.

Kekuatan dan Kelemahan Paradigma Institusional
Tradisi Institusionalis adalah tradisi reformasi secara terus menerus. Namun kenyataannya, kaum institusionalis mengandaikan bahwa penanganan urusan pemerintah yang lambat pada akhirnya merupakan cara terbaik untuk mempertimbangkan sebanyak mungkin pandangan. Kaum ini cenderung menerima begitu saja banyaknya hal yang diurus pemerintah.

Masalah-masalah pembaruan institusional, radikalisme, dan ancaman-ancaman terhadap stabilitas lembaga-lembaga demokratis tidak pernah dikemukakan secara serius di Inggris maupun Amerika Serikat. Tetapi tidak satupun orang tahu sampai kapan lembaga-lembaga yang telah mengabdi dengan cukup baik sampai saat ini akan tetap sama dalam menghadapi tugas-tugas di masa mendatang.

Koneksi Perancis
Muncul kritik mengenai Perancis yang pemerintahannya dianggap tidak efektif dan terpecah belah. Revolusi yang terjadi tidak banyak menimbulkan perubahan berarti serta dengan hasil mengecewakan. Perancis adalah contoh asli demokrasi parlementer (Chamber of Deputies) yang tidak stabil. Tidak ada konsensus rakyat. Masyarakat mandek seharusnya diubah. Lalu dibanding-bandingkanlah dengan sistem parlemen Inggris. Namun perkembangannya, pembagian lama yang bertahan lambat laun mencair dengan bentuk baru yang lebih kompleks.

Lembaga-Lembaga Totaliter Lawan Lembaga-Lembaga Demokratis
Dibahas lebih dalam tentang libertarian dan perkembangan demokrasi pasca Perang Dunia I yang semakin kecil. Makna lembaga tidak dikembalikan tuntas, namun divariasikan. Tiap paham menonjolkan dirinya. Kaum institusionalis menaruh perhatian pada pembaruan sebagai sarana untuk menyempurnakan demokrasi.

BEHAVIORALISME
— Pendapat Umum dan Tingkahlaku Politik
Kaum institusionalis mengetahui bahwa, meskipun sistem pemilihan penting, namun bentuk institusi-institusi tidak dengan sendirinya menentukan jalannya suatu sistem. Behavioralisme memalingkan perhatian mereka dari sistem-sistem politik untuk mengamati tindakan politik individual. Perhatian utamanya pada hubungan antara pengetahuan politik dan tindakan politik. Pendekatan behavioral memperhitungkan faktor-faktor sosialisasi, cara internalisasi nilai, dan perubahan pandangan.

Akar Intelektual Paham Tingkahlaku
Filsafat pragmatis William James (1842-1910) menekankan empirisme, voluntarisme, tindakan individual, serta hubungan kesadaran dan tujuan. John Dewey (1859-1952) membangun filsafat praktis pada observasi pengalaman. Istilah behavioralisme oleh John B. Watson (1878-1958), proses belajar sebagai hasil pengamatan hubungan dorongan dan tanggapan. Behavioralis lebih condong kepada filsafat ilmu. Pandangan behavioral tidak historis dan non-evolusioner.

Institusionalis mewariskan kekosongan filosofis, memperhatikan sarana ketimbang tujuan. Behavioralisme menelaaah masalah ‘mengapa’ dari politik dengan menelaah tindakan individual. Mendukung paradigma ilmu eksakta dengan doktrin positivisme. Saint-Simon menekankan metode ilmiah. Dan sebagian lagi terkait eksperimentalisme dan filsafat ilmu yang berusaha menyatukan prinsip ilmu tingkahlaku manusia dan menghubungkan politik dengan teori sistem.

Tingkahlaku Sebagai Aksi Lawan Metafisika
Deduksi behavioral hasil generalisasi seksama berdasar observasi metode eksplisit, empiris, induktif, matematis, dan statistik melalui wawancara dan sampling, yang menunjukkan keteraturan tingkahlaku. Behavioralis bekerja dari bawah ke atas.

Mazhab Chicago:
1. Menggeser tekanan perhatian menjauhi ideal dan institusi politik kepada penelaahan sepakterjang individual dan kelompok.
2. Lebih mendukung paradigma ilmu eksakta ketimbang paradigma normatif.
3. Menyukai penjelasan tingkahlaku dari teori proses belajar dan motivasi ketimbang model kekuasaan institusional.
4. Dua garis penyelidikan baru: distribusi sikap, kepercayaan, pendapat, dan preferensi individu; serta model proses belajar masyarakat.

Agregat Demokratis dan Pendapat Umum
Kaum behavioralis memiliki anggapan sama dengan kaum institusionalis bahwa rakyat pada akhirnya merupakan wasit untuk kekuasaan. Dijelaskan pandangan Walter Lippman mengenai tindakan publik, dan Platonis. Pandangan orang pesimis, serta masalah behavioral tentang pendapat umum. Behavioralisme memusatkan perhatian pada masalah faktor kemasyarakatan. Masyarakat yang memperbaiki dirinya sendiri. Diteruskan dengan penjelasan masalah dan pertanyaan lainnya.

Tugas kaum behavioral mendefinisikan kembali hubungan individu dan kelompok pada umumnya, dengan berbagai kelompok pada khususnya. Sejumlah besar pertanyaan politik behavioral berada di antara asumsi Lippman dan Merriam. Bukti empiris untuk jawaban dari ukuran gerakan penduduk, mobilitas sosial, perubahan hubungan kelas, kesempatan kemasyarakatan, perbaikan pendidikan, dan efek semuanya terhadap cara partisipasi baru, komitmen ideologis, serta afiliasi.

Memotivasi Kepentingan Sendiri
Perhatian behavioral karena rasa tidak percaya terhadap pendapat umum. Lowell menamakan pendapat umum sebagai kekuatan penggerak demokrasi. Kemudian ada analogi “permainan politik” Key, kepentingan diri sendiri sebagai penggerak penting politik. Dipaparkan lebih lanjut mengenai ini, dan dalam fungsi politik behavioral Key, manfaat kelompok menentukan kepentingan individu yang kemudian dipromosikan organisasi politik. Selanjutnya dijelaskan tentang model-model proses belajar, aspek-aspek ideologi, serta pendapat umum lawan ideologi dengan panjang lebar.

Sistem-Sistem Keyakinan
Disebutkan kendala-kendala terhadap keyakinan. Lalu penjelasan orientasi-orientasi nilai dalam grafik hubungan ideologi (nilai, kepentingan, pilihan) dengan kooperasi, kompetisi, dan konflik. Lalu dilampirkan tabel beserta penjelasan tentang proporsi sampel dan pemilih ideolog, near-ideologuess, kepentingan kelompok, nature of the times, dan no issue content.

Ideologi Sebagai Tingkah Laku Politik
Komponen ideologi adalah kepentingan, nilai, dan pilihan. Ideologi teoritis lawan ideologi praktis dijelaskan dengan analisa behavioral Putnam, komentar Bell, dan fakta yang digambarkan Robert Lane. Berikutnya terkait dimensi-dimensi kebudayaan politik yang diutarakan Converse serta Almond & Verba yang dijelaskan dengan perbandingannya di berbagai negara. Dilanjutkan kajian Herbert McClosky.

— Model-Model Behavioral dan Tindakan Politik
Kaum behavioralis tidak menolak konsep institusionalis begitu saja. Mereka berusaha meminta perhatian pada metode empiris dan teknik pengumpulan data untuk menentukan kegiatan politik. Kalau model institusionalis menggolongkan negara ke dalam pemerintahan monarki, oligarki, atau demokrasi, model behavioral sama seperti ahli psikologi dan ekonomi, mencerminkan kebutuhan dan prioritas orang-orang. Dengan perspektif itu, tujuan ilmu politik berubah. Dari yang bersifat tradisional terhadap tujuan moral dan idealisme berubah mendadak. Kaum behavioralis menanggapi celaan analis politik filosofis dan institusionalis dengan kilah positivistis. Timbul berbagai perdebatan oleh ilmuwan-ilmuwan. Teori politik behavioral semakin disebarluaskan karena pembaruan kelembagaan tidak berhasil memecahkan masalah tertentu yang dihadapi pemerintahan.

Teori Sistem Umum
Dituliskan penjabaran model kegunaan (utility), model psikologi, pengertian keseimbangan politik, dan pernyataan David Easton mengenai pendekatan sistem umum. Serta paradigmanya oleh James G. Miller, yang kesemuanya dihubungkan dengan input informasi dan ouput energi yang hubungannya bersifat transformasi.

Model Kegunaan Sebagai Sebuah Sistem Politik
Dicantumkan model politik Easton yang disederhanakan dalam hubungan sistem politik dan lingkungan yang diteruskan melalui input dan output. Lalu diperlihatkan pula model kegunaan, pertemuan antara grafik keuntungan potensial dan tuntutan efektif dalam kegunaan dan kebijaksanaan publik beserta contoh-contohnya.

Model-Model Psikologi
Kedua model sebelumnya bersama-sama merupakan faktor obyektif versus faktor subyektif dalam politik behavioral. Teori psikologi mempergunakan variabel independen dan intervening. Kemudian diikutkan pembahasan model stimulus-response (S-R) dalam gambar model agresi proses belajar.

Perbandingan Model-Model
Kedua model dapat digunakan terpisah atau bersama-sama, karena menghampiri masalah dari sudut berlainan. Terdapat kontradiksi menarik antara keduanya, memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendesak, yang kembali pada cara ilmuwan behavioral menghadapinya.

Sosialisasi
Salah satu masalah behavioral terpenting adalah sosialisasi atau proses belajar bermasyarakat. Terdapat pola keseluruhan interpersonal transference. Disebutkan dengan jelas tahapan-tahapan sosialisasi ini. Seterusnya terdapat konsistensi dan pemaparan sosialisasi masa kanak-kanak dan model-model sosialisasi (accumulation model, interpersonal transfer model, identification model, dan cognitive-development model). Terakir dihubungkan tahapan ini dengan tindakan-tindakan.

Sifat Sok Menonjol
Didefinisikan isu-isu terkait hal ini, yang lalu dilampirkan dalam gambar hubungan antara sosialisasi dan orientasi politik dengan sifat sok menonjol ini, juga dengan tingkahlaku menyesuaikan diri. Kemudian dijadikan persamaan oleh Greenstein dalam pembahasan kecenderungan.

Kebudayaan Politik dan Kepribadian Pemberi Wujud
Untuk menjawab pertanyaan yang timbul, riset behavioral diuji berdasar isolasi sifat otoriter dan dengan mengukur kelompok sifat universal atau culture-free yang ukurannya disebut skala-F. Selanjutnya dijelaskan juga tentang kajian orisinal mengenai kepribadian otoriter oleh T.W. Adorno dan doktrin Sigmund  Freud.

Tingkah Laku Menyeluruh dan Kekerasan
Hal terakhir dibahas tentang kerugian relatif, keganjilan kedudukan (status incongruity), serta hipotesa kurva-J yang menggambarkan suatu sindrom atau pola revolusioner (James C. Davies). Bagaimanapun, teori pluralisme modern mengarahkan diri kepada masalah menengahi ekstrem-ekstrem, berusaha menemukan jawaban sebagian terhadap ketegangan yang dibahas ketimbang jawaban menyeluruh.

Daftar Pustaka
Apter, David E.. 1996. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Jumat, 22 Juni 2012

Geopolitik dan Geostrategi untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati Indonesia

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan (Ir. Soekarno). Begitulah sekiranya pandangan sebuah Negara dalam mempertahankan ruang hidup rakyatnya. Sebab itu, ruang hidup atau wilayah Negara haruslah dijaga kedaulatannya sebagai bagian kesatuan Negara. Untuk mempertahankannya, bangsa perlu mempunyai kesatuan cara pandang, yang di Indonesia disebut Wawasan Nusantara, sebagai konsepsi dasar geopolitiknya.

Di dalam ruang hidup rakyat Indonesia, sejak dahulu kala telah hidup beragam makhluk hidup, yaitu tumbuhan dan hewan. Keanekaragaman tersebut adalah sebuah keunikan yang diciptakan dari kondisi geografis Indonesia yang unik pula. Indonesia terletak di antara 2 Benua (Asia dan Australia) dan 2 Samudra (Pasifik dan Hindia), sehingga memungkinkan terjadinya peralihan flora fauna antara kedua tempat pada masa lampau. Indonesia terhampar di sekitar khatulistiwa yang menyebabkan Indonesia beriklim tropis. Selain itu Indonesia dikelilingi perairan (iklim musoon), yang sangat mendukung tumbuh-kembang beragam makhluk hidup karena hujan sepanjang tahun. Indonesia yang merupakan Negara kepulauan jugalah unik. Di tiap pulau, dapat ditemukan keberagaman hayati yang berbeda-beda karena terjadi isolasi antar-pulau, adaptasi, dan evolusi yang berlangsung sejak lama dan murni. Kemudian posisi Indonesia juga terletak dalam pertemuan antara 2 sirkum pegunungan berapi dunia (Sirkum Mediterannean dan Sirkum Pasifik), yang secara tidak langsung menyebabkan tanah Indonesia menjadi subur. Sudah sepantasnya keberadaan keberagaman hayati ini dimanfaatkan sebagai sumber daya serta dilestarikan sebagai warisan.

Oleh karena pentingnya keberadaan makhluk hidup yang beragam tersebut demi pemenuhan kebutuhan nasional dan pengusahaan kesejahteraan rakyat, dibutuhkan implementasi Wawasan Nusantara yang utuh dalam menjaga keanekaragaman hayati. Nilai-nilai Wawasan Nusantara tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai tujuan dan cita-cita bangsa, dan juga Pancasila sebagai ideologi. Nilai-nilai tersebutlah yang perlu dicapai. Sedangkan untuk mencapai sebuah tujuan, dibutuhkan cara dalam implementasi ide, yaitu strategi. Maka dalam geopolitik dikenal pula geostrategi sebagai pelaksanaan geopolitik dalam Negara (Poernama, 1972).

Geostrategi bangsa dan Negara Indonesia adalah Ketahanan Nasional. Ketahanan ini terdiri dari aspek sosial, budaya, moral, ekonomi, dan militer. Maka dari itu, para pemimpin dan cendekiawan bangsa harus bisa menetapkan dan melaksanakan strategi kewilayahan secara tepat dan berkomitmen. Mengapa geostrategi menjadi sangat penting? Karena kita memiliki wilayah strategis dan kaya yang idealnya mampu memberikan kesejahteraan nasional. Wilayah itulah yang patut dipertahankan dengan strategi sesuai keadaan dan tantangan.

Namun, tidak hanya bangsa Indonesia sendiri yang merasa butuh untuk memanfaatkan kekayaan tersebut. Oleh Mahan, terdapat faktor situasi geografi, yaitu topografi yang dikaitkan dengan ada tidaknya akses ke laut serta kekayaan alam dan zona iklim, yaitu faktor yang mengkaitkan kemampuan industri dengan kemandirian penyediaan pangan, yang membuat betapa menggiurkannya Indonesia bagi Negara lain demi pemenuhan kebutuhan mereka. Menurut Kusumaatmaja, 2003:25, ada empat macam Negara yang berkepentingan atas wilayah kita, yaitu 1. Negara tetangga (ASEAN dan Australia), 2. Negara perikanan (Jepang), 3. Negara perkapalan (Inggris), dan 4. Negara adidaya militer (AS).

Tanpa bangsa asing pun, warga Negara Indonesia sendiri telah melakukan eksploitasi besar-besaran atas kekayaan dan keanekaragaman hayatinya. Sedangkan kenyataanya, banyak Negara asing yang juga mengeruk untung dari kekayaan di dalam wilayah Indonesia, baik secara legal (diberi izin pemerintah) maupun illegal. Eksploitasi gila-gilaan inilah yang merusak banyak habitat makhluk hidup. Yang selanjutnya secara langsung membunuh dan secara tidak langsung menghilangkan rumah makhluk-makhluk itu. Jika terus menerus terjadi, semakin banyak makhluk hidup yang mati, dan berikutnya punah. Apakah kepunahan harta (keanekaragaman hayati) ini yang ingin digapai geopolitik dan geostrategi Indonesia?

DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun Buku Ajar III MPKT 2010. 2010. Buku Ajar III, Bangsa, Budaya, dan Lingkungan Hidup di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Peran Pendidikan Politik dalam Mencegah Praktik Politik Dinasti

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Politik dinasti adalah upaya untuk mengekalkan kekuasaan para penguasa melalui kaderisasi saudara-saudara maupun kerabat-kerabatnya. Hal tersebut menjadi fenomena nyata dalam kehidupan politik di Indonesia sekarang, baik di tingkat daerah maupun nasional. Secara hukum maupun prinsip demokrasi, hal tersebut tidak disalahkan, karena semua warga negara memiliki hak sepadan untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin politik, termasuk saudara/kerabat dari penguasa sebelumnya. Akan menjadi hal yang baik apabila calon tersebut adalah benar-benar orang yang kompeten. Namun sebaliknya akan menjadi masalah apabila calon tersebut hanya mendompleng nama kerabat penguasanya untuk mencalonkan diri, tanpa kemampuan yang mumpuni.

Dampak negatif lainnya tentang politik dinasti adalah akan mengurangi kesempatan warga lainnya yang ‘mungkin’ lebih pantas untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan politik. Apabila terjadi, dapat dipastikan kolusi dan nepotisme makin tumbuh subur dalam politik dinasti demikian.

Tidak ada hukum yang menyalahkan politik dinasti. Demokrasi selalu menyerahkan pilihan kepada rakyat. Mau pemimpin yang berdinasti atau tidak, semua tergantung rakyat. Oleh karena itu, agar dapat terpilih pemimpin yang baik, seharusnya seluruh rakyat Indonesia memiliki kecerdasan politik. Kecerdasan ini sangat tergantung pada pendidikan politik yang ada.

Definisi pendidikan politik mengandung tiga syarat penting, yakni: Pertama, adanya perbuatan memberi latihan, ajaran, serta bimbingan untuk mengembangkan kapasitas dan potensi diri manusia. Kedua, perbuatan di maksud harus melalui proses dialogik yang dilakukan dengan suka rela antara pemberi dan penerima pesan secara rutin. Ketiga, perbuatan tersebut ditujukan untuk para penerima pesan dapat memiliki kesadaran berdemokrasi dalam kehidupan bernegara.

Seluruh komponen bangsa perlu melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat hingga ke pelosok daerah dalam rangka menjaring calon pemimpin nasional (Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, Jakarta, 28/11/08). Pernyataan di atas memang benar. Pendidikan dapat dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja, asalkan tepat untuk menciptakan kecerdasan. Pendidikan politik juga selayaknya disampaikan melalui LSM, pemuka agama, tokoh masyarakat, serta pemimipin informal agar lebih efisien dan efektif.

Namun kenyataan yang ada, pendidikan politik Indonesia masih belum sampai pada pelaksanaan dan implementasi yang ideal. Pihak pertama pendidik politik, partai politik, oleh Antonio Gramsci dikategorikan sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil (Roger Simon, 1999), diharapkan dapat melaksanakan fungsinya sebagai Instrumen Of Political Education dengan baik dan benar, sesuai amanat yang tertuang dalam pasal 11 huruf A UU No. 2 Tahun 2008, tentang Partai Politik. Akan tetapi, pendidikan politik yang dilakukan parpol sangat berbau kepentingan golongan belaka. Inilah yang membuat rakyat tidak menyadari prinsip demokrasi yang menyeluruh.

Pihak utama pendidik politik lainnya, menurut Ketua DPP PPP Lukman Hakim Syaefuddin mengatakan bahwa pemerintah menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan tugas pendidikan politik secara makro karena memiliki dukungan finansial dan infrastruktur yang akan membuat pelaksanaannya lebih efektif. Pendapat tersebut disampaikan di Jakarta (8/9/10). Tapi hal yang sama terjadi, pelaksanaan oleh pemerintah belum konkret. Dibutuhkan komitmen tinggi para petinggi pemerintahan untuk melakukannya.

Selanjutnya, pendidikan politik oleh lembaga pendidikan. Indonesia membutuhkan lembaga independen seperti perguruan tinggi untuk memberikan pendidikan politik pada masyarakat setelah partai politik saat ini gagal menjalankan fungsi tersebut. Namun kondisinya perguruan tinggi dan sekolah saat ini justru mematikan wawasan politik dengan hanya memfokuskan diri hanya kepada pendidikan kognitif. Dampaknya tingkat kedewasaan demokrasi warga dan masyarakat politik di Indonesia tidak terjadi (Yudi Latif, Bandung, 18/11/10).

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai salah satu pendidik politik di Indonesia ternyata berperan lebih besar dalam mencerdaskan kesadaran politik masyarakat ketimbang parpol. Sudah banyak berdiri LSM yang berorientasi pada pengawasan kinerja pemerintahan dan pemilihan umum, yang paling tidak sudah dapat menjelaskan definisi demokrasi kepada masyarakat.

Lalu ada sebuah artikel dari internet berjudul "Iwan Fals vs Oom Pasikom, Media Pendidikan Politik Alternatif". Judul tersebut sangat menggelitik. Masyarakat sepertinya sudah mual dengan situasi politik yang ada, sehingga berupaya mengembangkan media alternatif untuk mengajarkan masyarakat luas mengenai politik ideal. Lagu-lagu Iwan Fals dan cerita komik Oom Pasikom mampu tampil menarik dan tajam dalam mengkritisi keadaan yang ada. Dan terbukti, cara mereka lebih efektif daripada cara-cara parpol dan pemerintah untuk mencerdaskan kesadaran politik bangsa.

Politik dinasti memiliki banyak dampak negatif bagi keberlangsungan politik Indonesia. Namun sistem yang ada tidak melarang hal tersebut. Demokrasi sebagai sistem yang ada, menyerahkan pilihannya kepada rakyat. Rakyat yang cerdas pastinya mampu memilih pemimpin yang berkualitas. Pencerdasan ini sudah dirintis oleh berbagai pihak untuk memperbaiki keadaan yang ada. Alangkah baiknya jika kita turut serta dalam upaya pendidikan politik, dan tetap optimis untuk politik Indonesia yang madani.

DAFTAR PUSTAKA

Geopolitik dan Geostrategi Indonesia dalam Wawasan Nusantara

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Pandangan geo-politik Indonesia berlandaskan pada pemikiran kewilayahan dan kehidupan bangsa Indonesia, dengan unsur rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan. Hal tersebut biasa disebut sebagai  Wawasan Nusantara yang mempunyai latar belakang, kedudukan, fungsi, dan tujuan filosofis sebagai dasar pengembangan wawasan nasional Indonesia dalam kesatuan politik, ekonomi, sosial, dan hankam yang sangat mendasar.

Latar belakangnya antara lain adalah:
1. Falsafah Pancasila, nilai-nilai Pancasila tentang penerapan Hak Asasi Manusia (HAM), mengutamakan kepentingan umum, dan pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
2. Aspek Kewilayahan Nusantara yang kaya dan strategis.
3. Aspek Sosial Budaya karena keberagamannya.
4. Aspek Kesejarahan.

Secara ideal, kemudian dijelaskan kedudukan-kedudukan:
1. Pancasila sebagai filsafat, ideologi bangsa, dan dasar Negara, UUD 1945 sebagai konstitusi Negara dan landasan ideal.
2. Wawasan nusantara sebagai geopolitik Indonesia.
3. Ketahanan nasional sebagai geo-strategi bangsa dan negara Indonesia.
4. Politik dan strategi nasional sebagai kebijaksanaan dasar nasional dalam pembangunan nasional serta landasan konsepsional.

Pada awalnya, fungsi Wawasan Nusantara adalah sebagai pedoman, motivasi, dan rambu dalam pengambilan kebijakan dan keputusan berbangsa dan bernegara. Sedangkan tujuannya adalah demi kesejahteraan dan persatuan rakyat, atau tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Bentuk Wawasan Nusantara yakni:
1. Wawasan nusantara sebagai landasan konsepsi ketahanan nasional.
2. Wawasan nusantara sebagai wawasan pembangunan, perwujudan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan politik, dan kesatuan pertahanan dan keamanan.
3. Wawasan nusantara sebagai wawasan pertahanan dan keamanan Negara.
4. Wawasan nusantara sebagai wawasan kewilayahan, yaitu risalah sidang BPUBPKI, 29 Mei-1 Juni 1945, Ordonantie (UU Belanda) 1939, dan Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957 yang berisi
a) Penarikan batas laut wilayah pada sistem penarikan garis lurus (straight base line),
b) Penentuan wilayah lebar laut 12 mil,
c) Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 200 mil sebagai rezim Hukum Internasional. Dengan adanya Deklarasi Juanda, secara yuridis formal, Indonesia menjadi utuh dan tidak terpecah lagi.

Selain itu, geostrategi Indonesia sebagai doktrin pembangunan mengandung metode pembentukan keuletan dan pembentukan ketangguhan bangsa dan Negara. Kemudian mengupayakan terwujudnya jaringan integratif (dalam semangat gotong-royong) secara berjenjang dan berhierarkhi berskala nasional adalah geostrategi Indonesia untuk mewujudkan dan sekaligus mempertahankan integrasi bangsa.

Wawasan Nusantara dapat diimplementasi dalam:
1. Kehidupan politik, pelaksanaan kehidupan politik yang diatur UU harus menjalankan prinsip demokratis dan keadilan, sesuai hukum berlaku, mengembangkan sikap HAM dan pluralisme, memperkuat komitmen institusi politik dan korps diplomatik untuk menjaga wilayahnya.
2. Kehidupan ekonomi, berorientasi pada sektor pemerintahan, pertanian, dan perindustrian, memperhatikan keadilan dan pemerataan, serta melibatkan partisipasi rakyat.
3. Kehidupan sosial, mengembangkan kehidupan toleran atau rukun serta pelestarian kekayaan budaya.
4. Kehidupan pertahanan dan keamanan, keikutsertaan aktif pembelaan Negara oleh rakyat, membangun rasa persatuan, dan membangun TNI profesional.

Sudah terdapat banyak pemikiran mengenai geopolitik dan geostrategi dunia.
1. Friederich Ratzel (1844 - 1904), Teori Ruang menyatakan “bangsa yang berbudaya tinggi akan membutuhkan SDM yang tinggi dan akhirnya mendesak wilayah bangsa yang primitif”;
2. Karl Haushofer (1869 - 1946) Teori Pan Region, berpendapat terdapat empat kawasan benua (pan region) dan dipimpin oleh negara unggul, yaitu Pan Amerika (USA), Pan Asia Timur (China, Jepang, Indonesia), Pan Rusia India, dan Pan Eropa Afrika.

Dari teori di atas, muncul pertanyaan: “Apakah Indonesia akan selalu menjadi sasaran intervensi dan subversi asing?”  Jawabnya “ya”, karena beberapa hal:
1. Secara geo-politik Indonesia “menduduki” Sea Lines of Communication (SLOC), alur antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, sehingga Indonesia harus dibuat pro-Barat atau akomodatif bagi mereka.
2. Barat melihat Indonesia merupakan negara yang moderat dan mayoritas muslim.
3. Potensi Indonesia sebagai penjuru ASEAN, dapat dikuasai untuk membendung pengaruh. Karena itulah kita tidak boleh naif, dengan mengganggap bahwa dalam pemilihan Presiden tidak ada intervensi luar. Indonesia terlalu “berharga” untuk dibiarkan menjadi musuh Barat.

Dalam kenyataan historis, dinasti Cendana atau keluarga Presiden Suharto dapat berkuasa selama 32 tahun bisa jadi disebabkan kebijakannya yang pro-barat. Kekuasaannya terus bertahan karena mendapat bantuan dari Barat. Politik dinasti ini selain berkepentingan bagi pemilik kekuasaan dan keluarganya, namun juga dalam pembahasan geopolitik geostrategi adalah untuk mempertahankan pengaruh luar dengan berbagai cara (geografis, ekonomi, politik).

DAFTAR PUSTAKA
http://www.dephan.go.id/pothan/Isi%20Geo.htm, diakses tanggal 20 November 2010.

Teori Psikologi Massa dalam Kasus Amuk Massa

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Psikologi adalah ilmu tentang perilaku dan proses mental manusia.  Massa dapat diartikan sebagai bentuk kolektivisme (kebersamaan). Oleh karena itu psikologi massa akan berhubungan perilaku yang dilakukan secara bersama-sama oleh sekelompok massa atau kerumunan (crowd). Fenomena kebersamaan ini diistilahkan pula sebagai Perilaku Kolektif (collective behavior).

Dalam perilaku kolektif, seseorang atau sekelompok orang ingin melakukan perubahan sosial dalam kelompoknya. Tindakan kelompok ini ada yang diorganisir, dan ada yang tidak diorganisir. Kemudian menimbulkan Gerakan Sosial (social movement). Gerakan sosial, seringkali muncul ketika dalam interaksi sosial terjadi situasi yang tidak terstruktur, ambigious (ketaksaan/ membingungkan), dan tidak stabil.
Psikologi massa, atau psikologi sosial, harus ditempatkan dalam ranah komunikasi massa. Karena itu, teori S-R (Stimulus-Response) memainkan peran penting. Artinya bahwa tindak komunikasi massa terjadi karena adanya suatu rangsangan (stimuli), dan pesannya itu tersampaikan atau diterima karena adanya respon atau tanggapan.

Dalam teori psikologi behaviorisme, seperti dianut Skinner, manusia terbatas dalam berhubungan dengan lingkungan dan sesamanya. Keterbatasan itu diakibatkan karena secara fisiologis, kita hanya memiliki lima alat indra. S-R tidak bisa dimengerti sebatas apa yang kita tangkap dengan indra, melainkan jauh lebih mendalam dan komprehensif. Yaitu kita harus melibatkan kemampuan kognitif (pemikiran, thought) dalam memahami setiap pesan stimuli, untuk masuk dalam proses ‘meresapi’ (to fell) dan ‘memahami’ (verstehen, understanding).

Neil Smelser mengidentifikasi kondisi yang perilaku kolektif:
1. Structural conduciveness: beberapa struktur sosial yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif, seperti pasar;
2. Structural strain: munculnya ketegangan dalam masyarakat yang muncul secara tersturktur, misalnya antar pendukung kontestan pilkada;
3. Generalized beliefs: pembagian interpretasi dari suatu kejadian;
4. Precipitating factors: ada kejadian pemicu (triggering incidence), misal ada pencurian;
5. Mobilization for actions: adanya mobilisasi massa, misal rapat umum suatu ormas;
6. Failure of social control: akibat agen yang ditugaskan melakukan kontrol sosial tidak berjalan dengan baik.

Secara deskriptif, Milgram (1977) melihat kerumunan sebagai:
1. Sekelompok orang yang membentuk agregasi (kumpulan);
2. Jumlahnya semakin lama semakin meningkat;
3. Orang-orang ini mulai membuat suatu bentuk baru;
4. Memiliki distribusi diri yang bergabung pada suatu saat dan tempat tertentu dengan lingkaran (boundary) yang semakin jelas; dan
5. Titik pusatnya permeable dan saling mendekat.

Mob adalah kerumunan (crowds) emosional yang cenderung melakukan kekerasan/penyimpangan (violence) dan tindakan destruktif. Umumnya mereka melakukan tindakan melawan tatanan sosial yang ada secara langsung. Hal ini muncul karena adanya rasa ketidakpuasan, ketidakadilan, dan frustrasi. Bila mob ini dalam skala besar, maka bentuknya menjadi kerusuhan massa.

Banyak pandangan yang menyatakan bahwa perilaku kolektif berkaitan erat dengan tindakan agresi/kekerasan. Pendekatan keamanan selama ini juga selalu memandang bahwa adanya kumpulan orang selalu disikapi sebagai bentuk potensi konflik, dan tindakan antisipasinya sangat berlebihan. Seharusnya ciri penting yang harus dipahami adalah:
1. Apakah terjadi kebangkitan emosi (arousal) massa yang sangat signifikan?
2. Apakah ada stimulator/pemicu dari lingkungan yang membahayakan (alat kekerasan)?
3. Apakah ada provokator yang terorganisir?
4. Apakah situasinya panas? Panas membuat situasi tidak nyaman dan mudah menyulut kekerasan.
5. Apakah munculnya sesaat atau kronis (berkepanjangan)?
6. Adakah keberpihakan dalam perilaku kolektif (kaitannya dengan kompetisi antarkelompok)?
7. Apakah motif dasar perilaku kolektif tersebut?
8. Apakah ada sponsor yang menyokong perilaku kolektif?

Terdapat teori yang seringkali digunakan untuk menjelaskan kejadian perilaku massa:
1. Social Contagion Theory, orang akan mudah tertular perilaku orang lain dalam situasi sosial massa;
2. Emergence Norm Theory, perilaku didasari oleh norma kelompok yang akan ditonjolkan. Apabila norma itu berseberangan dengan kelompok lain, dapat menimbulkan konflik horizontal;
3. Convergency Theory, dalam kerumunan terjadi konvergensi interpretasi kejadian. Orang akan berkumpul bila mereka memiliki minat yang sama;
4. Deindivuation Theory, ketika orang dalam kerumunan, mereka akan ”menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu ke dalam jiwa massa.

BAGAIMANA CARA MENYIKAPI PERILAKU MASSA
1.      Memahami bentuk perilaku kolektif
2.      Memahami motif perilaku kolektif
3.      Perencanaan penyelesaian yang matang
4.      Kesiaan mental petugas
5.      Pengendalian diri yang baik
6.      Keberanian dalam bersikap

DAFTAR PUSTAKA

Pembahasan Amuk Massa dalam Kaidah Berpikir Tepat dan Logis

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Berpikir sebagai kegiatan akal budi pada inti pokoknya mengandung 3 (tiga) unsur pemikiran atau tahap kegiatan akal budi. Dari aspek mental antara lain pengertian (concept), putusan (judgment), dan penyimpulan (reasoning). Sedangkan dari aspek ekspresi verbal terdiri atas term, proposisi, dan silogisme. Berdasarkan acuan di atas, maka fenomena amuk massa dapat dikaji melalui kaidah-kaidah berpikir tepat dan logis.

Dalam kajian term dan proposisi, ada sebuah kata Bahasa Inggris yang tidak biasa, karena diadopsi dari Bahasa Indonesia, bukan sebaliknya. Kata tersebut adalah amuck (dilafalkan 'amok') yang dalam bahasa Indonesia artinya amuk. Konon, kata ini diadopsi bangsa Inggris saat mereka menjajah bangsa Indonesia di zaman Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Bingley Raffles, tahun 1811.  Ketika itu, bangsa Inggris melihat bahwa orang Indonesia suka sekali mengamuk. Secara historis, Ken Arok, adalah salah satu tokoh yang representasif untuk hal tersebut.

Rasanya sudah semakin biasa kita menyaksikan perilaku agresi massa, atau istilah umumnya amuk massa. Dalam tahap konsep (concepting), definisinya menurut Danelson R. Forsyth (Social Psychology, 1987), perilaku massa dapat disebut agresi (penyerangan) atau amuk apabila menimbulkan kerugian atau kerusakan bagi orang lain melalui cara-cara diniatkan. Dalam psikologi, agresi massa ini sudah sampai pada gejala de-individuasi massa (mass de-individuation) atau massa yang telah kehilangan kesadaran identitas dirinya.
Dalam dua minggu terakhir bulan September 2010, tiga kerusuhan terjadi di negeri ini. Pertama, kerusuhan dan penjarahan di Pati, Jawa Tengah, Kamis (16/9). Kedua, kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur (26-29/9). Ketiga, kerusuhan di Jakarta, Rabu (29/9). Pemerintah menyelesaikan tiga kerusuhan itu dengan cara seragam. Mempertemukan dua kelompok yang bertikai dan menandatangani perjanjian damai. Tampaknya memang mereda, namun tiap kelompok masih menutup pandangan dan saling curiga.
Dengan contoh kasus di atas, selanjutnya diperlukan pemikiran dalam mengambil putusan (judgment) dan kesimpulan (reasoning), yang salah satu caranya melalui logika silogisme atau berpikir deduktif (umum ke khusus).

Amuk bukanlah sekedar agresif karena frustrasi. Orang mengamuk bisa karena alasan irrasional. Psikolog Perancis, Gustav Le Bon, abad ke-19, menciptakan teori tentang amuk massa yang dikendalikan jiwa kolektif (collective mind), yang bersifat lebih agresif-destruktif ketimbang jiwa masing-masing individu (individual mind).

Ada dimensi non-empiris yang menopang terjadinya kekerasan. Berdasarkan refleksi filsafat sosial, amuk massa terjadi karena tiga faktor, yakni kesalahan pemahaman tentang konflik, kehendak melukai orang lain, dan tindakan kekerasan.

Dalam siklus kekerasan ala Camara, kekerasan di masyarakat bersifat akumulatif. Ada kekerasan yang mendahului, kemudian melahirkan kekerasan lagi. Berikutnya amuk disebabkan komunikasi bisu. Ditegaskan filsuf Hannah Arendt, kekerasan adalah komunikasi bisu dari sejumlah kaum marginal. Kekerasan itu sesungguhnya bermaksud menunjukkan identitas diri. Jurgen Habermas mengemukakan jika persoalan masyarakat tidak bisa atau lamban diatasi, maka akan muncul krisis legitimasi. Yakni sebuah situasi ketika rakyat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga publik. Tatkala ada krisis legitimasi, berarti ada yang keliru dalam subsistem.

Kondisi yang mengecewakan memancing reaksi, atau dikategorikan sebagai depresi reaktif. Berawal dari depresi personal bisa berubah menjadi depresi sosial (Archibald Hart, 2008). Oleh karena itu, timbul amuk massa karena individu-individu yang tertekan.

Kemudian dari kajian psikologi sosial, menurut Baron dan Byrne (2009), kerusuhan yang berawal dari perkelahian dua individu didukung oleh adanya stereotip. Dua orang dianggap representasi dari dua kelompok, yang mengacaukan nalar antara konflik pribadi dan relevansinya dengan asumsi kolektif.
Berdasarkan teori Emile Durkheim, kasus ini merupakan pelampiasan hasrat individu untuk merusak dalam situasi anomi. Itu mengisyaratkan retaknya integrasi sosial di tengah-tengah masyarakat.
Ada juga penjelasan faktor amuk massa secara sosiologis, bahwa bangsa Indonesia masih terdiri dari mayoritas kelas bawah yang cenderung emosional dan kurang rasional.

Berlandaskan teori-teori ahli mengenai alasan, faktor, serta pandangan-pandangannya tentang amuk massa, yang lalu disimpulkan secara deduktif-silogisme, bahwa amuk massa adalah fenomena masyarakat yang terjadi karena banyak faktor. Antara lain faktor individu (frustrasi, depresi, dan emosi yang cenderung non-empiris), sosial (kekerasan akumulatif, komunikasi bisu, krisis legitimasi, stereotip, situasi anomi, keretakan integrasi sosial, dan adanya mayoritas kelas bawah), serta politik (pemerintahan represif, yang kehilangan daya membangun manusia Indonesia yang mampu memahami resolusi konflik melalui komunikasi, toleransi, dan empati).

DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun Buku Ajar I MPKT 2010. 2010. Buku Ajar I, Logika, Filsafat Ilmu,
dan Pancasila, Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2 November 2010.
indonesia.html, 2 November 2010.
2 November 2010.

Seks Bebas pada Remaja serta Kaitannya dengan Norma Sosial dan Hukum

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010


Seks bebas sudah menjadi sebuah gaya hidup kebanyakan remaja sekarang. Padahal menurut norma di masyarakat, hal ini dapat dikatakan menyimpang”. Pernyataan tersebut adalah sebuah pernyataan yang sudah umum dibicarakan dalam masyarakat. Padahal banyak juga orang yang belum mengetahui, apa batas-batas hubungan seks, sehingga dapat disebut seks bebas? Apa itu norma, dan mengapa seks bebas dianggap menyimpang? Pertanyaan tersebut dapat meluas dan selanjtunya menjadi bahasan tulisan ini.


Seks dikatakan melanggar atau bebas apabila dilakukan oleh individu-individu yang tidak terikat hubungan pernikahan yang sah. Pernikahan definisi umumnya adalah ikatan/perjanjian antar-individu berlainan gender yang ketentuannya diatur di dalam hukum dan agama. Jadi, seks bebas adalah hubungan seks di luar nikah. Perbuatan seks bebas dianggap tidak wajar dan salah oleh masyarakat. Ironisnya, penyimpangan ini banyak terjadi di kalangan remaja.

Seks bebas dikatakan salah karena melanggar norma. Norma sendiri memiliki pengertian, yaitu segala aturan-aturan atau pola-pola tindakan, yang normarif, yang menjadi pedoman hidup bagi orang untuk bersikap tindak di dalam kehidupannya, baik dalam hidupnya, sendiri maupun dalam pergaulan bersama. Dan norma berasal dari kumpulan nilai-nilai yang disetujui oleh masyarakat sebagai sesuatu yang baik.

Akan dijelaskan pengertian norma secara lebih mendalam. Terdapat bermacam-macam norma di dalam masyarakat. Macam kaedah atau norma tersebut tergantung dari 1) aspek hidup pribadi, meliputi a) kaedah/norma kepercayaan, untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan beriman, serta b) kaedah kesusilaan (siitlichkeit atau moral/etika dalam arti sempit) yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak (kehidupan dengan geweten). Kemudian 2) aspek hidup antar pribadi, meliputi a) kaedah sopan santun (sitte) yang bertujuan agar tercapai kenyamanan hidup bersama (pleasant living together), dan b) kaedah/norma hukum yang bertujuan agar tercapai kedamaian hidup bersama (peaceful living together) (Purbacaraka, 1982: 11-16).

Melihat pembahasan norma di atas, maka seks bebas secara logis telah melanggar semua kaedah-kaedah/norma-norma tersebut. Berdasarkan pandangan sosiologi, norma yang paling dilanggar adalah norma kesusilaan dan kesopanan. Sebab seks bebas adalah tindakan asusila, yaitu tindakan melanggar konteks hubungan antar-gender yang pantas, dan dipandang menjijikkan. Kemudian menurut norma agama, seks bebas adalah tindakan berdosa, tekutuk, dalam agama apapun. Karena seks bebas menginjak-injak kodrat pernikahan sebagai sesuatu yang suci. Sanksi sosialnya dapat berupa pengucilan, cemooh, gossip, atau ekstremnya dapat berupa intimidasi dan kekerasan fisik (banyak contohnya, pasangan muda-mudi yang tertangkap basah berzina di daerah, dikeroyok massa).

Di Indonesia, ada perdebatan menarik mengenai seks bebas dan hukum tertulis/perundang-undangannya. Apalagi bila seks bebas dilakukan oleh remaja. Sampai sekarang, belum ada undang-undang yang secara jelas dan tegas mengatur hubungan seks. Sejauh ini yang bisa mengikat pelaku seks bebas adalah UU Pornografi dan Pornoaksi (apabila didokumentasikan dan atau dipublikasikan), UU Perlindungan Anak (apabila seks dilakukan pada anak), UU perdata mengenai perceraian (apabila dilakukan oleh orang yang berselingkuh), serta UU mengenai perbuatan tidak mengenakkan dan tindakan kriminal (apabila dalam kasus perkosaan). Tidak ada kejelasan dan sanksi hukum pada pelaku seks bebas atas dasar suka-sama-suka, padahal menurut norma sosial-budaya-agama, hal tersebut tetap jelas merupakan penyimpangan.

Ada wacana mengenai Rancangan Undang-Undang pelarangan kumpul kebo. Tapi hal tersebut juga masih menjadi perdebatan, disebabkan definisi kumpul kebo dan pembuktiannya kemudian yang tidak jelas. Sedangkan pelaku seks bebas oleh remaja juga tidak dapat didakwa berdasar hukum, karena dianggap masih di bawah umur. Norma hukum terkait seks bebas, dan oleh remaja pada khususnya, menjadi dilema dan perlu dicarikan solusinya bersama.

Norma sosial dan norma hukum dapat menjadi pencegah, pengontrol, dan acuan tindakan represif (pasca kejadian) pada kasus seks bebas remaja. Norma dapat dipertegas melalui sosialisasi yang benar, dengan melihat beberapa masalah remaja. Antara lain, a) hubungan lingkungan sosial, b) persoalan yang menyangkut studi, c) penggunaan waktu luang yang banyak mengarah pada  perbuatan ‘iseng’, d) masalah penggunaan uang, e) remaja dan kehidupan seksualnya, dan f) masalah identitas remaja.

Masalah di atas bisa jadi adalah sumber gaya hidup seks bebas yang banyak dianut remaja sekarang. Jadi, norma sendiri belum cukup untuk melakukan kontrol pada tindakan seks bebas. Dibutuhkan perhatian langsung dari keluarga, teman, masyarakat, dan pemerintah untuk membantu (bukan menghukum) remaja pelaku maupun korban seks bebas. Solusi dapat melalui sosialisasi (kurikulum pendidikan serta seminar), rehabilitasi, diskusi keluarga, pergaulan selektif, dan komunikasi yang baik. Norma sosial dan norma hukum memberi pedoman bertindak untuk menjauhi seks bebas yang dianggap menyimpang oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun Buku Ajar I MPKT 2010. 2010. Buku Ajar I, Logika, Filsafat Ilmu, dan Pancasila, Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Soekanto, Soerjono. 1982. Memperkenalkan Sosiologi, Jakarta: Penerbit CV Rajawali.

Plagiarisme Dikaitkan dengan Pentingnya Etika dalam Kehidupan Sehari-hari dan Kehidupan Ilmiah

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Plagiarisme adalah suatu kegiatan mencuri. Mencuri kreativitas orang lain dalam konteks meniru atau menyalin karyanya dan menganggapnya menjadi karya sendiri. Secara logis, ini merupakan tindakan yang tidak sesuai kaidah etika. Masyarakat menganggap plagiarisme bukanlah sesuatu yang biasa dilakukan. Masyarakat menolaknya karena merusak nilai-nilai dan hak-hak kekayaan intelektual yang sering dijunjung masyarakat dalam berbagai aspek.

Etika yang seharusnya menjadi acuan bertindak menempatkan plagiarisme sebagai salah satu tindakan yang paling ekstremnya adalah sebagai sampah. Sebuah hasil plagiarisme dalam kehidupan sehari-hari dapat mengundang perselisihan klaim sebuah karya, serta subyek plagiarisme mendapat sanksi moral yang berat. Yaitu cemooh, pengucilan, maupun stereotip sebagai seorang plagiat seterusnya. Plagiarisme tidak menciptakan manusia yang baik, namun malah sebaliknya.

Dalam kehidupan ilmiah, plagiarisme sama saja pendangkalan kaidah pengetahuan. Bila menjadi budaya, dapat menciptakan krisis moral dan krisis kreativitas, yang selanjutnya berdampak pada matinya ilmu pengetahuan. Tidak ada usaha untuk menciptakan sesuatu yang baru. Maka dari itu, plagiarisme adalah racun, yang apabila tidak dicegah dan ditanggulangi, dapat menjadi budaya seperti disebut di atas. Penanggulangan paling efektif adalah dengan sanksi. Apabila ada karya ilmiah yang melanggar etika karena plagiarisme, si pembuat dapat langsung ditindak oleh badan akademisnya, entah pencabutan gelar, maupun sanksi akademis lainnya.

Tindakan pencegahannya dapat melalui sistem pendidikan. Pendidikan harus menekankan nilai anti-plagiarisme. Pencantuman bahan referensi karya tulis dan penelitian secara lengkap, dan juga menanamkan etika keilmuan yang memang baik kepada para pendidik maupun didikan. Tidak ada toleransi bagi plagiarisme.