Kamis, 21 April 2016

Verso KARTINI - Door Duisternis tot Licht

(Adopted from R.A. Kartini’s letters; 1898 - 1903) (Discus : Fadhil Indra, Anto Praboe, Iwan Hasan)


Mengharapkan terang yang tak kunjung datang, dari gelap berselimut tradisi. Tidurlah wanita priyayi, mimpi untuk seabad lagi...
Tradisi yang berabad-abad... yang tak dapat dipatahkan begitu saja, membelengu kami (tapi) meski saat itu masih jauh sekali... Tak terhingga jauhnya. Tapi saat itu pasti akan tiba, saya tahu itu, meski baru tiga-empat turunan lagi! (September, 18th 1899; to Ms. Abendanon) bela-kan derajat kaumnya, jajar-kan pundak bangsanya Kartini lantang bicara; maju... sekarang!! Selimut awan kelabu yang bergerak, mulai menghilang HABISlah GELAP TERBITLAH Sang Sinar TERANG Goresan tinta Kartini, menggagas harapnya... Senandung nada-nada nyanyian hati, keras menentang Menggugat jaman... (‘tuk) seabad lebih ke depan Ketika ilmu tak tersentuh jari wanita Bela-kan derajat kaumnya, jajar-kan pundak bangsanya Kartini pun lantang bicara: “tentukan sikap untuk maju” chorus: Door Dusiternis tot Licht, The Letters of a Princess [letters of a princess] / [habis gelap, terbitlah terang] Segenggam bekal Sang Ajeng yang mencari arah nurani Untuk membawa... arti semangat juangnya Terhenti gerak luhur oleh adat tradisi “tetap tinggal di rumah saja” titah ningrat, titah dungu Raden Ajeng bangkit meronta, jatuh terhempas tanpa daya... Nikmati tidurmu seratus tahun lagi, kelak mimpimu menjadi kenyataan, untuk terlahir di jaman kedambaan bagi wanita yang hidup bebas... searah... nurani yang tertitip olehmu... Mengusung gerak langkah luhurmu... Menghancurkan dinding batu bengis itu! (November, 6th 1899; to Stella Zeehandelaar) Teriakkan kecewa! Jangan bungkam dengan senyum manis... Ketika.. berakhir harapmu dan raga di ujung kuasa bupati Bermadu istri-istri jelita... anggun(?)... nan priyayi(?) Terkungkung pada empat tembok bengis itu Ingin kudobrak pintu, berlari ke depan, dan berteriak lembut Hanya di sini tempatku, rumah batu, dan gamelan syahdu Untuk bukan sebuah kemungkinan maju... tapi patuh sujud... Di samping bara api yang sudah lama sekali menyala... menjilat... memancarkan... tepi-tepi biru yang nanti -entah kapan, mungkin seabad, akan banyak, yang memadamkannya. Semoga.... (November, 6th 1899; to Stella Zeehandelaar) Terpasung dinding tradisi yang menjulang, keras membatu Tiada daya, terhimpit cita-citanya... Hadapi hidup kodrati, meski hasratnya tak’kan mati... Seribu telapak berbunyi, ia tak lagi sendiri Bunga-bunga mekar mewangi Mengharumkan abdi Sang Bunda.... [LISTEN THIS SONG by DISCUS]