Jumat, 04 Maret 2016

Polarisasi Masyarakat Indonesia dan Mencoba Memahami Dialektika

Satu lagi tulisan yang mengafirmasi pandangan yang saya dapat mengenai kelindan antara religiusitas (Islam) dengan kapitalisme (konsumerisme) [1]. Dalam tulisan yang saya bagikan kemarin lusa, kelindan keduanya menyebabkan fobia untuk berpikir (phronemophobia) [2], sedangkan dalam tulisan ini, kelindan itu disebut sebagai "post-Islamisme", sebuah sub-kebudayaan masyarakat Indonesia yang religius dan puritan dalam bersyariat, tetapi menikmati produk-produk sekuler di sisi lainnya.

Tambahannya, tulisan ini juga menyebutkan tentang fenomena polarisasi masyarakat kita dengan mengelompokkan hanya ada dua kelompok, yakni "kelompok post-Islamis" ini, bertandingan dengan "kelompok kritis", yang rata-rata lebih baik secara intelektual namun tidak dekat dengan padang rumput kelas menengah perkotaan (sebagai populasi masyarakat Indonesia yang dimaksud).

Pendapat Mas Burhanudin ini turut mengafirmasi kekhawatiran saya tentang keriuhan yang kerap terjadi akhir-akhir ini, yang saya lihat akan berujung pada perpecahan. Terlalu menyederhanakan jika dalam bersikap terhadap beragam isu, entah LGBT, entah komunisme, atau entah tentang khilafah, seakan-akan hanya terdapat dua pilihan: mendukung atau menolak, sepakat atau tidak sepakat. Begitu juga dalam hal ini, sebenarnya bisa saja kita terbuka terhadap pilihan yang moderat, misal tidak mendukung pilihan orientasi seksual kaum LGBT, tapi juga tidak sepakat dengan diskriminasi yang ditujukan kepada mereka. Layaknya Pilpres 2014, pilihan tidak hanya Prabowo atau Jokowi, tapi bisa juga golput atau abstain. Dan saya rasa, orang-orang yang bersikap di tengah-tengah ini lebih banyak daripada kedua kutub yang disebutkan di atas (atau beberapa ahli menyebutnya sebagai silent-majority).

Yang perlu diingat, kenyataan yang utuh tidak selalu sama dengan yang hadir di media, apalagi media sosial. Jika melihat demografi pengguna media sosial saja, kita bisa mafhum bahwa pandangan-pandangan dan pernyataan-pernyataan yang muncul di Facebook, Twitter, Path, dan sebagainya, mengandung bias kota. Nah, saya asumsikan, silent-majority yang moderat ini tidak tampil di media karena mereka tidak (ada? bisa? sanggup?) mengakses media (sosial) dan hidup di desa-desa atau pinggiran kota. Jadi tidak perlu lebay, lekas-lekas mengambil sikap ketika dihadapkan dengan "kenyataan" (dengan tanda petik) di media sosial. Toh kenyataan juga tidak sehitam-putih itu.

Oke, kembali pada soal perpecahan, fenomena polarisasi yang terjadi, berbahaya bagi (dengan agak sok saya sebut) persatuan bangsa dan negara Indonesia. Sejarah telah membuktikan, bagaimana sikap keras berbentuk hardikan, penolakan, pelarangan, hingga ancaman dan pembunuhan terhadap kalangan yang berseberangan, kerap diikuti oleh pembalasan yang sama kerasnya atau bahkan lebih keras lagi. Akumulasi tolak-menolak, ancam-mengancam, larang-melarang inilah yang memperlebar jarak kita sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari kalangan-kalangan berbeda: rupa, sikap, pandangan, ideologi, argumentasi, antar-bimbingan dan IPK (?). Katanya "bhinneka tunggal ika", berbeda-beda tapi satu jua, nyatanya berbeda-beda tapi makin dibeda-bedakan juga (terima kasih, karena beberapa kalangan, saya jadi sedemikian sinis).

Kalau Anda membaca apa itu "dialektika" (entah dalam perspektif Hegel atau Marx), kita akan melihat bahwa dalam alam pikiran manusia itu selalu ada yang namanya "thesis" dan "anti-thesis", yang mencoba untuk saling menegasikan. Gampangnya, thesis itu sepakat, anti-thesis itu tidak sepakat. Aneh tapi nyata, thesis dan anti-thesis ini tidak selamanya saklek dan saling gotok-gotokan. Ada masanya, thesis menyerap argumentasi anti-thesis, dan menjadi thesis plus-plus, atau dikenal sebagai "synthesis". Hebatnya lagi, synthesis akan menjadi thesis baru, lalu muncullah anti-thesis dari synthesis ini. Begitu terus, mungkin sampai Habib Rizieq nonton Konser JKT48.

Kita patut berterimakasih kepada Bapak Tan Malaka karena sudah mencoba mengingatkan bangsa ini akan pentingnya memahami dialektika. Pelajaran yang dapat kita ambil adalah, jika kita menyerapi betul apa yang dimaksud dialektika ini, perbedaan akan menjadi hal yang lumrah saja, toh semuanya akan berubah. Sikap menolak bisa saja menjadi "menolak, dengan syarat..", atau toh sama lumrahnya dengan skripsi yang sudah dibuat sedemikian rupa tapi tetap saja ada revisinya (untuk ini saya tak akan berbicara banyak karena bikin baper).

Soal dialektika lagi, saya pikir orang-orang moderat yang tidak menolak ataupun tidak mendukung sebagai pilihan sikap adalah orang yang berhati-hati dan berpikiran terbuka. Syarat untuk terjadinya dialektika adalah keterbukaan akan argumen dan fakta-fakta baru. Tentu kita ingat bagaimana pernyataan bahwa "bumi sebagai pusat semesta" dipatahkan dengan argumen "mataharilah pusat semesta", di abad pertengahan lampau. Bahkan hingga kini masih dicari fakta-fakta baru yang menemukan bahwa ternyata matahari itu cuma bintang kecil yang bukan apa-apa dibandingkan benda angkasa lainnya. Saya pikir, begitu juga dengan sikap-sikap yang perlu kita ambil ketika berhadapan dengan beragam isu. Tidak perlu takut untuk mengakui silap pikir dan merevisi argumen. Tidak perlu juga mengambil sikap ekstrem selama-lamanya "menolak mentok" atau "mendukung mentok", toh hidup tidak hanya punya dua pilihan. Pak SBY pernah bertitah, "selalu ada jalan".

Paradoks masyarakat kita untuk menjadi religius sekaligus konsumeris masih perlu dikaji lagi, sama halnya dengan fenomena polarisasi ini. Namun sebelum kita berdebat lebih lanjut, buka dulu pikiran kita dan pahami lagi apa itu dialektika. Mau lagi argumentasi historis dan filosofis tentang sikap "moderat / tengah-tengah" dan "dialektika" ini di Indonesia? Baca deh apa itu Pancasila. Udah itu aja.

Nuhun.
Kukusan, 4 Maret 2016.

Sumber :
[1] http://islami.co/syndicate-blog/736/18/tere-liye-dalam-lanskap-pertarungan-budaya-populer-baru
[2] https://eseinosa.wordpress.com/2016/02/29/phronemophobia-indonesia/?platform=hootsuite

The One-Hundred Word Eulogy

The One-Hundred Word Eulogy:

Since the creation of the Universe,
God had decreed to appoint,
This great faith-preaching man,
From the West he was born,
He received the Holy Scripture,
A Book of thirty parts,
To guide all creation,
Master of all Rulers,
Leader of Holy Ones,
With Support from Above,
To Protect His Nation,
With five daily prayers,
Silently hoping for peace,
His heart towards Allah,
Empowering the poor,
Saving them from calamity,
Seeing through the darkness,
Pulling souls and spirits,
Away from all wrongdoings,
A Mercy to the Worlds,
Traversing the ancient majestic path,
Vanquishing away all evil,
His Religion Pure and True,
Muhammad,
The Noble & Great one.

Written by Sh. Musa Cerantonio
Originally written in Chinese language,
by Hon-wu, Emperor of China (1368 - 1398 CE)

chinesepoemmuhammad

Source :
http://alsiraat.co.uk/prophet-muhammad/chinese-emperors-poem-prophet-muhammad-saw

Selasa, 01 Maret 2016

Apalah Saya Dibandingkan Tere Liye : Sebuah Pelajaran Sejarah

Alhamdulillah, khusnudzon memang lebih baik. Lagipula, apalah saya dibandingkan Tere Liye yang sudah punya lusinan buku, atau dengan para sejarawan-pengamat-kritikus di luar sana.

MEMANG banyak ulama dan tokoh agama yang ga suka sama penjajah, lalu ngajakin umat buat berjuang; macam kisah-kisah Perang Jawa-nya Pangeran Diponegoro, Perang Padri di Sumbar, Perang Aceh, kemudian Sarekat Islam. Ada peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Mungkin saat itu muncul 'romantisme' Perang Salib (karena para penjajah kita dulu itu agamanya Kristen), tapi ini sekadar dugaan saya lewat referensi yang terbatas-masih perlu dibuktikan.

TAPI, perlu dicatat, banyak juga ulama dan tokoh agama yang dekat dengan kaum feudal, 'jembatannya' para penjajah di bumi Indonesia. Nah, kaum feudal inilah yang kerap melanggengkan penjajahan. Siapa itu kaum feudal yang dimaksud? Lurah-Camat-Bupati-Gubermen-Raja-Bangsawan-Priyayi-Kabir yang suka menjilat kaum penjajah. Ini yang dilawan Bapak-Ibu Pahlawan di masanya (tentunya selain kaum penjajah itu sendiri). Apesnya, mereka lebih sulit dilawan karena warna kulitnya sama dengan kita.

WALAU demikian, tidak semua kaum feudal itu penjilat. Ada juga raja-raja di Buleleng, Banjar, Makassar, dan Maluku yang mati-matian melawan penjajah. Bahkan, kaum terdidik (dalam artian Barat) pertama bangsa ini lahir dari kaum feudal. Soekarno adalah keturunan ningrat berdarah Jawa-Bali. Soewardi Soerjaningrat yang priyayi, membuang titel kebangsawanannya dan lebih suka dipanggil Ki Hadjar Dewantara. Atau masih ingatkah kita dengan curhatan pilu R.A. Kartini? Mereka adalah kaum feudal yang menolak ekses negatif dari feudalisme itu sendiri, yakni keterkekangan dan kemunafikan.

Para Pahlawan kita datang dari berbagai latar belakang.

YA, keterkekangan dan kemunafikan adalah gembok pengunci perjuangan kemerdekaan kita. Yang saya maksud sebagai keterkekangan adalah sekat-sekat kesukuan, etnis, ras, kelas, ideologi, dan tertutupnya pikiran. Sedangkan kemunafikan di sini adalah tipu-tipunya kaum penjajah, feudal, kabir, bahkan tokoh agama yang punya kepentingannya sendiri-sendiri. Bagi saya, kunci pembuka gembok itu adalah persatuan dan ilmu pengetahuan (Kebenaran) yang jujur. Siapa sangka jika ilmu pengetahuan yang jujur itu dirintis oleh kaum komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, dan pendukung liberal, dengan kritik serta perlawanannya terhadap kapitalisme-kolonialisme-imperialisme-kerakusan di Indonesia?

Kemerdekaan kita adalah hasil perjuangan multi-sektor. Persatuan dan ilmu pengetahuan lintas sektor-lah yang membuat kita sama-sama terbebas dari penjajahan. Sangat keliru jika menyatakan kaum tertentu lebih berjasa daripada kaum lainnya dalam merealisasikan kemerdekaan. Namun, yang saya sayangkan dari posting Mas Darwis (Tere Liye) sebelumnya adalah klaim dan negasi yang keterlaluan ini. Untunglah beliau mengejawantahkan ulang maksud dari posting-nya itu (walau masih dengan nada defensif). Puji syukur jika polemik seperti ini membuat kita membaca ulang sejarah secara lebih jujur dan menyeluruh.

Sebenarnya masih ada curhatan tentang apa itu "kearifan bangsa sendiri" yang abstrak bin debatable, atau 'penyakit' keterkekangan dan kemunafikan yang masih menjangkit hingga hari ini; entah di kalangan pejabat di Senayan, tentara-tentara di Papua, atau kelas pekerja ngehek di media sosial . Aah, terlalu banyak curhatan dan kesok-tahuan saya di sini, dan nampaknya akan membuat tulisan ini semakin tidak menarik. Sekali lagi, apalah saya dibandingkan Tere Liye.

Tabik.

Kukusan, 2 Maret 2016.



Sumber :

https://www.facebook.com/tereliyewriter/posts/1103275466389687