Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010
Berpikir sebagai kegiatan akal budi pada inti pokoknya mengandung 3
(tiga) unsur pemikiran atau tahap kegiatan akal budi. Dari aspek mental
antara lain pengertian (concept), putusan (judgment), dan penyimpulan (reasoning).
Sedangkan dari aspek ekspresi verbal terdiri atas term, proposisi, dan
silogisme. Berdasarkan acuan di atas, maka fenomena amuk massa dapat
dikaji melalui kaidah-kaidah berpikir tepat dan logis.
Dalam kajian term dan proposisi, ada sebuah kata Bahasa Inggris yang
tidak biasa, karena diadopsi dari Bahasa Indonesia, bukan sebaliknya.
Kata tersebut adalah amuck (dilafalkan 'amok') yang dalam bahasa
Indonesia artinya amuk. Konon, kata ini diadopsi bangsa Inggris saat
mereka menjajah bangsa Indonesia di zaman Gubernur Jenderal Sir Thomas
Stamford Bingley Raffles, tahun 1811. Ketika itu, bangsa Inggris
melihat bahwa orang Indonesia suka sekali mengamuk. Secara historis, Ken
Arok, adalah salah satu tokoh yang representasif untuk hal tersebut.
Rasanya sudah semakin biasa kita menyaksikan perilaku agresi massa, atau istilah umumnya amuk massa. Dalam tahap konsep (concepting), definisinya menurut Danelson R. Forsyth (Social Psychology, 1987), perilaku massa dapat disebut agresi (penyerangan) atau amuk
apabila menimbulkan kerugian atau kerusakan bagi orang lain melalui
cara-cara diniatkan. Dalam psikologi, agresi massa ini sudah sampai pada
gejala de-individuasi massa (mass de-individuation) atau massa yang telah kehilangan kesadaran identitas dirinya.
Dalam dua minggu terakhir bulan September 2010, tiga kerusuhan
terjadi di negeri ini. Pertama, kerusuhan dan penjarahan di Pati, Jawa
Tengah, Kamis (16/9). Kedua, kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur
(26-29/9). Ketiga, kerusuhan di Jakarta, Rabu (29/9). Pemerintah
menyelesaikan tiga kerusuhan itu dengan cara seragam. Mempertemukan dua
kelompok yang bertikai dan menandatangani perjanjian damai. Tampaknya
memang mereda, namun tiap kelompok masih menutup pandangan dan saling
curiga.
Dengan contoh kasus di atas, selanjutnya diperlukan pemikiran dalam mengambil putusan (judgment) dan kesimpulan (reasoning), yang salah satu caranya melalui logika silogisme atau berpikir deduktif (umum ke khusus).
Amuk bukanlah sekedar agresif karena frustrasi. Orang mengamuk bisa
karena alasan irrasional. Psikolog Perancis, Gustav Le Bon, abad ke-19,
menciptakan teori tentang amuk massa yang dikendalikan jiwa kolektif (collective mind), yang bersifat lebih agresif-destruktif ketimbang jiwa masing-masing individu (individual mind).
Ada dimensi non-empiris yang menopang terjadinya kekerasan.
Berdasarkan refleksi filsafat sosial, amuk massa terjadi karena tiga
faktor, yakni kesalahan pemahaman tentang konflik, kehendak melukai
orang lain, dan tindakan kekerasan.
Dalam siklus kekerasan ala Camara, kekerasan di masyarakat bersifat
akumulatif. Ada kekerasan yang mendahului, kemudian melahirkan kekerasan
lagi. Berikutnya amuk disebabkan komunikasi bisu. Ditegaskan filsuf
Hannah Arendt, kekerasan adalah komunikasi bisu dari sejumlah kaum
marginal. Kekerasan itu sesungguhnya bermaksud menunjukkan identitas
diri. Jurgen Habermas mengemukakan jika persoalan masyarakat tidak bisa
atau lamban diatasi, maka akan muncul krisis legitimasi. Yakni sebuah
situasi ketika rakyat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga publik.
Tatkala ada krisis legitimasi, berarti ada yang keliru dalam subsistem.
Kondisi yang mengecewakan memancing reaksi, atau dikategorikan
sebagai depresi reaktif. Berawal dari depresi personal bisa berubah
menjadi depresi sosial (Archibald Hart, 2008). Oleh karena itu, timbul
amuk massa karena individu-individu yang tertekan.
Kemudian dari kajian psikologi sosial, menurut Baron dan Byrne
(2009), kerusuhan yang berawal dari perkelahian dua individu didukung
oleh adanya stereotip. Dua orang dianggap representasi dari dua
kelompok, yang mengacaukan nalar antara konflik pribadi dan relevansinya
dengan asumsi kolektif.
Berdasarkan teori Emile Durkheim, kasus ini merupakan pelampiasan
hasrat individu untuk merusak dalam situasi anomi. Itu mengisyaratkan
retaknya integrasi sosial di tengah-tengah masyarakat.
Ada juga penjelasan faktor amuk massa secara sosiologis, bahwa
bangsa Indonesia masih terdiri dari mayoritas kelas bawah yang cenderung emosional dan kurang rasional.
Berlandaskan teori-teori ahli mengenai alasan, faktor, serta
pandangan-pandangannya tentang amuk massa, yang lalu disimpulkan secara
deduktif-silogisme, bahwa amuk massa adalah fenomena masyarakat yang
terjadi karena banyak faktor. Antara lain faktor individu (frustrasi,
depresi, dan emosi yang cenderung non-empiris), sosial (kekerasan
akumulatif, komunikasi bisu, krisis legitimasi, stereotip, situasi
anomi, keretakan integrasi sosial, dan adanya mayoritas kelas bawah),
serta politik (pemerintahan represif, yang kehilangan daya membangun
manusia Indonesia yang mampu memahami resolusi konflik melalui
komunikasi, toleransi, dan empati).
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun Buku Ajar I MPKT 2010. 2010. Buku Ajar I, Logika, Filsafat Ilmu,
dan Pancasila, Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
http://himpsi.org/content/view/27/64/, 2 November 2010.
http://bataviase.co.id/node/243120, 2 November 2010.
http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=622, 2 November 2010.
2 November 2010.
indonesia.html, 2 November 2010.
http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/20932, 2 November 2010.
2 November 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar