Jumat, 22 Juni 2012

Peran Pendidikan Politik dalam Mencegah Praktik Politik Dinasti

Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010

Politik dinasti adalah upaya untuk mengekalkan kekuasaan para penguasa melalui kaderisasi saudara-saudara maupun kerabat-kerabatnya. Hal tersebut menjadi fenomena nyata dalam kehidupan politik di Indonesia sekarang, baik di tingkat daerah maupun nasional. Secara hukum maupun prinsip demokrasi, hal tersebut tidak disalahkan, karena semua warga negara memiliki hak sepadan untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin politik, termasuk saudara/kerabat dari penguasa sebelumnya. Akan menjadi hal yang baik apabila calon tersebut adalah benar-benar orang yang kompeten. Namun sebaliknya akan menjadi masalah apabila calon tersebut hanya mendompleng nama kerabat penguasanya untuk mencalonkan diri, tanpa kemampuan yang mumpuni.

Dampak negatif lainnya tentang politik dinasti adalah akan mengurangi kesempatan warga lainnya yang ‘mungkin’ lebih pantas untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan politik. Apabila terjadi, dapat dipastikan kolusi dan nepotisme makin tumbuh subur dalam politik dinasti demikian.

Tidak ada hukum yang menyalahkan politik dinasti. Demokrasi selalu menyerahkan pilihan kepada rakyat. Mau pemimpin yang berdinasti atau tidak, semua tergantung rakyat. Oleh karena itu, agar dapat terpilih pemimpin yang baik, seharusnya seluruh rakyat Indonesia memiliki kecerdasan politik. Kecerdasan ini sangat tergantung pada pendidikan politik yang ada.

Definisi pendidikan politik mengandung tiga syarat penting, yakni: Pertama, adanya perbuatan memberi latihan, ajaran, serta bimbingan untuk mengembangkan kapasitas dan potensi diri manusia. Kedua, perbuatan di maksud harus melalui proses dialogik yang dilakukan dengan suka rela antara pemberi dan penerima pesan secara rutin. Ketiga, perbuatan tersebut ditujukan untuk para penerima pesan dapat memiliki kesadaran berdemokrasi dalam kehidupan bernegara.

Seluruh komponen bangsa perlu melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat hingga ke pelosok daerah dalam rangka menjaring calon pemimpin nasional (Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, Jakarta, 28/11/08). Pernyataan di atas memang benar. Pendidikan dapat dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja, asalkan tepat untuk menciptakan kecerdasan. Pendidikan politik juga selayaknya disampaikan melalui LSM, pemuka agama, tokoh masyarakat, serta pemimipin informal agar lebih efisien dan efektif.

Namun kenyataan yang ada, pendidikan politik Indonesia masih belum sampai pada pelaksanaan dan implementasi yang ideal. Pihak pertama pendidik politik, partai politik, oleh Antonio Gramsci dikategorikan sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil (Roger Simon, 1999), diharapkan dapat melaksanakan fungsinya sebagai Instrumen Of Political Education dengan baik dan benar, sesuai amanat yang tertuang dalam pasal 11 huruf A UU No. 2 Tahun 2008, tentang Partai Politik. Akan tetapi, pendidikan politik yang dilakukan parpol sangat berbau kepentingan golongan belaka. Inilah yang membuat rakyat tidak menyadari prinsip demokrasi yang menyeluruh.

Pihak utama pendidik politik lainnya, menurut Ketua DPP PPP Lukman Hakim Syaefuddin mengatakan bahwa pemerintah menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan tugas pendidikan politik secara makro karena memiliki dukungan finansial dan infrastruktur yang akan membuat pelaksanaannya lebih efektif. Pendapat tersebut disampaikan di Jakarta (8/9/10). Tapi hal yang sama terjadi, pelaksanaan oleh pemerintah belum konkret. Dibutuhkan komitmen tinggi para petinggi pemerintahan untuk melakukannya.

Selanjutnya, pendidikan politik oleh lembaga pendidikan. Indonesia membutuhkan lembaga independen seperti perguruan tinggi untuk memberikan pendidikan politik pada masyarakat setelah partai politik saat ini gagal menjalankan fungsi tersebut. Namun kondisinya perguruan tinggi dan sekolah saat ini justru mematikan wawasan politik dengan hanya memfokuskan diri hanya kepada pendidikan kognitif. Dampaknya tingkat kedewasaan demokrasi warga dan masyarakat politik di Indonesia tidak terjadi (Yudi Latif, Bandung, 18/11/10).

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai salah satu pendidik politik di Indonesia ternyata berperan lebih besar dalam mencerdaskan kesadaran politik masyarakat ketimbang parpol. Sudah banyak berdiri LSM yang berorientasi pada pengawasan kinerja pemerintahan dan pemilihan umum, yang paling tidak sudah dapat menjelaskan definisi demokrasi kepada masyarakat.

Lalu ada sebuah artikel dari internet berjudul "Iwan Fals vs Oom Pasikom, Media Pendidikan Politik Alternatif". Judul tersebut sangat menggelitik. Masyarakat sepertinya sudah mual dengan situasi politik yang ada, sehingga berupaya mengembangkan media alternatif untuk mengajarkan masyarakat luas mengenai politik ideal. Lagu-lagu Iwan Fals dan cerita komik Oom Pasikom mampu tampil menarik dan tajam dalam mengkritisi keadaan yang ada. Dan terbukti, cara mereka lebih efektif daripada cara-cara parpol dan pemerintah untuk mencerdaskan kesadaran politik bangsa.

Politik dinasti memiliki banyak dampak negatif bagi keberlangsungan politik Indonesia. Namun sistem yang ada tidak melarang hal tersebut. Demokrasi sebagai sistem yang ada, menyerahkan pilihannya kepada rakyat. Rakyat yang cerdas pastinya mampu memilih pemimpin yang berkualitas. Pencerdasan ini sudah dirintis oleh berbagai pihak untuk memperbaiki keadaan yang ada. Alangkah baiknya jika kita turut serta dalam upaya pendidikan politik, dan tetap optimis untuk politik Indonesia yang madani.

DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar