Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010
Politik dinasti adalah upaya untuk mengekalkan kekuasaan para
penguasa melalui kaderisasi saudara-saudara maupun kerabat-kerabatnya.
Hal tersebut menjadi fenomena nyata dalam kehidupan politik di Indonesia
sekarang, baik di tingkat daerah maupun nasional. Secara hukum maupun
prinsip demokrasi, hal tersebut tidak disalahkan, karena semua warga
negara memiliki hak sepadan untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin
politik, termasuk saudara/kerabat dari penguasa sebelumnya. Akan menjadi
hal yang baik apabila calon tersebut adalah benar-benar orang yang
kompeten. Namun sebaliknya akan menjadi masalah apabila calon tersebut
hanya mendompleng nama kerabat penguasanya untuk mencalonkan diri, tanpa
kemampuan yang mumpuni.
Dampak negatif lainnya tentang politik dinasti adalah akan mengurangi
kesempatan warga lainnya yang ‘mungkin’ lebih pantas untuk
berpartisipasi dalam kepemimpinan politik. Apabila terjadi, dapat
dipastikan kolusi dan nepotisme makin tumbuh subur dalam politik dinasti
demikian.
Tidak ada hukum yang menyalahkan politik dinasti. Demokrasi selalu
menyerahkan pilihan kepada rakyat. Mau pemimpin yang berdinasti atau
tidak, semua tergantung rakyat. Oleh karena itu, agar dapat terpilih
pemimpin yang baik, seharusnya seluruh rakyat Indonesia memiliki
kecerdasan politik. Kecerdasan ini sangat tergantung pada pendidikan
politik yang ada.
Definisi pendidikan politik mengandung tiga syarat penting, yakni:
Pertama, adanya perbuatan memberi latihan, ajaran, serta bimbingan untuk
mengembangkan kapasitas dan potensi diri manusia. Kedua, perbuatan di
maksud harus melalui proses dialogik yang dilakukan dengan suka rela
antara pemberi dan penerima pesan secara rutin. Ketiga, perbuatan
tersebut ditujukan untuk para penerima pesan dapat memiliki kesadaran
berdemokrasi dalam kehidupan bernegara.
Seluruh komponen bangsa perlu melakukan pendidikan politik terhadap
masyarakat hingga ke pelosok daerah dalam rangka menjaring calon
pemimpin nasional (Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, Jakarta, 28/11/08).
Pernyataan di atas memang benar. Pendidikan dapat dilakukan di mana saja
dan oleh siapa saja, asalkan tepat untuk menciptakan kecerdasan.
Pendidikan politik juga selayaknya disampaikan melalui LSM, pemuka
agama, tokoh masyarakat, serta pemimipin informal agar lebih efisien dan
efektif.
Namun kenyataan yang ada, pendidikan politik Indonesia masih belum
sampai pada pelaksanaan dan implementasi yang ideal. Pihak pertama
pendidik politik, partai politik, oleh Antonio Gramsci dikategorikan
sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil (Roger Simon, 1999),
diharapkan dapat melaksanakan fungsinya sebagai Instrumen Of Political Education
dengan baik dan benar, sesuai amanat yang tertuang dalam pasal 11 huruf
A UU No. 2 Tahun 2008, tentang Partai Politik. Akan tetapi, pendidikan
politik yang dilakukan parpol sangat berbau kepentingan golongan belaka.
Inilah yang membuat rakyat tidak menyadari prinsip demokrasi yang
menyeluruh.
Pihak utama pendidik politik lainnya, menurut Ketua DPP PPP Lukman
Hakim Syaefuddin mengatakan bahwa pemerintah menjadi pihak yang
bertanggung jawab untuk melakukan tugas pendidikan politik secara makro
karena memiliki dukungan finansial dan infrastruktur yang akan membuat
pelaksanaannya lebih efektif. Pendapat tersebut disampaikan di Jakarta
(8/9/10). Tapi hal yang sama terjadi, pelaksanaan oleh pemerintah belum
konkret. Dibutuhkan komitmen tinggi para petinggi pemerintahan untuk
melakukannya.
Selanjutnya, pendidikan politik oleh lembaga pendidikan. Indonesia
membutuhkan lembaga independen seperti perguruan tinggi untuk memberikan
pendidikan politik pada masyarakat setelah partai politik saat ini
gagal menjalankan fungsi tersebut. Namun kondisinya perguruan tinggi dan
sekolah saat ini justru mematikan wawasan politik dengan hanya
memfokuskan diri hanya kepada pendidikan kognitif. Dampaknya tingkat
kedewasaan demokrasi warga dan masyarakat politik di Indonesia tidak
terjadi (Yudi Latif, Bandung, 18/11/10).
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai salah satu pendidik politik
di Indonesia ternyata berperan lebih besar dalam mencerdaskan kesadaran
politik masyarakat ketimbang parpol. Sudah banyak berdiri LSM yang
berorientasi pada pengawasan kinerja pemerintahan dan pemilihan umum,
yang paling tidak sudah dapat menjelaskan definisi demokrasi kepada
masyarakat.
Lalu ada sebuah artikel dari internet berjudul "Iwan Fals vs Oom
Pasikom, Media Pendidikan Politik Alternatif". Judul tersebut sangat
menggelitik. Masyarakat sepertinya sudah mual dengan situasi politik
yang ada, sehingga berupaya mengembangkan media alternatif untuk
mengajarkan masyarakat luas mengenai politik ideal. Lagu-lagu Iwan Fals
dan cerita komik Oom Pasikom mampu tampil menarik dan tajam dalam
mengkritisi keadaan yang ada. Dan terbukti, cara mereka lebih efektif
daripada cara-cara parpol dan pemerintah untuk mencerdaskan kesadaran
politik bangsa.
Politik dinasti memiliki banyak dampak negatif bagi keberlangsungan
politik Indonesia. Namun sistem yang ada tidak melarang hal tersebut.
Demokrasi sebagai sistem yang ada, menyerahkan pilihannya kepada rakyat.
Rakyat yang cerdas pastinya mampu memilih pemimpin yang berkualitas.
Pencerdasan ini sudah dirintis oleh berbagai pihak untuk memperbaiki
keadaan yang ada. Alangkah baiknya jika kita turut serta dalam upaya
pendidikan politik, dan tetap optimis untuk politik Indonesia yang
madani.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.partaigerindra.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1201&Itemid=28, 27 November 2010.
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=62199, 27 November 2010.
http://www.sumbawanews.com/berita/opini/parpol-dan-pelaksanaan-pendidikan-politik.html, 27 November 2010.
http://www.pikiran-rakyat.com/node/127549, 27 November 2010.
http://umum.kompasiana.com/2009/02/01/pendidikan-politik-rakyat/, 27 November 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar