Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010
Dalam pemilihan umum, dunia politik mengenal dua sistem konsep atau
ketentuan yang diterapkan berdasarkan jumlah suara nasional yang didapat
partai politik. Dua ketentuan tersebut yakni Electoral Threshold dan Parliamentary Threshold.
Di Indonesia, dua ketentuan tersebut hanya diterapkan pada era
Reformasi, karena pada era Orde Baru, sistem Pemilu dan partai sangat
monopolistis.
Ketentuan electoral threshold (ET)
atau ambang batas minimal perolehan suara partai untuk ikut pemilu
berikutnya, di Indonesia dahulu adalah sebesar 3 persen, dan parliamentary threshold (PT)
atau ambang batas minimal perolehan kursi partai di DPR RI sebesar 2,5
persen. Dasar hukum penerapan PT tersebut adalah Pasal 202 Ayat 1
Undang-Undang No 10 Tahun 2008.
ET digunakan pada Pemilu 1999 dan 2004, namun tidak digunakan lagi
pada Pemilu 2009. Pada awalnya, ET dimaksudkan untuk merampingkan jumlah
partai yang ikut serta dalam Pemilu agar tercipta efektivitas dalam
pelaksanaannya. Akan tetapi, kenyataannya kontradiktif, karena selain
menggunakan ET, Indonesia juga menerapkan sistem multi-partai. Menurut
Scott Mainwaring (1993), kebanyakan negara yang memadukan sistem
presidensial dengan sistem multi-partai sangat sulit menciptakan sistem
demokrasi yang stabil. Untuk mengatasi kesulitan dalam memadukan kedua
sistem itu, menurut Mainwaring ada dua kemungkinan jawaban. Pertama,
mengubah sistem presidensial menjadi sistem semipresidensial atau
parlementer. Kedua, mengurangi fragmentasi sistem kepartaian.
Pemerintahan RI memilih opsi kedua. Bukti usahanya ada pada Pemilu
2004 dan 2009. Berdasarkan hasil Pemilu 1999, dari 48 partai, hanya 6
partai yang memenuhi ketentuan ET (saat itu 2%), namun pada Pemilu 2004,
ada 24 partai yang mengikuti Pemilu. Selanjutnya berdasarkan hasil
Pemilu 2004, hanya 7 partai yang memenuhi ketentuan ET 3% untuk maju ke
Pemilu 2009. Tapi yang ada, pada Pemilu 2009, terdapat 38 partai yang
ikut serta dalam Pemilu.
Hal di atas menjadi mungkin karena terdapat aturan, pertama, bergabung dengan partai politik yang lolos electoral threshold. Kedua, bergabung dengan sesama partai politik yang tidak lolos electoral threshold
sehingga mencapai ambang batas suara 3 persen dan memilih nama salah
satu partai politik itu. Ketiga, mendirikan partai politik baru dengan
nama dan lambang yang baru. Sistem ET dianggap tidak tegas, sehingga
dihapuskan dan digantikan dengan sistem PT.
Pada Pemilu 2009, baru digunakan sistem PT dengan maksud untuk
menyederhanakan komposisi partai di parlemen. Dari hasil Pemilu 2009,
ada 9 partai yang duduk di DPR RI. Tetapi, komposisi tersebut oleh
beberapa pihak masih dianggap kurang sederhana. Mereka mengajukan
pendapat untuk meningkatkan batas ketentuan PT menjadi 5%. Menurut Akbar
Tandjung (Golkar), kalau asasnya ingin adanya penyederhanaan partai,
representasi, dan efisiensi dalam mengelola parlemen, lebih bagus memang
kalau PT dinaikkan. Kemudian Anis Matta (PKS) menekankan bahwa tetap
banyak ruang tersedia bagi pendirian partai baru untuk merebut suara
mengambang yang jumlahnya masih banyak sehingga bisa masuk ke parlemen.
Kebalikannya, wacana di atas ditolak oleh 6 partai dari 9 partai yang
ada di parlemen. Pramono Anung (PDIP) berpendapat bahwa semangat
penyederhanaan penting, tapi lima persen terlalu tinggi. Hal tersebut
dianggap sebagai bentuk kesewenang-wenangan dalam demokrasi. M
Romahurmuziy (PPP) berpendapat pula bahwa kenaikan tersebut semakin
memperbanyak suara “hangus” sia-sia dan terkesan sebagai tindakan
antidemokrasi yang mengurangi legitimasi keterwakilan DPR. Sementara
itu, Ahmad Muzani (Gerindra) menuding, usulan kenaikan PT dari 2,5%
menjadi 5% adalah akal-akalan pemberangusan aspirasi rakyat. Dengan
hasil Pemilu 2009 dan PT 2,5% saja, dari 104 juta suara sah, 18 juta
suara sah telah hilang. Wiranto (Hanura) menganggap wacana kenaikan PT
menjadi dua kali lipat dibanding sebelumnya, sangat berlebihan dan tidak
rasional. Seharusnya kenaikan dilakukan bertahap.
Selanjutnya, Burhanuddin Muhtadi (peneliti LSI) memiliki pendapat
bahwa PT yang tinggi dapat menciptakan efektivitas kerja pemerintah,
melalui mekanisme alami penyederhanaan jumlah partai. Jumlah partai yang
terlalu banyak, memungkinkan lebih sering terjadinya “kong-kalikong”
antara partai kecil dan partai besar. Apabila banyak partai yang
`dikawinpaksakan` akan membuat pemerintah menjadi tidak efektif dan
berjalan tidak semestinya. Dengan penyederhanaan partai, koalisi yang
terbentuk tidak lagi menjadi parsial melainkan permanen dan kelompok
antara partai yang berkoalisi maupun yang oposisi akan lebih mudah
terlihat. Di lain pihak, angka PT yang tinggi akan membuat masyarakat
pemilih mengetahui mana partai politik yang memang memiliki modal dana
dan sumber daya manusia berupa jaringan kepengurusan di berbagai
tingkatan.
Implementasi ketat ini tidaklah ditujukan untuk membatasi hak politik
warga negara, tetapi lebih dimaksudkan untuk menghindari modus “ganti
baju” partai politik seperti yang terjadi pada Pemilu 1999 dan 2004. PT
merupakan jembatan emas bagi terciptanya sistem multi-partai sederhana,
yang merupakan condition sine qua non bagi penguatan fondasi pemerintahan presidensial.
Sebagai tambahan, perlu dijelaskan sistem pemilihan Presiden dalam
Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 dan UUD 1945 amandemen pasal 6A ayat (3).
Sistem pemilu presiden dan wakil presiden 2009 sama dengan sistem pemilu
yang dipakai dalam pemilu 2004 sebab landasan konstitusionalnya tetap.
Sistem yang dipakai adalah sistem pemilu dua putaran (two round system)
dikombinasikan dengan distribusi geografis suara. Ide dasar dari model
pemilihan ini adalah untuk menghindari terpilihnya sepasang kandidat
dengan proporsi perolehan suara yang sangat minimal dibandingkan dengan
jumlah pemilih secara keseluruhan. Atas dasar pertimbangan ini, sistem
dua putaran di atas, pada dasarnya merevisi sistem first past the post,
yaitu suatu sistem pemilihan sepasang kandidat yang paling sederhana di
mana kursi kepresidenan dan wakilnya diberikan pada kandidat yang
paling banyak memperoleh suara. Terlepas dari apakah perolehan suara
pemenang itu tidak memadai dibandingkan dengan keseluruhan jumlah voters turn out-nya.
DAFTAR PUSTAKA
http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/07/12/urgensi%E2%80%9Cparliamentary-threshold%E2%80%9D/, 22 November 2010.
http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/04/sistem-parliamentary-threshold.html, 22 November 2010.
http://www.p2d.org/index.php/kon/38-22-maret-2009/196-kontradiksi-keputusan-mk-mengenai-parliamentary-threshold-dan-ketentuan-suara-terbanyak.html, 22 November 2010.
22 November 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar