Oleh : Langitantyo Tri Gezar, Ilmu Komunikasi FISIP UI 2010
Teori Politik: Merupakan bahasan dan renungan atas;
a) tujuan dari kegiatan politik,
b) cara-cara mencapai tujuan itu,
c) kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu,
d) kewajiban (obligations) yang diakibatkan oleh tujuan politik itu.
Thomas P. Jenkin dalam The Study of Political Theory menyebutkan teori politik sebagai teori yang mempunyai dasar moral atau bersifat akhlak dan yang menentukan norma untuk perilaku politik (norms for political behavior).
A.1 Filsafat politik: Mencari penjelasan
berdasar rasio, melihat adanya hubungan antara sifat hakikat alam dengan
sikap hakikat kehidupan politik nyata. Berpokok pikiran persoalan
menyangkut alam harus dipecahkan dahulu sebelum persoalan politik
sehari-hari dapat ditanggulangi.
A.2 Teori politik sistematis: Mendasarkan diri atas
pandangan yang sudah lazim diterima pada masa itu. Hanya mencoba untuk
merealisasikan norma dalam program politik.
A.3 Ideologi politik: Himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, keyakinan, suatu Weltanschauung, yang dimiliki seorang/sekelompok atas dasar menentukan sikap dan perilaku politik.
B. Teori yang menggambarkan dan membahas fenomena dan fakta politik dengan tidak mempersoalkan norma atau nilai (non-valutional/value free). Biasanya bersifat deskriptif dan komparatif.
Masyarakat: Robert M. Mclver menjelaskan “masyarakat adalah suatu sistem hubungan-hubungan yang ditata”.Manusia mempunyai naluri (instinct) untuk bekerjasama demi mencapai sebuah nilai (value), dan juga naluri untuk bersaing.
Harold Laswell merinci delapan nilai yang diinginkan manusia
a) Kekuasaan (power)
b) Kekayaan (wealth),
c) Penghormatan (respect),
d) Kesehatan (well-being),
e) Kejujuran (rectitude),
f) Keterampilan (skill),
g) Pendidikan/Penerangan (enlightenment),
h) Kasih saying (affection).
Negara: Roger H. Soltau (An Introduction to Politics, hlm.1) – “The state is an agency or authority managing or controlling these (common) affairs on behalf of and in the name of community”.
Harold J. Laski (The State in Theory and Practice, hlm.8-9) – “The
state is a society ehich is integrated by possesing a coercive
authority legally supreme over any individual or group which is part of
the society. A society is a group of human beings living together and
working together for the satisfaction of their mutual wants. Such a
society state when the way of live to which both individuals and
associations must conform is defined by a coercive binding upon them all”.
Max Weber – “The state is a human society that (succesfully)
claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a
given territory”.
Robert M. Mclver (The Modern State, hlm.22) – “The state
is an association which, acting through laws as pormulgated by a
government endowed to this end with coercive power, maintains within a
community territorially demarcated the universal external conditions of
social order”.
Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah
(governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga
negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui
penguasaan (control) monopolistis terhadap kekuasaan yang sah.
Dua tugas negara menurut Miriam Budiardjo:
A) Mengendalikan dan mengatur gejala kekuasaan yang asosial.
B) Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan ke arah tercapainya tujuan dari masyarakat seluruhnya.
Tiga sifat negara menurut Miriam Budiardjo:
A) Sifat memaksa. Negara mempunyai kekuasaan
untuk memakai kekerasan fisik secara legal demi ketertiban melalui
peraturan perundang-undangan.
B) Sifat monopoli. Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat.
C) Sifat mencakup semua (all-encompassing, all-embracing). Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.
Unsur negara: Wilayah - Negara menduduki tempat
tertentu di mukai bumi dengan perbatasan-perbatasan dan berkuasa atas
tanah, laut, dan angkasa. Penduduk - Ernest Renan : “Pemersatu bangsa
bukanlah kesamaan bahasa atau suku bangsa, akan tetapi tercapainya hasil
gemilang di masa lampau dan keingian untuk mencapainya lagi di masa
depan”. Pemerintah - Bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan
kekuasaan negara, biasanya terbagi menjadi tiga (eksekutif, legislatif,
yudikatif). Kedaulatan - kekuasaan tertinggi untuk membuat undang-undang
dan melakukannya dengan berbagai cara. Terbagi dua (internal sovereignty dan external sovereignty).
Tujuan dan Fungsi Negara: Tujuan terakhir negara, menciptakan kebahagiaan rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth). Roger H. Soltau – “The freest possible development and creative self-expression of its members” (An Introduction to Politics, hlm. 253). Harold J. Laski – “Creation of those conditions under which the members of the state may attain the maximum satisfaction of their desires” (The State in Theory and Practice, hlm. 12).
Minimum fungsi negara yang mutlak:
1. Melaksanakan penertiban (law and order)
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
3. Pertahanan
4.
Menegakkan keadilan.
Charles M. Merriam – Keamanan ekstern, keamanan
intern, keadilan, kesejahteraan umum, kebebasan.
Konsep Sistem Politik: Sistem politik seperti
organisme yang terdiri dari bagian-bagian yang saling bergantung dan
berinteraksi. Setiap perubahan satu bagian mempengaruhi bagian lain dan
sistem bekerja dalam lingkungan. Konsep sistem politik dipakai untuk
analisa, di mana sistem bersifat abstrak dan terdiri dari beberapa
variabel dan dapat diterapkan pada situasi konkret (negara, kota, dll).
Mendasarkan studi tentang gejala politik berkonteks tingkah laku
masyarakat. Konsep ini memiliki istilah proses, yaitu pola buatan
manusia mengatur hubungan sesama (yang jelas dan kurang jelas), lalu
istilah structure of behavior, mencakup lembaga formal, dan fungsi policy decisions (bernilai materiil dan non-materiil). Sistem politik adalah open system, terbuka terhadap pengaruh lain. Berproses input yang diolah (conversion) menjadi output (keputusan/kebijaksanaan), mendapat feed-back,
lalu output kembali menjadi input.
Salah satu aspek penting adalah
political culture (keseluruhan pandangan, norma, orientasi, kepercayaan,
simbol) yang mencerminkan faktor subyektif.
Empat variabel sistem
politik:
1. Kekuasaan
2. Kepentingan
3. Kebijaksanaan
4. Budaya Politik.
Konsep Kekuasaan: W. Connoly (1983) dan S. Lukes
(1974) menganggap kekuasaan sebagai suatu konsep yang dipertentangkan,
tidak dapat dicapai konsensus. Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam
suatu hubungan sosial melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami
perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini (Max Weber, Wirtschaft und Gesselshaft dalam Tubingen, Mohr, 1922). Definisi serupa oleh Harold D. Laswell dan
Abraham Kaplan, serta Barbara Goodwin (2003). Isyarat kekuasaan yang
jelas (manifest power) dan yang tidak ada (implicit power, oleh Carl Friedrich disebut the rule of anticipated reactions). Esensi kekuasaan mengadakan sanksi: Force, Coercion, Persuasion, dan Reward.
Sumber Kekuasaan: Kedudukan, kekayaan, dan kepercayaan. Membedakan scope of power (kegiatan, perilaku, sikap, dan keputusan sebagai obyek kekuasaan) dan domain of power (menunjuk pada pelaku atau kolektivitas yang kena kekuasaan) (Jack H. Nagel, The Descriptive Analysis of Power, hlm.14). Dalam hubungan kekuasaan (power relationship), selalu ada hubungan asimetris yang menimbulkan ketergantungan (dependency). Sosiolog Talcott Parsons cenderung melihat kekuasaan sebagai senjata
ampuh mencapai tujuan kolektif dengan membuat keputusan mengikat serta
sanksi negatif.
Wewenang (Authority) dan Keabsahan (Legitimacy): Robert Bierstedt dalam Analysis of Social Power – Wewenang (authority) adalah kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power). Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan dalam Power and Society
– Wewenang adalah kekuasaan formal. Max Weber (1864-1922) ada tiga
macam wewenang: tradisional, kharismatik, dan rasional-legal. David
Easton (A System Analysis of Political Life, hlm.273) –
Keabsahan adalah keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah
wajar baginya untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi
tuntutan-tuntuta dari rezim itu. A.M. Lipset (Political Man: The Social Bases of Politics,
hlm.29) – Legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk dan
mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk
politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu.
Pengaruh: Floyd Hunter (Community Power Structure, hlm.164) – “Kekuasaan merupakan pengertian pokok, dan pengaruh bentuk khususnya”. Sependapat dengan Carl Friedrich dalam An Introduction to Political Theory.
Berbeda pula dengan Laswell dan Kaplan yang menganggap pengaruh sebagai
konsep pokok dan kekuasaan sebagai konsep khusus. Uwe Becker –
“Pengaruh adalah kemampuan yang terus berkembang yang-berbeda dengan
kekuasaan-tidak begitu terkait dengan usaha memperjuangkan dan
memaksakan kepentingan”. Norman Barry (An Introduction to Modern Theory,
hlm.99) – “Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang, jika seorang yang
dipengaruhi agar tidak bertindak dengan cara tertentu, dapat dikatakan
terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun ancaman sanksi yang
terbuka tidak merupakan motivasi yang mendorongnya”. Robert Dahl (The Concept of Power,
1957) – “A mempunyai kekuasaan atas B sejauh ia dapat menyebabkan B
untuk berbuat sesuatu yang sebenarnya tidak akan B lakukan”. Di buku
selanjutnya, Modern Political Analysis (1963), dengan perumusan
sama persis, mengganti istilah “kekuasaan” dengan “pengaruh”. Pengaruh
bukan satu-satunya faktor penentu perilaku, dan tidak seefektif
kekuasaan. Namun mengandung unsur psikologis yang sering berhasil.
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM ILMU POLITIK
Pengantar: Mengamati kegiatan politik dilakukan dengan berbagai cara, tergantung perspektif dan kerangka acuannya.Vernon van Dyke (Political Science: A Philosophical Analysis, hlm.114) - ”Suatu pendekatan (approach) adalah kriteria untuk menyeleksi masalah dan data yang relevan”.
Pendekatan Legal/Institutional/Tradisional: Negara
menjadi fokus pokok, terutama konstitusional dan yuridisnya. Membahas
kekuasaan dan wewenang, serta sering normatif mengasumsikan norma
demokrasi Barat. Namun kurang memberi peluang terbentuknya teori baru.
Contoh karya: R. Kranenburg, Algemene Staatsleer.
Pendekatan Perilaku (Behavioral Approach/Structural-Functional):
Mempelajari perilaku manusia karena merupakan gejala yang benar-benar
dapat diamati. David Easton (1962) dan Albert Somit (1967): 1) Perilaku
politik menampilkan regularities, dirumuskan, kemudian diverifikasi
dengan analisis.
2) Membedakan norma (sesuai dengan ideal/standart
tertentu) dan fakta (sesuatu yang dapat dibuktikan berdasarkan
pengamatan dan pengalaman) secara jelas.
3) Analisis politik harus value-free, karena nilai tidak dapat diukur secara ilmiah.
4) Sistematis dan theory building.
5) Pure science.
Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan negara sebagai
suatu suatu sistem politik menjadi subsistem dari sistem sosial. Semua
sistem mempunyai struktur, dan unsur dari struktur menyelenggarakan
fungsi.
Pendekatan Pasca-Perilaku: David Easton (The New Revolution in Political Science,
1969):
1) Dengan pendekatan perilaku, ilmu politik menjadi terlalu
abstrak dan tidak relevan. Menangani masalah sosial lebih mendesak
daripada kecermatan penelitian.
2) Pendekatan perilaku konservatif,
menekankan keseimbangan dan stabilitas tanpa memerhatikan gejala
perubahan.
3) Dalam penelitian, nilai tidak boleh dihilangkan.
4)
Peneliti harus aktif mengubah masyarakat dan action-oriented.
Pendekatan Neo-Marxis: Bertell Ollman dan Edward Vernoff (The Left Academy,
hlm.7) - “Sarjana Neo-Marxis adalah mereka yang meyakini sebagian
pandangan Marx mengenai kapitalis dan sejarah, dan memakai metode
analisisnya”. Menolak komunisme dari Uni-Soviet karena represif, tapi
juga tidak setuju dengan aspek kapitalis, serta kecewa dengan kalangan
sosial-demokrat. Yang sangat menarik, ramalan tentang keruntuhan
kapitalisme dan etika humanis bahwa manusia pada hakikatnya baik.
Kelemahannya, mempelajari Marxis dalam dunia yang banyak berubah serta
karangannya fragmentaris. Membahas masalah sosial dari perspektif
analisis holistik (hubungan erat politik-ekonomi) dan dialektika
(konflik antarkelas). Ada juga Marxisme Eksistensialis yang banyak
memakai analisis interdisipliner. Tapi banyak dikritik oleh Neo-Marxis
mainstream. Sekurang-kurangnya menimbulkan kepekaan terhadap hal di
bawah permukaan.
Teori Ketergantungan (Dependency Theory):
Mengkhususkan penelitian pada hubungan negara Dunia Pertama dan Dunia
Ketiga. Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperialisme, bahwa
imperialisme masih hidup namun berubah menjadi dominasi ekonomi. Negara
berkembang menyediakan sumber daya manusia dan alam serta menjadi pasar.
Pendekatan Pilihan Rasional (Rational/Public/Collective Choice):
Optimilisasi kepentingan dan efisiensi merupakan intinya. James B. Rule
(terjemahan dipersingkat) –
1) Tindakan manusia adalah instrumen, usaha
mencapai tujuan tersusun hierarkis yang mencerminkan preferensi
mengenai keinginan dan relatif stabil.
2) Aktor merumuskan perilaku
melalui perhitungan rasional yang ditentukan informasi relevansi.
3)
Proses sosial skala besar merupakan hasil kalkulasi tersebut.
Banyak
dikritik karena dianggap tidak memerhatikan kenyataan bahwa manusia
sering tidak rasional, serta cenderung mengabaikan kesejahteraan dan
kepentingan umum (individualistik dan materialistik). Namun berjasa pada
usaha kuantifikasi ilmu politik, studi empiris yang terbukti, ketimbang
abstrak dan spekulatif.
Pendekatan Institutionalisme Baru: Melihat institusi negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah tujuan tertentu. Jan-Erik Lane dan Svante Ersson (Comparative Politics: An Introduction and New Approach,
hlm.116) – Institusi mencakup;
1) Struktur fisik,
2) Struktur
demografis,
3) Perkembangan historis,
4) Jaringan pribadi,
5) Struktur
sementara.
Robert E. Goodin (lbid., hlm.196) –
1) Aktor dan kelompok
melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang dibatasi secara
kolektif.
2) Pembatasan terdiri dari pola norma dan pola peran serta
perilaku dari pemegang peran.
3) Pembatasan ini juga memberi keuntungan
bagi individu maupun kelompok untuk mengejar proyek masing-masing.
4)
Faktor pembatas juga memengaruhi pembentukan preferensi dan motivasi.
5)
Mempunyai akar historis peninggalan tindakan lalu.
6) Mewujudkan,
memelihara, dan memberi peluang serta kekuatan berbeda. Cara mengubah
institusi menjadi lebih demokratis dengan proses institutional
engineering (rekayasa institusional) melalui institutional design. Lebih
tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fiskal-moneter, pasar, serta
global ketimbang masalah konstitusi yuridis.
Kesimpulan: Pendekatan di atas merupakan akumulasi
pengetahuan. Perdebatan intelektual telah memperkaya khazanah analisis,
mempertajam alat analisis, dan memperluas cakrawala. Dewasa ini
terbentuk kesadaran setiap pendekatan hanya menyikap sebagian tabir
kehidupan politik dan tidak ada pendekatan yang mandiri mampu
menjelaskan semua gejala politik. Tumbuh visi pluralis mengenai metode
dan pendekatan yang saling melengkapi untuk meningkatkan kredibilitas
ilmu politik.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.